“Katanya orang hebat tidak perlu latihan, ternyata kau latihan juga.”
Taehyung menoleh terkejut saat mendengar suara Jungkook yang amat dikenalnya. Namja manis itu berdiri di pinggir lapangan sambil tersenyum mencemooh.
Saking kagetnya melihat Jungkook, Taehyung menjatuhkan bola basketnya. Entah mimpi apa dia semalam sampai tiba-tiba Jungkook menghampiri dan menyapanya lebih dulu. Padahal biasanya Jungkook pura-pura tidak melihatnya.
“Sedang apa kau disini, gendut?” tanya Taehyung sambil berusaha menyembunyikan kekagetannya.
“Aku tidak sengaja melihat orang tidak jelas yang bermain basket saat cuaca panas seperti ini. Heran saja, kenapa main basket sendirian? Terlebih saat tahu ternyata itu kau. Padahal baru kemarin, kau bilang orang hebat tidak perlu latihan. Ternyata omonganmu memang besar.” Kata Jungkook, tersenyum penuh kemenangan.
“Ini bukan latihan, dasar kelinci gendut! Ini.. aku hanya ingin mengeluarkan keringat saja, untuk kesehatan!”
Jungkook mencibir. “Alasanmu tidak masuk akal. Untuk kesehatan? Cih.. matahari jam segini justru malah merusak kulit, tahu! Dasar monyet alien jelek!”
“Ah, mau kulitku bagaimana juga, fans ku tetap banyak. Tidak masalah.”
“Tingkat ge-er mu itu tinggi skali, ya! Malas sekali lama-lama denganmu!”
“Yee... kau yang menghampiriku, kenapa juga kau yang sewot?”
Ok! Jungkook kesal sekarang. Dengan sebal ia melangkah manjauhi Taehyung. Tapi belum genap lima langkah, ia menoleh kembali. “Heh! Daripada kau panas-panasan tidak jelas begini, bagaimana kalau kau ku wawancara sekarang saja? Lumayan kan, satu kerjaan selesai.”
Taehyung yang mulai mendrible bola langsung tersenyum simpul mendengar permintaan Jungkook. “Maaf, gendut, aku lagi tidak mood sekarang. Sepertinya kau benar, matahari jam segini kurang bagus untuk kulit. Makanya, aku mau cepat-cepat pulang saja. Kalau kau mau wawancara, nanti setelah pertandingan saja. Sekalian kau bisa menulis tentang kemenangan sekolah kita.”
Untuk kedua kalinya Jungkook mencibir. “Kau pede sekali akan menang. Kalau kalah? Nanti malah jadi malu-maluin lagi.”
“Tidak mungkin. Aku pasti menang. Tenang saja!”
“Sumpah, kau congkak sekali, Tae! Plus rese!”
Tanpa menunggu jawaban Taehyung, Jungkook melangkah kesal.
Taehyung mendrible bola sambil mengawasi kepergian Jungkook. Senyum kecil terukir di bibirnya, sekalipun kesal pada Jungkook, paling tidak hari ini namja manis itu menyapanya lebih dulu. Mungkin ini pertanda baik. Semoga...
.
.
.
“Jungkook menyapaku lebih dulu, Jim! Hebat kan?”
Jimin menutup telinga, kesal. “Aku tidak mau dengar yang namanya Jungkook lagi dari mulutmu. Paling tidak sampai pertandingan kita berakhir dengan kemenangan.”
“Kau kenapa sih? Sahabatmu senang, kau malah seperti itu.”
“Sepertinya otakmu perlu dicuci deh, tae. Di otakmu itu cuman ada Jungkook Jungkook Jungkook terus. Masih untung aku tidak marah karena kelakuanmu tempo hari. Bisa bisanya kau lebih memilih ekskul jurnalistik daripada latihan perdana kita. Untung sampai sekarang yang lain tidak tahu kalau kau izin telat hanya untuk ikut rapat mading. Kalau mereka tahu, mereka pasti dongkol denganmu. Malah mungkin mereka bisa mogok latihan.”
“Kau jangan bahas itu teruslah, Jim. Kan sudah kubilang itu sekali dan terakhir. Kau lihat sendiri kan, aku bisa menepati kata-kataku.”
“Itu karena kau beruntung sukses merayu Kim ssaem. Coba kalau tidak! Aku yakin kau akan mengulanginya entah sampai berapa kali lagi.”
“Sudahlah, Jim. Kau jangan bahas itu dulu, oke. Ada hal lebih penting yang ingin kuceritakan.”
“Seperti yang ku bilang tadi, kalau topiknya tentang Jungkook, aku tidak ingin membahasnya sekarang. Yang penting adalah latihan kita dulu, setelah pertandingan selesai baru kita bahas masalah perasaanmu pada Jungkook, oke?”
Taehyung terpaksa diam. Jimin sepertinya serius dengan perkataannya. Daripada membuat Jimin marah padanya seperti tempo hari, Taehyung terpaksa menunda niatnya untuk bicara lebih lanjut tentang Jungkook.
“Oke, kalau begitu kita bicarain tentang pertandingan. Tapi yang jelas, kau tenang saja. Kalau dari latihan kita kemarin, seharusnya kita sudah bisa mengalahkan Hannyoung High School.”
“Iya... dengan catatan kaptennya fokus juga ke pertandingan!”
Taehyung menatap Jimin dengan jengkel. “iya, iya, Jim. Kau lihat saja nanti!”
.
.
.
Jadwal pertandingan yang semakin dekat membuat Taehyung menambah jam latihan dan mengurangi kegiatan lainnya, termasuk ekstrakurikuler jurnalistik. Dan itu jelas mempersempit waktunya untuk bertemu Jungkook. Tidak heran ia jadi sangat menantikan saat kerja kelompok bersama Jungkook. Walaupun capek setelah latihan rutin, namja itu masih bersemangat saat harus kerja kelompok di rumah Jungkook.
Taehyung tiba di rumah Jungkook ketika Jungkook dan Lisa sudah memulai kerja kelompok. Tanpa meminta maaf karena terlambat, ia langsung mengambil posisi di samping Jungkook.
“Kau telat!” kata Jungkook galak.
“Masih untung aku datang!” balas Taehyung sama galaknya.
Jungkook memandang Taehyung dari ujung rambut hingga ujung kaki. Saat sadar namja itu masih memakai baju basket, Jungkook membelalak ngeri. “Kau habis latihan langsung kesini? Tudak mandi dulu?”
Taehyung meringis. “Kau mau aku lebih telat dari sekarang? Tidak pa-pa sih. Aku bisa pulang dulu. Tapi jangan menyalahkanku, kalau saat balik nanti kalian udah kelar.”
“Kau kan bisa mandi di sekolah, Tae! Jorok sekali, sih? Jangan dekat-dekat denganku!”
“Kalau bukan karena terpaksa, aku juga tidak mau dekat-dekat denganmu. Tapi laptopnya kan ada padamu. Kalau mau lihat, otomatis aku harus disampingmu lah.”
Jungkook buru-buru menggeser laptop ke hadapan Taehyung. “Kau saja yang ketik. Aku dan lisa mencari teorinya saja. Daripada nanti aku pingsan kena aromamu.”
Lisa tertawa melihat sikap Jungkook. Sambil membolak-balik buku, Lisa buka suara, “Kau tidak kasihan pada Taehyung, Kook? Dia kan harus latihan untuk pertandingan minggu depan. Kalau kerja kelompok kita kan masih lama, jadi ditunda seminggu juga tidak pa-pa.”
“Orang hebat tidak perlu latihan, Lis. Menurut Taehyung, dia kan hebat, jadi harusnya tidak perlu latihan. Berhubung dia tidak perlu latihan, jadi kita kerja kelompok saja.”
“Aku santai saja kok, Lis. Memang dasarnya Jungkook tidak bisa jauh-jauh dariku, jadi cari alasan saja dia. Tapi tidak pa-pa aku sudah bisa kok.”
“Amit-amit!”
Lisa tertawa kecil melihat respon Jungkook. Saat Jungkook sudah berkonsentrasi dengan buku-buku dihadapannya, Lisa kembali menekuni bukunya. Namun belum lama, perhatian Lisa kembali terpecah saat melihat bocah laki-laki berjalan mendekati Taehyung.
Taehyung sendiri baru akan melihat barisan kalimat di laptop, saat menyadari Jihoon mendekatinya. Ia menoleh ke arah Jihoon dan tersenyum saat anak itu memberikan kertas. Ia meraih kertas itu dan menatapnya lekat-lekat. Decakan kagum terlontar dari bibirnya.
“Gambarnya bagus sekali, ini untukku?” tanya Taehyung setelah bisa mengalihkan pandangan dari sosok dirinya yang digambar Jihoon di kertas tadi.
Jihoon mengangguk sambil tersenyum bangga.
“Makasih ya, Jihoon”
Jihoon mengangguk.
“Adikmu ya, Kook?” tanya Lisa pelan.
Dari sudut matanya Taehyung melihat Jungkook mengangguk pelan.
“Jihoon, aku mau dong digambar juga,” kata Lisa cepat.
Taehyung menatap Jihoon. Seperti yang diduganya, Jihoon masih menatapnya sehingga tidak mendengar Lisa. Saat Lisa mencolek bahu Jihoon, baru perhatian Jihoo teralih ke Lisa. Lisa kemudian mengulangi permintaannya.
“Boleh...,” kata Jihoon, terbata bata tapi ramah.
Sesaat Lisa terdiam, heran dengan sikap Jihoon.
Taehyung buru-buru mengalihkan perhatian Jihoon. “Jihoon, gambar kak Lisanya nanti saja ya. Sekarang kami mau belajar dulu. Setelah selesai baru Jihoon boleh menggambar kak Lisa,” kata Taehyung ramah.
Jihoon tersenyum, lalu mengangguk pelan. Tak lama ia melangkah ke kamar.
Sepeninggal Jihoon, tak ada satupun yang bersuara.
Lisa angkat bicara beberapa saat kemudian. “Adikmu tidak bisa mendengar ya, Kook?” tanya Lisa ragu-ragu.
Taehyung melirik Jungkook, menunggu jawaban namja manis itu. Dilihatnya jungkook balas meliriknya sekilas, sebelum menatap Lisa sambil mengangguk mantap. “Iya, sejak lahir.”
Lisa manggut-manggut mengerti. “Kenapa bisa sampai begitu ya? Padahal kau normal-normal saja. Kasihan adikmu.”
Taehyung langsung mendengus mendengar komentar Lisa.
“Kasihan? Yang benar saja,Lis. Justru anak -anak seperti Jihoon diberi keahlian khusus sama Tuhan. Kau lihat gambar Jihoon tadi. Anak yang lebih besar umurnya daripada Jihoon belum tentu bisa menggambar sebagus itu. Justru kita yang sempurna tapi tidak punya keahlian apa-apa, nah, itu baru perlu dikasihani.”
Lisa maupun Jungkook menatap Taehyung dengan heran. Seketika Lisa salah tingkah, merasa tidak enak hati, sementara Jungkook saking terkejutnya, masih memandangi Taehyung dengan tatapan berterima kasih.
“Nah, kalau ada yang perlu dikasihani, orang itu kau, kelinci gendut. Adikmu sih masa depannya sudah jelas. Pelukis profesional. Kalau kau? Hmm.. sampai sekarang aku tidak punya bayangan apa-apa,” lanjut Taehyung sambil menggeleng pasrah.
Jungkook tersenyum tipis, lalu menatap Taehyung dalam-dalam.
“Kalau kau tidak mulai kerjain tugasnya sekarang, kupastikan kau juga tidak akan punya masa depan, karena aku akan memasakmu hidup-hidup!”
Taehyung mencibir, lalu kembali menekuni laptop.
“Sudahlah, kita cepat kerja saja supaya bisa pulang sebelum gelap” kata Lisa sambil membuka buku paket yang bertumpuk di meja.
.
.
.
“Tae monyet!”
Taehyung baru akan berlari menuju lapangan basket saat suara Jungkook terdengar. Ia tahu betul namja manis itu memanggilnya, tapi ia tidak menoleh. Namun ia memperlambat langkahnya agar Jungkook bisa menyusulnya dengan mudah.
“Monyet, tunggu! Aku mau bicara!” Ulang Jungkook sambil berjalan cepat menyusul Taehyung.
Saat Jungkook berhasil menjajari langkahnya, baru Taehyung berhenti dan meliriknya sekilas. Ia pura-pura memasang tampang terkejut. “Eh,.. Gendut. Kau mencariku?” tanya Taehyung sambil memainkan bola basket yang dipegangnya.
Jungkook memberengut. “Ya, iyalah aku mencarimu. Aku sudah memanggilmu dari tadi, juga!”
“Oh ya? Kapan? Aku tidak dengar.”
“Hah, sudahlah. Jangan buang-buang waktu. Aku cuma mau kasih info penting. Sabtu ini kita semua nginep di sekolah buat nyelesain mading lomba. Jadi kau siap-siap saja bawa perlengkapan untuk menginap nanti. Kumpul di markas jam delapan malam. Tidak pakai molor!”
Butuh waktu sekian detik bagi Taehyung untuk mencerna ucapan Jungkook. Apa yang dikatakan Jungkook tak masuk akal di otaknya. “Nginep di sekolah? Kau gila?” Raung Taehyung.
“Memangnya kenapa kalau nginep di sekolah? Kalau kau tidak mau, terserah juga, sih. Tapi yang jelas, kau tidak akan dapat dispensasi lagi. Pertandinganmu kan selesai kamis ini, jadi sabtu nanti kau pasti free.”
“Perlu, ya sampai segitunya? Deadline mading masih bulan depan, kan?”
“Iya, masih bulan depan, tapi kalau bisa selesai lebih cepat kenapa tidak? Aku juga mengincar predikat sekolah yang mengumpulkan mading pertama kali.”
Taehyung mendengus sinis. “Kau memang aneh ya, kook. Masa kau mengincar predikat kacangan seperti itu? Kalau aku sih lebih baik mengincar predikat juara satu di lombanya. Dasar aneh! Mendingan lambat tapi bagus kali, daripada cepat tapi hasilnya nanti tidak karuan.”
Jungkook menatap Taehyung tajam. “Makanya jangan sok tahu. Aku belum selesai bicara. Aku tidak hanya mengincar predikat sekolah pertama yang mengumpulkan mading, tapi juga juara satu. Kenapa kuputuskan untuk menginap, karena bulan depan kita ada outbound di puncak, jadi tidak mungkin bisa mengurus mading. Karena itu, mau tidak mau, madingnya harus kita selesaikan bulan ini. Lagipula, anggita lain setuju-setuju saja. Cuma kau yang banyak cincong.”
“Sebentar, sebentar.. Outbound? Bulan depan? Kenapa aku tidak tahu hal itu, ya?”
“Soalnya kau sering bolos rapat. Masih nanya lagi, itu agenda rutin tahu.”
Taehyung menarik napas panjang. Astaga! Banyak sekali yang harus dikorbankan untuk ikut ekstrakurikuler yang diketuai Jungkook. Nginep di sekolah, outbound. Merepotkan!
“Kenapa harus ada acara outbound outbound segala, sih? Berapa hari? Nginep dimana?”
“Untuk pengakraban anggota supaya kinerja kita bisa lebih baik. Lagipula disana ada pelatihan, kok. Jadi bisa nambah skill juga. Nginepnya sebentar, cuman tuga hari dua malam, kayak kemping.”
Mulut Taehyung ternganga lebar mendengar penjelasan Jungkook. Sumpah, informasi Jungkook sama sekali tidak menarik. Pengakraban anggota? Siapa yang butuh? Yang dibutuhkan Taehyung hanya akrab dengan Jungkook, bukan dengan seluruh anggota. Penambahan skill. Ada-ada saja! Taehyung cukup bangga dengan skill jurnalistiknya yang dibawah rata-rata. Ia sama sekali tidak tertarik pada jurnalistik. Satu-satunya yang membuatnya tertarik pada kegiatan itu hanya karena ada Jungkook. Lalu kemping selama itu? Gila. Untuk ekstrakurikuler basketnya saja Taehyung tidak memprogramkan seperti itu. Lebih baik tidur nyenyak di rumah.
“Kita bolos sekolah?” tanya Taehyung menyelidik.
Jungkook tersenyum, lalu menggeleng pelan. “Tidak. Kita nanti pergi jumat, pulang minggu. Kebetulan jumat dan sabtu hari besar, jadi kita libur. Kita memang sengaja mencari hari libur. Supaya acara ini tidak mengganggu kegiatan sekolah.”
Taehyung mengembuskan napas kesal. Lengkap sudah penderitaannya. Kalau bolos sekolah masih lumayan, ini malah menggunakan hari libur.
“Kalau aku tidak ikut?”
Jungkook mengangkat bahu. “Terserahmu juga, sih. Tapi ini acara wajib, jadi pasti ada sanksi. Ah, sudahlah, aku malas bicara denganmu terus. Aku Cuma mau bilang itu.”
Jungkook berbalik, melangkah menjauhi Taehyung, yang masih mencerna perkataan namja manis itu. Entah kenapa, niat latihan basketnya menguap seketika.
.
.
.
TeBeCe
KAMU SEDANG MEMBACA
Hate You! Love You!
FanfictionSepanjang masa SMA, belum pernah Jungkook membenci seseorang seperti dia membenci Taehyung. Sejak awal pertemuan mereka, Taehyung tak henti-hentinya menganggu hidupnya. karena itu, Jungkook jadi bingung setengah mati saat tiba-tiba Taehyung mengungk...