°17

319 36 3
                                    

"Di hatimu."

Kini Reina kembali terpekur, bukan lagi mengenai kemana hati ini berlabuh, tapi mengenai hati yang mana yang akan ia perjuangkan.

Berminggu-minggu mereka bertiga terjebak dalam situasi canggung. Enggan menyapa, enggan tersenyum, bahkan menatappun rasanya tak ingin.

Reina sepenuhnya paham, ini salahnya. Lebih tepatnya salah dari sifat kelabilannya. Ia mempermainkan 2 hati sekaligus, atau mungkin banyak hati lebih tepatnya.

Fathur dengan sejuta pesonanya, dan Fadli dengan tebaran senyumnya. Yang manakah yang akan ia pilih?

Jujur saja, Reina nyaman dengan keduanya, sedang berada di dekat keduanya, dan jatuh cinta pula pada keduanya. Ya, rasa itu kembali datang tanpa disengaja. Ia kembali jatuh pada sosok baru.

Meski kata orang berlian terlihat lebih mahal, tapi dirinya justru lebih mencintai siapa bayangan dibalik batuan emas.

Nyatanya, Reina lebih mencintai Fathur ketimbang Fadli. Ingin rasanya ia tertawa sekencang-kencangnya, meneriakan seberapa bodoh dirinya.

Bagaimana mungkin jantungnya masih berdebar dengan kencang, kepada orang yang juga membuat organ lainnya tergores begitu dalam?

Dan sialnya, Fadli menyadari hal itu. Lelaki itu sore ini membalas pesannya yang sempat dibaca sepihak olehnya, mengabaikan rasa frustasi dari sisi Reina.

Fadli datang dengan es krim yang sama, seperti saat dirinya di tarik pulang oleh Fathur. Lalu mengucapkan sesuatu yang rasanya begitu menyindirnya dengan telak.

"Aku tau. Es krim ini udah pernah aku kasih, tapi waktu itu kamu sama cowok kamu, bukan sama aku."

Sial, hatinya berdenyut sakit, seberengsek itu kah? Reina hanya sanggup tersenyum semanis mungkin sebari menyelami netra kecoklatan itu.

"Maaf." Lalu memilih untuk memutuskan kontak matanya, saat menyadari sorot mata penuh kekecewaan yang tertangkap dengan jelas olehnya.

"Kali ini biar aku yang bicara. Dan mungkin ini terakhir kalinya kita bicara."

Reina mengerenyitkan alisnya, tak mengerti apa maksud Fadli.

"Aku dapet beasiswa, dan harus pergi lusa. Kalau pun ternyata aku sama kamu beneran terikat, rasanya aku tetep aja gagal sebagai pacar nantinya."

Fadli terkekeh, menatap sepatunya yang terpita dengan rapih di kaki kanan, dan ikatan yang terbuka di kaki sebelah kiri.

"Kenapa baru bilang?" Reina menatap kecewa pada laki-laki di depannya.

"Maaf." Hanya itu pula yang terucap, lalu keduanya kembali terdiam.

"Reina, aku harap kamu bahagia, kembali jadi diri kamu yang dulu, tebar senyum, dan jangan ada air mata lagi." Fadli mencubit pelan hidungnya, menggoda Reina ternyata semenyenangkan ini. Ah, Fathur beruntung.

Tapi yang didapatkannya bukan senyuman, atau pun wajah kesal. Hanya mata perempuan itu yang perlahan me merah, menahan tangisnya.

Oh tidak, ia benar-benar gagal membuat Fadli bahagia. Walau katanya, kebahagiaannya adalah kebahagiaan lelaki itu pula, namun rasanya ia begitu naif, mana mungkin ada orang yang bahagia melihat orang yang ia cintai justru mencintai orang lain.

Sekali lagi, Fadli memeluknya erat, menyembunyikan titik terlemah Reina dalam pusaran hangatnya, memberikan rasa nyaman itu untuk yang terkahir kalinya, sebelum menahan sesak ketika menyaksikan hal yang sama. Hanya menyaksikan, bukan merasakan.

Dan Fathur? Ia menjadi saksi bisu keduanya, hanya menyaksikan, tapi tidak dengan mendengar.

Ia memutar dengan keras lagu yang terputar pada ponselnya, mengabaikan himpitan nyeri pada dadanya, dan sorot mata terluka yang benar-benar membuatnya nyaris seperti bukan dirinya.

Ternyata begini rasanya, kini ia sepenuhnya sadar, apa yang ia cari sudah pernah ia dapatkan, namun dengan mudah pula ia lepaskan.

Apa yang ia dambakan sudah pernah ia rasakan, namun dengan sejuta keringanan pula ia lupakan.

Memahami hatinya sendiripun ia belum bisa, bagaimana mungkin ia bisa memahami hati Reina?

Sebenarnya apa alasan ia dulu begitu jatuh, jatuh, dan jatuh berulang kali pada hati yang sama?

Lalu mengapa dengan mudahnya ia pergi, berjalan, bahkan berlari menjauh dari hati yang sama pula?

Lalu mengapa dengan mudahnya ia pergi, berjalan, bahkan berlari menjauh dari hati yang sama pula?

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

.
.
.
[TBC]

Penjelasan dikit guys, buat yang ngerasa bingung.

Jadi kan mereka itu udah tingkat akhir, ya kelas 12 lah ya. Dan Fadli secara kebetulan dapet beasiswa ke luar kota, sebenernya tawaran ini tu udah dia dapet sekitar sebulan yang lalu, dari kejadian yang di chapter sebelumnya, kan aku bilang berminggu-minggu, hehe.

Ada alasan lain kenapa dia nggak confess, ya selain ngerasa belum sepantas atau sebanding sama Fathur, atau mungkin masih ngehargain Reina yang masih terbayang-bayang, Fadli juga mikirin masalah dia sama Reina kedepannya.

Kalau seandainya dia terima tawaran beasiswa ini, Fadli tentu bakal ninggalin Reina, lagi, dalam artian perempuan itu nggak bisa dia jaga sepenuhnya.

Tapi kalau dia tolak, sayang banget, selain buat masa depannya, dia juga mikir, mungkin aja jalan ini justru bisa bikin dia gedeketin Reina, dan langsung mengikatnya dalam hubungan yang lebih serius.

Ya minimal tunangan lah, baru bisa menjaga perasaan dia - Fadli ft. Kekeyi ._.

BHAY! BENTAR LAGI END 🌚🤪

Serpihan Hati [Song Story] ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang