"Serpihan perih ini, akan ku bawa mati."
Fathur menggenggam sebatang tangkai bunga anyelir berwarna putih, memandanginya dengan tatapan yang kosong.
Tiba-tiba saja dirinya ingin datang ke flower shop. Belakangan ini pikirannya begitu beragam.
"Dek? Ngapain megang bunga anyelir putih itu? Lagi suka sama seseorang ya dek?" Penjaga toko itu terkekeh pelan.
Fathur mengerenyit tak mengerti.
"Loh emang apa hubungannya Bu?" Saking penasarannya, lelaki satu ini menanyakan hal sekecil itu, padahal bisa saja ia mencarinya di internet.
"Loh? Saya kira adek tau. Anyelir putih itu biasanya dibeli sama orang-orang yang pengen ngasih ke orang yang dia sayang. Bukan cuma mawar merah doang, itu biasa." Penjaga toko itu, kembali berucap panjang lebar.
Fathur seketika tenggelam ke dalam ingatannya. Ia benar-benar mengingat dengan jelas perkataan Reina saat itu.
"Thur, kalau aku bunga, kamu mau jadi apa?" Tanya Reina sembari membenarkan letak rambut lelaki yang kini sedang bersamanya.
Mereka sedang duduk berdua di bawah pohon rindang. Oh tidak, lebih tepatnya Fathur sedang tertidur di pangkuan Reina. Ini hari Sabtu, libur kali ini Reina ingin sekali pergi keluar bersama kekasihnya.
Menatap indahnya langit, memperhatikan anak kecil yang berlarian, dan mungkin berteduh di bawah pohon sudah masuk ke dalam list miliknya, untuk hari ini.
"Aku? Jelas aku mau jadi air." Fathur berujar asal, lalu kembali menyamankan posisi kepalanya.
"Loh kok air sih? Kenapa nggak jadi lebah kek, atau jadi kupu-kupu, biar bisa ngunjungin aku tiap hari. Kenapa harus air?" Reina menggerutu.
"Aku pengen supaya kamu hidup karena ada aku. Bunga nggak mungkin mekar kalau nggak ada air."
"Akh next! Ganti pertanyaan aku bete." Fathur membuka matanya perlahan, menyesuaikan cahaya mentari siang hari itu, lalu duduk, -ikut bersandar pada pohon di belakangnya.
Dirinya lalu menarik kepala kekasihnya itu, mempersilakan bahunya menjadi bantalan empuk untuk perempuan ini.
"Kalau kita berdua bunga, kamu mau jadi bunga apa?" Fathur ikut menundukkan kepalanya, menatap perbedaan yang kentara antara jari-jari keduanya.
"Aku mau jadi bunga anyelir putih." Fathur kemudian menyisipkan jari-jarinya di antara jari-jari mungil milik Reina.
"Kenapa anyelir putih? Kenapa nggak mawar aja? Mawar cantik loh, Mawar kelas sebelah juga can- Aw! Iya cantikkan kamu." Fathur terkekeh geli melihat reaksi Reina atas ucapannya barusan, -tangannya diremas kuat.
"Aku pengen jadi anyelir putih, soalnya bunga anyelir putih itu murni. Putihnya anyelir juga melambangkan kesetiaan. Makanya aku mau jadi anyelir putih." Reina tersenyum sembari menatap mata di hadapannya.
"Kalau aku pengen jadi bunga hydrangea ungu. Aku pengen kenal kamu lebih dalam lagi, pengen tau diri kamu lebih jauh lagi. Makannya aku mau jadi bunga ini." Fathur ikut tersenyum setelah selesai mengucapkan kalimatnya.
"Kamu udah tau hampir semua tentang aku Thur." Fathur menggeleng pelan.
"Aku belum liat sisi lemah kamu, aku belum pernah liat kamu nangis, dan aku harap aku nggak akan pernah bikin kamu nangis."
Fathur tersentak kembali kedunianya, menyadari sesuatu yang kini sudah berubah. Status mereka tak lagi sama.
Dirinya gagal menjadi hydrangea ungu untuk anyelir putihnya. Dia justru menjadikan perkataannya sebagai bumerang untuk dirinya sendiri.
Tidak, sudah sejauh mana ia menyakiti Reina?
Fathur kembali mengingat kejadian beberapa hari kebelakang. Dirinya melihat dengan jelas kristal bening yang jatuh meluncur dari pelupuk mata perempuan di depannya.
Menunjukkan sebuah sisi yang bahkan belum pernah ia lihat. Dirinya sukses melihatnya hari itu, namun dirinya pula yang menjadi alasannya.
Tunggu, kenapa hatinya terasa sakit sekarang?
Fathur menggeleng pelan sembari mengedarkan pandangannya, mencari sebuah bunga yang kiranya cantik, secantik Reina mungkin?
Lalu, pandangannya tertuju pada bunga berwarna biru. Dirinya meminta bunga itu untuk dijadikan sebuah buket, bersama dengan beberapa tangkai bunga anyelir putih.
Dirinya akan mengantarnya, mungkin jika memiliki keberanian, ia akan menyerahkannya secara langsung.
Namun nyatanya, ia hanya sanggup mengantarnya hinga depan pintu rumah mantan kekasihnya itu.
Terdiam selama 15 menit dengan pikiran berkecambuk, lalu memilih pergi sembari meninggalkan 1 kalimat di dalam buket bunga itu.
'Maaf.'
.
.
.
[TBC]
KAMU SEDANG MEMBACA
Serpihan Hati [Song Story] ✔
RandomMengingat saat hati yang tersakiti tak bisa utuh kembali, maka di saat itu pula sebuah rasa percaya akan hilang dipertanyakan, juga rasa ingin menyerah datang menghampiri dengan begitu teganya. Sudah berulang kali diberi kesempatan, namun disia-sia...