Mengingat saat hati yang tersakiti tak bisa utuh kembali, maka di saat itu pula sebuah rasa percaya akan hilang dipertanyakan, juga rasa ingin menyerah datang menghampiri dengan begitu teganya.
Sudah berulang kali diberi kesempatan, namun disia-sia...
____________________ Nanti kita ketemu | -R. | ____________________
Mereka benar-benar bertemu, sepulang sekolah, dengan area parkir yang sudah cukup sepi. Fathur menatap tak suka ke arah lelaki yang kini juga menatapnya dingin.
"Aku nggak bakal bertele-tele. Makasih bunganya, dan ini bunga balasan dari aku."
Fathur kemudian menatap sebuket bunga anyelir putih dengan garis-garis merah. Masih menatap tak percaya pada bunga balasan itu, dirinya baru menyadari, kekasihnya yang dulu sudah benar-benar pergi.
Fathur memilih menyimpan baik-baik bunga tersebut di jok samping kemudi, lalu pergi meninggalkan tempat itu dengan perasaan yang sedikit terluka.
Oh, pikirannya melayang.
Tempat ini, caffe ini adalah tempat yang paling sering dirinya kunjungi bersama Reina, mungkin untuk sekedar berteduh saat hujan? Atau mungkin sengaja mengunjunginya berdua.
Fathur tersenyum sinis menyadari semuanya kini berubah, tak ada lagi tawa perempuan itu yang mengalun di telinganya.
Tidak, bukan ini yang dirinya inginkan.
Fathur hanya bosan, benar-benar bosan. Hubungannya dengan Reina yang terasa begitu manis, berujung menjadi sebuah kehambaran.
Reina yang terlampau baik, atau dirinya yang terlampau berengsek? Fathur terkekeh, meremehkan dirinya sendiri.
Ini baru sekitar 1 minggu berlalu sejak kejadian itu, dan hatinya kian mencari kemanakah sang ratu yang dulu ada di sana.
Apa yang dirinya rasakan dulu? Menatap apa dirinya sehingga ia bisa mengabaikan perempuan satu itu?
Apa yang ia dengar sehingga tak bisa mendengar nada lirih yang siswi itu ucapkan? Dan apa saja yang sudah ia katakan pada kekasihnya itu?
Fathur menggeleng pelan, lalu beranjak dari duduknya. Memilih untuk kembali membelah jalanan.
Dirinya terdiam beberapa saat, tempat di sampingnya. Ia hanya menatapnya tanpa bergeming sama sekali.
Hanya 1 kali, Fathur hanya memiliki 1 nyali untuk mengajak Reina duduk bersamanya di dalam mobil ini.
Tujuan Fathur membeli mobil ini, tak lain dan tak bukan adalah untuk mereka berdua. Ia hanya tak ingin kejadian prom night 2 tahun yang lalu kembali terjadi.
Dirinya berani bersumpah, tak pernah ada perempuan lain yang duduk di kursi sampingnya.
Kursi ini hanya untuk Reina, segala tentang Reina, termasuk tetesan es krim dari lelaki yang sejujurnya entah siapa.
Dirinya tak bodoh untuk sekedar memahami keadaan. Fathur mengenal siapa laki-laki itu, meski tak mengetahui namanya.
Ia pernah menangkap tatapan yang berbeda dari lelaki itu kepada Reina, dan Fathur tak menyukainya, Reina hanya miliknya.
Fathur kembali tenggelam ketika menatap langit-langit kamarnya, lalu membuka sebuah kotak yang ia sembunyikan di bawah ranjang.
Fathur menyesal, benar-benar menyesal. Egonya terlalu tinggi untuk sekedar mengatakan bahwa ia cemburu, ia hanya ingin Reina, dan hanya ingin seperti ini sampai akhir.
Dirinya membuka lembaran pertama sebuah buku. Fathur ingat betul hari itu, pertemuan pertamanya dengan Reina.
Tidak, pertemuan pertama mereka bukan disaat Reina tak sengaja menabrak dirinya, melainkan saat ia tak sengaja melihat Reina menahan tangis karena gagal lolos tes.
Rambut panjang yang terurai, terterpa angin. Sedikit berantakan, namun ia yakin itu tak seberapa dengan keadaan hati kekasihnya, tentu lebih berantakan.
Matanya yang menyipit ketika tersenyum. Bagaimana mungkin ia bisa membuat kedua mata itu mengeluarkan berliannya?
Bibir semerah ceri yang merekah, bagimana mungkin dirinya bisa membuat kedua bibir itu mengeluarkan sebuah isakan pilu?
Fathur tertunduk sedalam-dalamnya. Pandangannya mulai memburam karena genangan air mata di sana.
Ia lantas membuka lembaran-lembaran selanjutnya, kenangan-kenangan itu juga kian terbuka.
Fathur semakin menangis, mendustai diri sendiri. Ia masih begitu jatuh pada Reina, masih sangat amat jatuh, dan sekarang ia terperosok saat kekasihnya memilih untuk menyerah.
Dirinya benar-benar tak memiliki keberanian terhadap perempuan satu ini, mengajaknya untuk menjadi pasangan prom night, memakan es krim di rooftop, mengerjakan beberapa soal bersama, atau sekedar berbagi cerita.
Fathur menatap foto-foto Reina yang berwajah masam, tersenyum, bahkan tertawa. Jarinya mengusap foto-foto itu dengan lembut.
"Sorry Rei, aku emang cowok gak punya malu. Aku beneran minta maaf."
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
. . . [TBC]
Ada 2 kabar buat kalian, entah itu kabar baik atau kabar buruk.
1. Sisa chapter di book ini menipis, udah bener-bener tipis. Dikit lagi end, dan boommmm selamat tinggal, eheq.
Kalau misalnya aku bikin wp baru, short story lagi kayak gini, enaknya pake cast siapa ya? Terus ceritanya kayak gimana ? Gatel banget pengen nulis lagi, tapi ide buat cerita sebelah malah mampet.
2. Chapter ini belum sepenuhnya beres. Maksudnya, nggak adil rasanya cuman ngasih screen time beberapa chapter buat sisi Fathur, sementara sisi Reina aja panjang banget.
So, chapter ini bakal dilanjutkan di special chapter, tapi nanti setelah book ini beres, heheq. Sejenis squel dibumbui masa lalu lah ya.