°8

351 49 2
                                    

"Aku t'lah coba untuk memahamimu. Tapi kau tak peduli."

Hari-harinya kini kembali berubah, kini beberapa dari bagian hidupnya mulai memperlihatkan warnanya.

Entah bagaimana caranya, kini ia lebih banyak tersenyum. Tak banyak yang berubah, hanya saja kedatangan Fadli yang merubahnya sedikit demi sedikit.

Semestanya yang semula sudah hancur, kini mulai kembali membaik, bagai bunga di beri air, semuanya mulai tumbuh kian berwarna.

Senyumnya mengembang saat melihat Fadli datang ke arahnya dengan dua bungkus es krim di tangannya.

Namun, pandangannya yang tertuju pada Fadli, harus terhalangi oleh sosok yang dulu sempat menjadi pusat hatinya.

Orang yang belakangan ini menjadi alasan di balik senyumnya, harus terhalangi oleh sosok lain yang justru menjadi alasan di balik tangisnya.

"Lo pulang sama gue hari ini."

Tarikan pada tangannya sukses membuat ia terseret, Fadli yang menyaksikan semua itu hanya bisa tersenyum maklum.

Memang siapa dia? Hanya lelaki yang kebetulan jatuh pada pesona Reina, perempuan yang bahkan sudah memiliki kekasih.

Tepat saat Reina melewati Fadli, laki-laki satu itu memberikan salah satu es krim di tangannya, lalu tersenyum hambar saat jarinya bahkan tak berani menarik perempuan itu.

Selama perjalanan pulang, tak ada yang berani angkat suara, memulai sebuah topik yang sepertinya akan cocok untuk dibicarakan antar sepasang kekasih.

Es krim pada tangan Reina sudah mencair, meleleh dan menetes pada rok hitam miliknya, bertepatan dengan tetesan ke-5, mereka berdua sampai di depan rumah perempuan satu itu.

Tanpa ada satu patah kata pun yang terucap, Reina keluar dan pergi masuk ke dalam rumahnya.

Ia segera memasukkan es krim tadi ke dalam lemari pendingin.

Ah, padahal hari itu Reina akan menghabiskan sorenya dengan Fadli, memakan es krim berdua, sembari mencoba menyelesaikan beberapa soal Kimia.

Lalu Fathur? Entah lah, Reina hanya ingin menghindarinya untuk saat ini.

Entah harus bersyukur atau harus bersedih, sejujurnya ia hanya bingung dengan hatinya sendiri.

Dirinya mengikat sebuah komitmen dalam hubungan yang begitu jelas adanya, mengepalkan janji-janji yang menjadi alasan dirinya bertahan.

Tapi, bolehkah sekali ini saja ia bersikap egois?

Sore itu, masih hujan deras di luar ruangan, dan Reina menghela napasnya lelah, ia ingin sekali pulang, namun kepengurusan membuatnya terpaksa harus tertanam lebih lama di sekolah.

Saat dilanda sepi, ponselnya bergetar. Sebuah nomor yang belum disimpan dalam handphonenya, membuat ia bertanya-tanya.

Tanpa berfikir panjang, ia mengangkat panggilan itu, dan izin keluar ruangan sebentar.

"Halo?" Suara pertama kali terdengar dari sang penelpon. Tapi mengapa suaranya terasa begitu dekat?

Reina menoleh dan tersenyum saat menemukan Fathur yang tersenyum pula ke arahnya, lengan keduanya masih memegang erat ponsel masing-masing, mereka juga masih mendekatkan benda pipih itu ke telinga.

"Ini benar nomor Reina? Kelas 10 MIPA-7?"

Perempuan satu itu hanya terkekeh pelan sembari mengangguk, ia masih menatap Fathur.

"Tau dari mana ini nomorku?" Tanya Reina, sembari memutuskan sambungan telepon mereka.

"Aku cari dari dukun ternama, nyarinya butuh 7 hari, 7 malem, bayarnya pake candi 7 bentuk."

Ia tergelak, Fathur berhasil membuatnya tertawa ditengah-tengah rasa suntuknya hari itu.

"Masih lama?", sekali lagi Fathur berusaha mencari topik.

"Mungkin." Dirinya bergerak gelisah, ia harus segera kembali ke dalam ruangan.

"Aku tunggu ya, kita makan nasi goreng deket kedai es krim depan persimpangan."

"Eh beneran?", senyuman itu tak bisa ia tahan, mengembang begitu saja.

"Tapi bayar sendiri-sendiri." Lelaki itu mencubit pelan pipi perempuan di hadapannya.

"Ish! Iya tau." Reina menunduk demi menyembunyikan semburat merah yang dengan sialnya muncul tanpa ada peringatan.

"Ih merah gitu pipinya, langit aja kalah merah, eh kalah cantik juga sih kalau dibandingin."

Pembohong!

Kemana perginya semua kata-kata itu? Sudah berapa jauh Fathur melangkah menjauhinya?

Sudah berapa lama ia menunggu lelaki itu pulang? Dan kapan dirinya akan pergi tanpa berniat menunggu lagi?

Sekali lagi, ia menangisi kebodohannya, melupakan fakta, bahwa ada orang lain yang lebih mengharapkan dirinya, yang lebih menyesuaikan diri dengannya, atau yang lebih jatuh cinta padanya.

Sekali lagi, ia menangisi kebodohannya, melupakan fakta, bahwa ada orang lain yang lebih mengharapkan dirinya, yang lebih menyesuaikan diri dengannya, atau yang lebih jatuh cinta padanya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

.
.
.
[TBC]

Minggu, 16 Februari 2020

Serpihan Hati [Song Story] ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang