"Sayang."
Kini keduanya terduduk bersama, namun menyelami pikirannya masing-masing, dan asik melamun sendiri-sendiri.
"Maaf."
Satu kata keluar dari pihak laki-laki, Reina menoleh perlahan, masih dengan tatapan kosongnya.
"Maaf, aku minta maaf."
Masih kata yang sama, bahkan lelaki di hadapannya tak berani menatap iris penuh luka yang kini terpatri pada kedua bola matanya.
"Kenapa kamu minta maaf?"
Hanya dengan satu kalimat itu, Fathur sukses mengangkat pandangannya. Mereka bersitatap selama beberapa menit, sampai akhirnya Fathur mengalihkan pandangannya.
Rasanya, berjuta kata maaf belum sanggup menutupi seluruh kebodohannya. Fathur sepenuhnya sadar akan hal itu.
Tangannya terkepal kuat-kuat, buku-buku jarinya sampai memutih menahan gejolak amarah, marah pada dirinya sendiri.
Bagaimana tidak? Sekali lagi, dirinya melihat titik terlemah perempuan yang paling dicintainya setelah sang ibu.
Rasa menyesal menghantamnya telak, makian penuh kebencian terlontar untuk dirinya sendiri, dan pelupuk matanya yang kini dipenuhi bulir kekecewaan terhadap jalan yang dipilihnya.
Masih berusaha mempertahankan jati dirinya sebagai pria, nyatanya pertahanannya runtuh begitu saja.
Kedua tangannya digenggam, dielus lembut, Reina melepaskan kepalan penuh emosi itu dengan sentuhan seringan kapas.
"Jangan Fathur, nanti tangan kamu sakit."
Suara serak itu, apakah setiap kali Reina menangis, suara manis penuh keceriaan akan berakhir serak penuh kepedihan?
"Kamu lebih sakit Reina, aku minta ma-" Ucapannya terhenti begitu saja, jari telunjuk mantan kekasihnya menahan permintaan maafnya untuk yang kesekian kali.
"Jangan minta maaf lagi Fathur, kita sama-sama salah di sini." Gelengan keras Reina dapatkan setelahnya.
"Aku yang sepenuhnya salah di sini." Fathur runtuh, benar-benar berubah menjadi partikel paling kecil.
Yang jelas kini dirinya menyadari sesuatu. Benar kata orang-orang, seseorang akan terasa lebih berharga jika sudah tiada.
Tiada lagi di sisinya, di genggamannya, dan di dalam dekapannya. Meski nyatanya, Reina selalu berada di hatinya, namun ternyata, hal inilah yang menjadikan segalanya menjadi anak panah bagi Fathur sendiri.
Fathur mengangkat wajah hancurnya, menatap wajah Reina yang sama berantakannya. Menatap dalam bola kristal yang tampak akan pecah sebentar lagi, lalu turun menatap hidung kecil yang kini tampak me-merah.
Iris matanya kembali turun, menatap pipi halus yang samar-samar terdapat bekas air mata.
Dan tanpa mereka sadari, entah siapa yang memulai, keduanya saling memeluk, untuk yang pertama kalinya, setelah segala yang mereka lewati.
Lengkap dengan tangis keduanya yang pecah, langit petang yang berwarna orange di atas mereka sukses menjadi saksi bisu akan anak adam dan hawa yang diliputi perasaan yang nyaris tak terdefinisikan.
"Maaf."
Kali ini bukan hanya Fathur, namun Reina ikut mengucapkan kata yang sama. Dahi mereka masih menyatu, keduanya tak sanggup untuk hanya saling membuka mata.
Biarlah mata hati mereka yang saling terbuka, biarlah telinga hati mereka yang saling mendengar, dan biarlah hati mereka yang merasakan segalanya.
Masih menikmati debaran gila yang terasa, tangan Fathur menarik pinggang ramping Reina, lalu memberikan sebuah kehangatan yang menghantarkan gelenyar kegembiraan.
"Kita mulai semuanya dari awal, tanpa ada yang ditutupi, tanpa ada yang disembunyikan, dan biarkan semua orang tau kalau kamu milik aku, dan aku milik kamu. Sayang."
Dan inilah akhir dari semuanya, kita tinggalkan pasangan yang tengah kasmaran di atas sana, nyatanya Fadli di sana, menyaksikan segalanya, menikmati hatinya yang perlahan menyempit, lalu terasa semakin menyesakkan.
Menyaksikan perempuan yang dirinya cintai, dicintai pula oleh orang lain.
Benar bukan? Hari itu adalah hari terakhirnya memeluk Reina, dan kini ia hanya sanggup menatap bukan melakukan.
.
.
.
°•○●□ END □●○•°

KAMU SEDANG MEMBACA
Serpihan Hati [Song Story] ✔
AcakMengingat saat hati yang tersakiti tak bisa utuh kembali, maka di saat itu pula sebuah rasa percaya akan hilang dipertanyakan, juga rasa ingin menyerah datang menghampiri dengan begitu teganya. Sudah berulang kali diberi kesempatan, namun disia-sia...