14

559 33 2
                                    

Jungkook menatap punggung Taehyung yang menjauh dengan perasaan tidak percaya.
Apa-apaan ini? Taehyung bilang, anggap saja surat itu tidak pernah diberikan padanya? Surat yang membebani pikirannya semingguan itu ternyata hanya main-main?

Jungkook syok dengan sikap Taehyung. Tak sanggup melihat sosok Taehyung sekalipun hanya punggungnya, ia berbalik dan kembali ke markas ekskul jurnalistik.

Niatnya untuk mengikuti ekskul lenyap sudah. Hati dan pikirannya begitu terkejut oleh sikap Taehyung.

Tanpa banyak berpikir Jungkook meraih tas. Percuma dia mengikuti ekskul hari itu. Ia pasti tidak bisa berkonsentrasi. Dengan gontai ia meninggalkan markas. Yang dibutuhkan Jungkook hanya secepatnya pulang dan tidur untuk melupakan kepedihannya.

.

.

.

Rasanya mata Jungkook baru saja terpejam saat ada yang menggelitik telinganya. Malas-malasan ia mencoba menghalau apapun yang mengganggu telinganya, tapi gagal sehingga terpaksa ia membuka matanya.

Wajah Bambam lah yang dilihatnya begitu matanya terbuka. Seringai temannya plus bulu kemoceng di tangannya menjawab pertanyaan Jungkook tentang sesuatu yang menggelitik telinganya tadi.

“Bambam! Kau benar-benar menyebalkan!” omel Jungkook sambil mengambil bantal untuk menutupi wajah.

Tanpa kasihan sedikitpun, Bambam merebut bantal Jungkook. Jungkook dipaksa melihat wajah Bambam.

“Tumben kau bolos ekskul, kook?” Tanya Bambam penasaran.

Lesu, Jungkook melirik Bambam. “Kau mengganggu tidurku saja Bam-ie”

Bambam tersenyum tanpa merasa bersalah. “Bangun, Kook! Tak baik tidur terus, nanti tak akan ada lagi seme yang mau denganmu.”

Jungkook menyambar hp dan berteriak jengkel pada Bambam.

“Sekarang baru jam empat, Bam. Aku tidur belum setengah jam, tahu!”

Bambam menjulurkan lidah. “Mana ku tahu! Salahmu sendiri main pulang begitu saja. Tadi aku mencarimu kemana-mana. Bilang-bilang kalau tidak mau pulang bareng.”

Jungkook menepuk dahi. Astaga, ia lupa pamit pada Bambam. Biasanya mereka pulang bersama setelah ekskul masing-masing.

“Kau belum menjawab pertanyaanku. Kenapa kau bolos ekskul? Kau sakit?”

Jungkook menggeleng pelan. “Tidak Bam-ie. Hanya lagi ingin bolos saja.”

Bambam mendengus tak percaya. “Tidak mungkin kau bolos kalau tidak ada masalah.”

Jungkook termenung. Tak lama ia berkata sendu, “Taehyung ternyata hanya mempermainkan perasaanku saja, Bam.”

“Maksudmu?”

“Tadi siang dia bilang padaku untuk melupakan surat itu.”

Bambam mencerna informasi Jungkook dalam diam. Jungkook tampak sedih.

“Tapi, kook, bukannya malah bagus kalau Taehyung ternyata hanya main-main? Kau jadi tidak perlu stress lagi mikirin jawabannya.”

Jungkook tersenyum terpaksa. “Iya juga. Tapi kali ini ia kelewatan!”

“Iya. Tapi ambil positifnya saja, Kook. Mulai hari ini kau tidak perlu memikirkan cara menjawab atau bersikap pada Taehyung. Semua kembali seperti semula, kan?”

Lagi-lagi Jungkook memaksakan senyum. Sekalipun perkataan Bambam terdengar benar, bagian terdalam diri Jungkook kecewa dengan perkataan Taehyung. Padahal Jungkook pikir Taehyung sungguh-sungguh menyukainya.

“Oh iya, kook, aku mau ke mall sebentar, ada yang mau kubeli. Kau mau ikut tidak? Kita sekalian nongkrong. Ada kafe baru. Katanya minuman dan makanannya enak.”

Jungkook menggeleng yakin. “Lain kali saja, Bam-ie. Aku ngantuk. Mau lanjut tidur saja.”

“Oh gitu. Oke. Kalau begitu aku pergi, ya. Nanti keburu malam, nih.”

“Iya. Maaf ya Bam-ie.”

“Biasa saja, Kook. Lanjutkan tidurmu!”

Jungkook mengangguk, lalu menunggu Bambam menghilang dari kamar. Begitu Bambam menutup pintu, Jungkook menatap langit-langit kamarnya. Perasaannya begitu campur aduk. Marah, sedih, kecewa, dan sakit hati. Yang pasti tidak ada perasaan lega seperti kata Bambam.

Apa sekarang perasaan Jungkook pada Taehyung sudah berubah? Apa itu sebabnya ia tidak merasa lega atau senang saat Taehyung menyuruhnya melupakan surat itu?

Jungkook memejamkan mata. Wajah Taehyung terus bermain di benaknya. Tanpa dikomando, segala keusilan Taehyung muncul bergantian. Kalau dulu Jungkook sebal luar biasa dengan tingkah Taehyung, kali ini justru ia merindukannya. Sekarang semua yang dilakukan Taehyung terasa lucu. Mungkin hari-harinya di Big Hit High School tidak akan meriah tanpa kehadiran Taehyung.

Pikiran gila merasuk di otak Jungkook. Mungkinkah ia jatuh cinta pada Taehyung? Ia mencoba mencari bukti untuk meyakinkan diri sendiri. Dan setelah berpikir beberapa saat, ia tahu benar bagaimana perasaannya pada Taehyung. Ia menyukainya!

Jungkook sering bertanya pada diri sendiri, kenapa dia begitu marah saat melihat Taehyung berduaan dengan Irene. Jawabannya, ia cemburu!

Jungkook menutup wajah dengan kedua tangan. Sepertinya nasib mempermainkannya. Saat ia tahu dirinya menyukai Taehyung, kenyataan malah memberi petunjuk bahwa tidak mungkin ia bersama Taehyung. Namja itu tidak menyukainya.

.

.

.

Yang pertama kali dilirik Jungkook saat masuk kelas pagi itu adalah bangku Taehyung. Saat melihat bangku itu masih kosong, ia mengembuskan napas lega. Jujur, ia masih belum tahu harus bersikap bagaimana pada Taehyung. Seharusnya ia marah, tapi sulit melakukannya.

Kook, kau harus kontrol sikapmu, jangan salah tingkah seperti kemarin-kemarin. Jangan sampai Taehyung tahu kau menyukainya. Kau bisa jadi bahan ledekan seumur hidup kalau dia sampai tahu kau menyukainya. Apalagi ternyata dia hanya main-main. Kau sudah kalah satu kali darinya, jangan mau kalah lagi! Batin Jungkook.

Saat akhirnya sosok Taehyung muncul di pintu, Jungkook langsung salah tingkah. Cepat-cepat ia membenahi posisi duduknya dan sok sibuk dengan ponsel. Sekali lagi, ia melirik Taehyung. Dan apa yang dilihatnya langsung membuat perutnya sakit.

Ternyata Taehyung tidak sendirian. Disampingnya berdiri yeoja yang paling Jungkook benci di sekolah. Mereka tengah bercanda dan menertawakan sesuatu. Jujur mereka tampak begitu dekat.

Hati Jungkook mencelus. Lupa bahwa dia harus pura-pura sibuk dengan ponsel. Setelah yakin dengan perasaannya, kepedihannya melihat mereka berdua terasa berkali-kali lebih sakit daripada sebelumya.

Jungkook masih belum bisa mengalihkan pandangannya dari Taehyung dan Irene. Entah karena merasa diperhatikan atau memang sedang ingin menatap Jungkook, Taehyung berpaling memandang Jungkook. Spontan Jungkook langsung berpaling ke arah lain.

.

.

.

Di sekolah Jungkook bisa membohongi Taehyung dengan berpura-pura marah pada namja itu. Ia pun sukses menekan perasaan sedihnya saat berbaur dengan teman-temannya. Tapi di rumah, apalagi saat sendirian, Jungkook tidak bisa membohongi diri sendiri. Ia patah hati!

Jungkook mengetuk-ngetukkan bolpoin ke meja. Seharusnya dari tadi ia belajar untuk tes besok, tapi otaknya tak mau berkonsentrasi ke pelajaran. Bayangan keakraban Taehyung dan Irene menyedot seluruh energi otaknya.

Taehyung dan Irene... sudah jadiankah mereka? Lalu sebenarnya apa maksud Taehyung memberi surat itu kepadanya? Teganya Taehyung mempermainkannya seperti ini. Jungkook masih asyik menganalisis saat suara Bambam membawanya kembali ke alam nyata.

“Kau kenapa, Kook?” tanya Bambam dari balik punggung Jungkook.

Sambil mengurut dada Jungkook menatap Bambam dengan sengit.

“Kau mengagetkanku terus deh, Bam!”

“Ku pikir kau lagi serius belajar, ternyata malah ngelamun.”

“Siapa bilang aku ngelamun? Aku lagi mikir. Lagian ngapain kau kesini? Tidak belajar?”

Bambam tersenyum lebar. “Justru itu tujuanku kesini. Aku kan bego fisika. Jadi mau minta kau ajarin.”

“Dasar! Yasudah kalau begitu kita mulai saja.”

“Sip! Tapi omong-omong kau kenapa sih, Kook?”

“Tak apa. Memangnya kenapa?”

“Kalau memang tak pa pa, kenapa tampangmu seperti itu? Seperti ada masalah berat saja.”

Jungkook terdiam. Masalah berat? Memang urusan sama Taehyung tergolong masalah berat, ya?

“Kalau ada masalah, ceritalah padaku, Kook. Jangan dipendam sendiri. Aku sahabatmu loh, bisanya kau selalu cerita padaku.”

Bambam belum tahu perasaan Jungkook. Sekalipun malas cerita, Jungkook tahu ia butuh seseorang untuk diajak tukar pendapat, atau paling tidak menampung perasaannya.

“Tapi kau janji jangan tertawa ya, Bam-ie,” putus Jungkook sambil mengubah posisi duduk sehingga berhadapan dengan Bambam.

“Kau pikir aku gila, menertawakan masalah orang lain?”

Jungkook terdiam. Setelah menarik napas panjang ia berkata lirih, “sepertinya aku menyukai Taehyung Bam-ie.”

Sekalipun suara Jungkook sepelan bisikan, Bambam mendengar jelas. Ia tersenyum lebar.

“Tuh kan, kau tertawa. Padahal tadi kau sudah bilang tidak akan tertawa!” Tuduh Jungkook dongkol.

“Siapa yang ketawa sih, Kook? Aku cuma tersenyum. Itu pun karena senang. Akhirnya kau sadar juga sama perasaanmu.”

Jungkook memandang sahabatnya dengan heran. Apa maksudnya? Memangnya Bambam sudah tahu Jungkook suka pada Taehyung? Tapi mana mungkin? Jungkook sendiri saja baru menyadarinya beberapa hari lalu.

“Aku tidak mengerti maksudmu, Bam. Kau mau bilang bahwa kau sudah tahu aku suka sama Taehyung sebelum aku mengatakannya padamu, begitu?” tanya Jungkook sangsi.

Bambam mengangguk bangga. “Iya, aku memang tahu. Kau saja yang tidak sadar-sadar. Padahal jelas sekali.”

“Masa sih? Memangnya apa yang ku lakukan?”

Bambam tersenyum misterius. “Kau cemburu!”

Jungkook ternganga mendengar jawaban Bambam. “Aku apa?”

“Kau cemburu! Setiap lihat Taehyung berduaan dengan Irene, kau langsung jengkel. Lagian aku pernah memergokimu berkali-kali mencuri pandang ke Taehyung.”

Jungkook mengernyit, “Sembarangan! Kapan aku seperti itu?”

“Apa kau tidak sadar waktu meliriknya? Aku pribadi sih sudah memergokimu berkali-kali melakukannya. Parah kalau kau tidak sadar, Kook.”

Jungkook mencerna perkataan Bambam. Ia sungguh tidak merasa pernah mencuri pandang ke Taehyung seperti yang dituduhkan Bambam. Kalau tentang cemburu? Yah, walaupun saat itu Jungkook tidak sadar kalau dirinya cemburu, paling tidak sekarang ia memahaminya. Ia cemburu.

“Jadi, valentine nanti kau bakal resmi punya pacar dong, Kook.” Kata Bambam terkekeh.

Wajah Jungkook berubah murung. Perlahan ia menggeleng lesu. “Tidak Bam-ie, itu tidak akan terjadi.”

“Maksudmu? Kau mau menolak Taehyung begitu?”

Lagi-lagi Jungkook menggeleng. “Kau lupa ya Taehyung tidak serius denganku? Dia tidak menyukaiku. Kau lupa Taehyung bilang, anggap saja dia tidak pernah memberikan surat itu.”

Bambam mendecak tak sabar, “ku pikir kenapa, ternyata masalah itu. Kalau menurutku, Taehyung berkata seperti itu karena takut ditolak, kook. Kalau tentang perasaannya, menurutku sih Taehyung cinta mati padamu. Kau saja yang bodoh dan tidak sadar-sadar.”

“Sok tahu kau, Bambam!”

“Aduh, Kook, aku bukan sok tahu, tapi pikir pakai logika. Sejak kau cerita Taehyung kirim surat, aku jadi lebih memperhatikan tingkah Taehyung saat itu. Aku jadi menganalisis hubungan kalian. Habis aku penasaran, bagaimana bisa Taehyung yang selalu mengganggumu tiba-tiba mengirimkan surat cinta. Dan hasilnya membuat aku terkejut. Mungkin kau tidak sadar, tapi kau perlu tahu, sehari Taehyung bisa melirikmu berkali-kali. Bahkan saat bersama Irene pun, dia masih sempat-sempatnya melirikmu. Bukti paling jelas bukan itu, Kook, tapi keikutsertaannya di ekskul jurnalistik. Jujur waktu kau cerita Taehyung masuk ekskul jurnalistik, aku bingung. Untuk apa coba Taehyung ikut begituan? Dia tidak menonjol di pelajaran sastra. Dan aku juga tidak pernah dengar Taehyung doyan jurnalistik. Begitu dia memberikanmu surat cinta, baru semuanya jelas.”

Benarkah apa yang dikatakan Bambam? Kalau memang benar, berarti selama ini Jungkook begitu bodoh. Tapi kalau Taehyung menyukainya, kenapa selalu membuat gara-gara dengannya?

“Kalau tentang Taehyung, kau tidak perlu khawatir, Kook. Aku yakin dia benar-benar menyukaimu. Feelingku jarang salah,” tukas Bambam yakin.

“Tapi Taehyung sudah bilang begitu padaku, Bam. Kalau dia beneran suka, kenapa dia bilang begitu padaku?”

“Mungkin karena kau mendiamkannya akhir-akhir ini. Soalnya aku sempat lihat Taehyung sedang melihatmu, tapi raut wajahnya terlihat sedih. Aku sampai kasihan melihatnya.”

“Lalu sekarang bagaimana?” kata Jungkook pelan.

Bambam mengembuskan napas panjang. “Menurutku, kalau memang kau suka, bilang saja. Daripada nanti kau menyesal. Kalau perlu, besok pagi kau bicara langsung ke Taehyung.”

“Gila! Kalau dia tidak mau bertanya duluan, aku tidak mau bicara. Malu Bam-ie!”

“Kau pernah pikir tidak? Seberapa malu Taehyung saat memberikan surat itu padamu. Yang jelas, pasti lebih parah daripada apa yang kau rasakan. Sudahlah, Kook. Dewasa sedikit. Kalau memang suka, bilang saja suka.”

“Tapi kalau Taehyung ternyata hanya mempermainkanku?”

“Yang penting kau sudah mencoba. Daripada nanti kau menyesal? Kalau ternyata Taehyung serius seperti dugaanku bagaimana?”

Jungkook termenung, kalau memang Taehyung serius, bukankah mereka akan menyesal kelak? Tapi... haruskah dia mengungkapkan isi hatinya duluan? Lalu bagaimana dengan Irene? Yeoja itu begitu dekat dengan Taehyung, benarkah tidak ada hubungan khusus diantara mereka? Kalau ada, bukankah mengaku duluan pada Taehyung akan menjadi hal paling memalukan sepanjang masa SMA-nya?

“Aku rasa itu bukan ide yang baik, Bam-ie. Kita tidak tahu ada hubungan apa Taehyung dengan Irene,” tolak Jungkook pelan.

“Kau lihat sendiri kan bagaimana dekatnya aku dan Jackson? Tapi kau juga tahu kami tidak pacaran. Taehyung dekatnya sama Irene, tapi yang disukainya itu kau Jungkook.”

“Itu kan menurutmu.”

“Astaga, Kook! Jadi aku berbicara sampai berbusa daritadi tidak ada yang kau resapi? Terserah kau sajalah. Yang penting aku sudah kasih pendapat. Kalau kau keras kepala tidak mau bicara, itu hak mu. Tapi nanti kalau kau menyesal, jangan bilang aku tidak pernah mengingatkanmu.”

Jungkook menatap Bambam sambil menimbang-nimbang saran sahabatnya. Jujur, itu sangat sulit dilakukan. Ia tidak pernah membayangkan harus mengakui perasaannya pada Taehyung.

“Nanti akan ku pikirkan lagi, Bam. Mengakui perasaan suka pada seseorang bukan hal yang mudah untukku,” aku Jungkook pelan.

Bambam mengangguk mengerti. “memang perlu kau pikirkan, Kook. Aku doakan yang terbaik untuk kalian.”

.

.

.

TeBeCe






Hate You! Love You!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang