°18

404 39 0
                                    

"Di matamu."

Ya, Fadli benar-benar menghilang, tidak hadir lagi di hadapannya sampai hari ini. Memblokir seluruh kontaknya, dan memblokir hatinya pula.

Meski kenyataan mengantarkan dirinya pada Fathur, tapi kenyataan pula yang membuatnya terus merindu pada sosok Fadli.

Hari itu adalah hari terakhir mereka, dan mereka sepakat untuk saling melupakan, saling melepaskan, dan saling menutup hati jika bertemu kembali.

Reina membalas semua keinginan Fadli hanya dengan sekali tarikkan kepala.

Mereka sama-sama frustasi, cinta di masa akhir seperti ini adalah sebuah hal yang paling dihindari. Sisi labil yang masih dominan, perasaan yang kerap termainkan, sudah cukup segalanya menjadi lebih berantakan.

Reina menatap pantulan dirinya sendiri pada cermin, hari ini adalah hari kelulusannya, boleh kah dirinya berharap?

Ia menginginkan Fadli datang ke sini, meski hanya untuk menerima penghargaan sebagai lulusan terbaik, lalu menghilang kembali setelah itu.

Ia hanya ingin menatap wajah itu lagi. Satu bulan telah berlalu, lelah berkecambuk dengan hatinya sendiri, Reina memilih untuk menutup diri dari semua orang.

Ujian sudah terlewati, kini kelulusan di depan matanya. Pintu baru akan segera ia masuki. Kini hanya ada dua pilihan untuk hatinya itu.

Memilih melupakan Fathur dengan segala kenangannya yang masih dominan menggentayangi perasaannya, atau memilih untuk kembali kedalam pelukan lelaki itu dan memberinya sebuah kesempatan baru?

Sialnya, keinginan Reina untuk melihat Fadli kembali benar-benar terjadi. Laki-laki itu masih sama, mengumbar senyum menawannya untuk semua orang, dan menatap lewat netra tajamnya itu dengan lembut.

Iris mereka bertabrakan tepat di detik ke-7 setelah Reina menatap punggung tegap itu lamat-lamat.

Tidak, Reina bahkan masih ragu untuk sekedar menyapa, ia hanya membisu dengan bibir yang sedikit ia paksa untuk tersenyum kikuk.

Reina hanya ingin mengucapkan kata maaf bekali-kali. Hatinya tak bisa berbohong, ia masih jatuh pada kubangan yang dibuat oleh Fathur, meski Fadli telah berusaha menariknya dengan kuat.

Belum sempat melangkah mendekat, lelaki satu itu sudah melangkah pergi setelah mengulas setitik senyuman untuk dirinya.

Fadli benar-benar menepati janjinya, sementara dirinya benar-benar gagal akan hal itu. Reina mermas buket bunga Krisan berwarna kuning dan merah itu.

Belum lama setelah Fadli menghilang dari pandangannya, seseorang mendekatinya dan memberikan buket itu, dan ia yakini orang itu adalah orang yang baru saja berbicara bersama Fadli.

Menatap ke-12 tangkai itu dengan pandangan kosong, 11 tangkai berwarna kuning, bersisakan 1 tangkai berwarna merah.

"Fadli titip ini buat lo. Maaf katanya nggak bisa ngasih secara langsung. Barusan dia pergi lagi, dia dijemput."

Lelaki itu bahkan masih memberinya sebuket bunga setelah apa yang terjadi di antara mereka, lalu apa yang ia berikan? Kepedihan? Rasa sakit hati? Air mata? Kekecewaan?

Reina hanya bisa merutuki kebodohan dan kelabilannya. Ia sepenuhnya sadar, hatinya menerima dengan baik kehadiran Fadli, namun masih tak bisa menerima kenyataan bahwa Fathur tak lagi berada dalam tahtanya.

Menghela napasnya pelan, lalu memilih menghilang dari riuh siswa dan siswi lain yang kini sedang mengelilinginya.

Kakinya melangkah, mengangkat sedikit rok panjang itu, mengabaikan tatanan rambutnya yang bisa saja makin berantakan jika terkena angin kencang di tempat yang akan ia tuju.

Tersenyum getir ketika menyadari, bahkan Fathur masih belum mencarinya. Sepertinya opsi pertama benar-benar didukung oleh keadaannya sekarang.

Ah, lebih baik ia dihantui rasa merindu dari pada dihantui rasa bersalah. Bahunya jatuh begitu saja, begitu lelah dengan dirinya sendiri.

Menangkup wajahnya dengan kedua telapak tangan adalah hal yang ia pilih. Pandangannya mulai mengabur, mengabaikan suara derap langkah yang kian terdengar nyaring.

"Reina."

Oh tidak, suara ini. Reina mendongak perlahan dengan wajah berantakan, meski riasan terpatri di wajah itu, sayangnya polesan make up belum sanggup menutupi kesedihannya.

 Reina mendongak perlahan dengan wajah berantakan, meski riasan terpatri di wajah itu, sayangnya polesan make up belum sanggup menutupi kesedihannya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

.
.
.
[TBC]

Jadi, liriknya tinggal 1 kata lagi... ngehe :v

 ngehe :v

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Sumber : Google, tolong selama ini aku pake bunga-bunga itu bukan berdasarkan pengetahuan nyata, aslinya aku nggak tau apa-apa, taunya bunga mawar merah ama putih doang, umum banget

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Sumber : Google, tolong selama ini aku pake bunga-bunga itu bukan berdasarkan pengetahuan nyata, aslinya aku nggak tau apa-apa, taunya bunga mawar merah ama putih doang, umum banget.

So, kalau ternyata ada yang beneran paham masalah perbungaan, aku minta maaf, jangan marahin aku, marahin aja si mbah google, hehe :)

Serpihan Hati [Song Story] ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang