9

528 30 2
                                    

“Jim, setelah dipikir-pikir, sepertinya aku punya strategi baru untuk mendapatkan Jungkook,” kata Taehyung setengah merenung.

Tanpa mengalihkan pemandangan dari video game, Jimin mendengus keras. “Aku tidak berani bertanya mengenai strategi aneh apa lagi yang akan kau mainkan.”

Taehyung menoyor kepala Jimin hingga sohibnya itu mengomel jengkel.

“Yak! Dengarkan aku dulu, kau sahabatku bukan, sih?”

“Lihat saja! Setelah game ini selesai, akan ku jitak kau sampai mampus. Lagian kalau mau cerita, cerita saja. Tidak perlu menoyorku, sialan!”

Taehyung tidak memedulikan ucapan Jimin. Ia berjalan mondar-mandir di kamar sobatnya itu.

“Kau tahu, saat pertandingan basket kemarin aku jelas-jelas melihat Jungkook duduk di deretan paling depan. Tapi saat ku tanya, dia tidak mengaku. Setelah ku pojokkan baru dia mau mengakuinya. Waktu kutanya kenapa dia tidak memberikan selamat kepadaku, jawabannya membuat aku merasa dia cemburu karena sehabis pertandingan kita asyik ngobrol dengan Irene cs.” Kisah Taehyung panjang lebar.

Jimin tak bereaksi sedikit pun.

“Yah, memang belum tentu Jungkook punya perasaan lebih padaku, tapi kupikir, tidak ada salahnya aku coba pancing Jungkook dengan cara dekat dengan Irene. Siapa tahu Jungkook benar-benar menyukaiku. Menurutmu bagaimana, Jim?”

Jimin tidak menjawab, sibuk mematikan lawan di video game.

“Jim, kau minta ditoyor lagi?”

“Diam dulu, Tae. Beri aku waktu lima menit dan kau akan dapat pendapat terakurat dari pakar cinta.”

“Sialan!”

Terpaksa Taehyung mengambil majalah yang tergeletak di ranjang. Tanpa minat ia membaliknya cepat. Majalah itu hampir selesai dibaca saat bantal mengenai kepalanya.

“Oke, selesai. Sekarang dengarkan aku baik-baik. Aku cuma ngomong sekali!” Kata Jimin, duduk di hadapan Taehyung.

“Menurutku, strategimu itu tidak perlu dilakukan. Kenapa? Karena dari ceritamu tadi, keliatan kalau Jungkook juga menyukaimu.” Lanjut Jimin serius.

“Kau jangan numbuhin harapan palsu seperti itu dong, Jim!” omel Taehyung sambil menyingkirkan majalah.

“Kau yang bilang Jungkook duduk di barisan depan dan menyemangatimu. Kau juga yang bilang Jungkook cemburu sama Irene karena selesai pertandingan kita  keasyikan sama anak-anak cheer.”

“Iya, tapi itu tidak bisa membuktikan apapun.”

“Siapa bilang? Coba kau pikir lagi. Kalau memang Jungkook tidak punya perasaan apa-apa padamu, untuk apa dia berbohong dan bilang tidak menonton padahal ada di baris terdepan? Bisa duduk di barisan terdepan berarti dia sudah menunggu disana jauh sebelum kita mulai bertanding.”

“Kalau itu kau salah. Aku yakin sekali tidak melihatnya saat awal pertandingan. Sepertinya dia baru datang di tengah-tengah pertandingan.”

“Oke, anggaplah begitu. Lalu bagaimana dengan teriakannya? Kau tidak salah dengar, kan? Maksudku, dia seharusnya benci sekali padamu. Kalau dia tidak menyukaimu, tidak mungkin dia sampai teriak-teriak seperti itu."

Taehyung termenung, mencoba mengingat kembali saat teriakan Jungkook terdengar. Ia yakin itu suara Jungkook.

“Itu memang suara Jungkook. Tapi, pertandingan kan membawa nama sekolah, jadi itu tidak bisa membuktikan kalau Jungkook suka denganku.”

Jimin mulai tampak tak sabar. “Oke, kalau begitu kita lihat yang paling nyata saja. Kau bilang Jungkook menuduhmu pacaran dengan Irene? Kalau memang dia tidak memiliki perasaan apapun padamu, tidak mungkin dia sampai memperhatikanmu. Kemarin itu kan ramai sekali. Kita mau cari pelatih saja susahnya minta ampun. Menurutku, Jungkook pasti sengaja mencarimu kemarin. Dan kalau sudah begitu, bisa dibilang dia memang punya perasaan lebih padamu.”

Taehyung terdiam cukup lama.
Mungkinkah analisis Jimin benar? Benarkah Jungkook juga mempunyai rasa padanya? Kalau iya, jelas Taehyung senang. Tapi kalau tidak, ia bisa kecewa lebih parah.

“Aku tidak tau, Jim. Aku tidak yakin dengan teorimu.”

“Kau terlalu banyak berpikir sih. Sudah turuti aku saja, tembak Jungkook. Dengan begitu kau tidak akan penasaran lagi sama perasaannya.”

“Kalau segampang itu, sudah aku lakukan sejak dulu.”

“Memang gampang, Tae! Aku sudah melakukan itu sampai berpuluh kali.”

“Dih, jangan samakan aku dengan buaya sepertimu!”

Jimin meninju bahu Taehyung. “Dasar! Aku sudah capek-capek memberi saran, kau malah mengataiku buaya.”

Taehyung terkekeh. “Untung aku seme, bukan yeoja apalagi uke. Kalau tidak mungkin aku sudah jadi korbanmu, kan?”

Jimin bergidik ngeri. “Kau mulai tidak waras. Kau jadi yeoja? Menyeramkan. Tapi asal kau tau, sekalipun kau yeoja atau jadi pihak bawah, aku tidak akan bernafsu padamu.”

Taehyung terbahak keras.

“Omong-omong, kau jadi menginap di sekolah sabtu ini?”

Seketika Taehyung berhenti tertawa. Wajahnya langsung memberengut. Jimin mengingatkannya pada hal yang tidak ingin dilakukannya.

“Jadi. Aku terpaksa donor darah pada nyamuk-nyamuk di sekolah sabtu ini.”

Giliran Jimin yang mengakak. “Itu salahmu sendiri. Dasar bucin!”

“Sudahlah, tidak usah banyak komen. Ayo keluar jalan-jalan. Aku bosan. Harus cari banyak hiburan untuk mengganti sabtu kelabuku nanti.”

Jimin mengangguk sambil tertawa. “Ambil positifnya, Tae. Paling tidak, kau bisa semalaman bersama pujaan hatimu.”

Bibir manyun Taehyung merespon perkataan Jimin.

.

.

.

Ini gila... benar-benar gila!”

Seumur-umur Taehyung belum pernah menginap di sekolah. Hari sabtu, lagi. Tapi hanya gara-gara makhluk bernama Jungkook, terpaksa ia terdampar di tempat yang sama sekali tidak menarik itu.

Ia berjalan pelan melewati lapangan basket sekolah.

Basket. Itu kesukaan Taehyung. Tapi andai disuruh menginap di sekolah untuk latihan basket, ia belum tentu mau melakukannya dengan ikhlas.

Taehyung menggerakkan otot-otot lehernya yang kaku. Sejak pukul delapan malam ia dan empat belas anak lain berkumpul di sekolah dan berkutat dengan segala macam kertas yang sebelumnya belum pernah ia sentuh. Dan jujur saja, itu membuat kepalanya sakit. Otot-ototnya pun tegang. Sekalipun ia hanya kebagian menggunting dan menempel, rasanya jauh lebih melelahkan daripada lari berkeliling lapangan lima putaran.

Dan Taehyung hanya mampu bertahan empat jam untuk duduk dan sibuk dengan kertas-kertas aneh tadi. Tepat tengah malam ia minta izin keluar. Peritnya keroncongan, sendi-sendi tubuhnya menjerit minta istirahat. Setelah perutnya terisi jjajangmyeon yang dibelinya di warung depan sekolah, namja itu tidak langsung kembali ke markas, tapi berjalan santai di lapangan basket.

Rasanya baru lima menit Taehyung berada di lapangan, tapi ponselnya sudah meraung keras di kegelapan malam. Ia buru‐buru meraihnya. Nama Jungkook berkedip-kedip di layar.

“Apa, gendut?” sapa Taehyung cepat.

“Kau dimana? Cari makan tapi hampir satu jam tidak balik-balik.” Omel Jungkook kesal.

“Ya ampun, kook, kau rindu berat padaku, ya? Sampai-sampai satu jam saja jadi masalah?”

“Kau jangan main-main ya. Yang lain sibuk bekerja. Tapi kau malah santai-santai. Buruan balik!”

“Aku sudah di sekolah, bawel! Ini juga lagi jalan mau ke sana.”

“Yasudah, masih banyak yang harus dikerjakan. Kalau tidak selesai hari ini, jangan menyalahkanku kalau kita terpaksa harus menginap lagi minggu depan.”

Taehyung bergidik ngeri. Menginap lagi? Itu jelas bukan pilihan. Memang sih, ia bisa jadi semalaman bersama Jungkook, tapi itu sama sekali tidak berguna. Namja manis itu terlalu sibuk dengan pekerjaannya sehingga tidak peduli hal lain. Taehyung merasa seperti kambing congek diantara teman-temannya. Sumpah, ia kapok. Cukup sekali saja peristiwa ini terjadi dalam hidupnya!

.

.

.

Saat tiba di toilet sekolah, Jungkook langsung menyesal tidak mengajak teman. Cahaya temaram membuat ketakutannya bertambah. Kalau bukan karena tidak bisa menahan pipis, ia lebih memilih kembali ke ruang jurnalistik sekarang.

Menguatkan tekad, Jungkook memasuki toilet yang mendapat cahaya paling terang. Begitu selesai, ia cepat-cepat mendekati wastafel.

Jungkook membuka keran dan segera mengulurkan kedua tangan saat air mengalir. Sambil menatap diri di cermin atas wastafel, ia menenangkan hati. Sekalipun ia hanya sendirian, ia merasa ada yang mengawasinya. Suara serangga malam yang terdengar dari taman belakang menambah ketakutan namja manis itu.

Usai mencuci tangan, Jungkook setengah berlari keluar dari toilet. Saking takutnya, ia tidak melihat sosok yang berjalan di dekat toilet. Tanpa bisa dicegah, ia menabrak sosok itu. Kontan Jungkook menjerit kaget.

“Yak! Jungkook” tegur Taehyung agak keras yang juga ikut kaget karena teriakan Jungkook.

Jungkook butuh waktu beberapa menit untuk mengenali suara Taehyung. Saat sadar dirinya tidak sendirian, ketakutannya menghilang.

“Taehyung! Kau mengagetkanku saja!” seru Jungkook sebal.

“Yang teriak itu kan kau, kenapa jadi aku yang mengagetkanmu? Dasar aneh!”

“Heh, kalau bukan karena kemunculanmu yang mendadak aku tidak mungkin teriak seperti tadi.”

“Sembarangan. Salahmu sendiri kenapa jalan tidak lihat-lihat. Seperti lagi dikejar setan saja.”

“Ah, sudahlah. Tidak penting untuk dibahas. Kenapa kau bisa ada disini? Jangan-jangan kau mengikutiku ya? Sengaja mau membuatku takut?”

Taehyung mendengus keras. “Kau pikir aku pengangguran? Aku ke sini mau buang air kecil, gendut.”

“Kenapa memilih waktunya bisa sama denganku?”

“Mana ku tahu kenapa bisa sama? Ini saja aku baru balik. Kau lupa barusan baru meneleponku?”

Jungkook cemberut. “Ya sudah. Lagian kau pergi lama sekali, kemana saja?”

“Aku pergi beli makanan. Lapar. Ini aku belikan juga untukmu.”

Kernyitan muncul di wajah Jungkook saat Taehyung menyodorkan sekantong plastik hitam ke hadapannya.

“Apa ini?” tanya Jungkook heran.

“Jjajangmyeon dari warung depan.”

“Kenapa kau memberikannya padaku?”

“Soalnya aku sudah makan sebelum balik ke sini.”

“Iya, tapi kenapa kau memberikannya padaku? Jangan-jangan kau sudah menaruh sesuatu didalamnya.”

Taehyung membelalak kesal. Tanpa banyak bicara ia menarik tangannya kembali.

“Dasar tidak tahu terima kasih. Sudah dibelikan malah dituduh meracuni!” omelnya sambil melangkah meninggalkan Jungkook.

Selama beberapa saat Jungkook tertegun di tempat. Eh, apa ia salah bicara? Kenapa Taehyung tersinggung? Tapi.. selama ini Taehyung memang tidak pernah baik padanya. Kalau sekarang tiba-tiba Taehyung sampai membelikan jjajangmyeon untuknya, apa benar ia tidak boleh curiga?

Merasa tak enak, Jungkook buru-buru mengejar Taehyung.  Tanpa permisi, ia mengambil kantong kresek hitam yang dibawa Taehyung.

“Kau tidak boleh mengambil kembali barang yang sudah kau beri pada orang lain.” Kata Jungkook setelah mendapatkan jjajangmyeon nya.

“Terserah. Lebih baik ku makan lagi saja daripada memberinya pada orang yang tidak tau berterima kasih sepertimu.”

“Yak! Kau jangan menyalahkanku terus juga. Coba kalau posisinya dibalik. Aku tiba-tiba memberimu sesuatu, kau pasti akan curiga juga kan?”

“Aku tidak sepicik itu!”

“Ya ya ya... ok maaf. Sekarang, bagaimana kalau aku makan jjajangmyeonnya dulu? Setelah aku pikir-pikir, aku lapar juga.”

“Yasudah makan saja. Tapi jangan ketahuan anak-anak kalau itu dariku. Soalnya aku tidak beli untuk mereka sama sekali.”

Jungkook menatap Taehyung, heran dengan kebaikan namja itu. Tak ingin berdebat, ia mengangguk.

“Kalau begitu aku tidak mungkin makan di ruangan. Kau mau menemaniku makan di kelas sebentar?” tawar Jungkook sambil melirik kelas di sekitarnya.

“Kau takut sendirian?” tanya Taehyung mengejek.

Jungkook manyun, “kalau tidak mau, yasudah.”

Taehyung tertawa kecil. “Dasar penakut! Tapi tidak masalah. Aku juga bosan melihat kertas-kertas tidak jelas di ruangan. Setelah lomba ini selesai, aku mau cuti ekskul sebulan.”

“Tak ada yang menyuruhmu ikut lomba, kan? Kau sendiri yang menawarkan diri.”

“Gendut, kau tidak bisa ya tidak membantah kata-kataku sekali saja?”

“Jangan panggil aku ‘gendut’. Aku tidak suka. Dan satu lagi, kalau kau salah kenapa aku tidak boleh membantahnya?”

Taehyung menutup telinga dengan ekspresi bosan. “Oke, oke, kita lanjutkan besok saja ya bunny. Sekarang lebih baik kau makan, lalu kita balik ke ruangan. Kalau kita tidak balik-balik dan anak-anak sadar lalu mergokin kita lagi berdua, nanti dikira kita lagi ngapa-ngapain. Aaa.. atau jangan-jangan kau memang mau apa-apa denganku?”

Jungkook bergidik ngeri. Ih, amit-amit..

Ia mencubit pinggang Taehyung keras. Setelah itu tanpa berdebat lagi, buru-buru ia menarik Taehyung ke kelas yang paling dekat. Lalu makan secepat yang ia bisa.

.

.

.

Taehyung benar-benar kesal siang itu. Rasanya semua pengorbanannya kemarin sia-sia belaka. Ia duduk disamping Jimin, yang sampai duluan di warung langganan mereka. Begitu duduknya nyaman, Taehyung langsung mengomel.

“Sumpah, si Cha Eunwoo rese sekali!”

Jimin melirik sahabatnya, lalu kembali menikmati Jus jeruknya. “Eunwoo? Teman sekelasmu yang nge-fans sama Jungkook? Kenapa dia?”

“Kau tahu, aku sudah bela-belain menginap disekolah demi bisa bersama Jungkook, tapi semua jadi kacau gara-gara Cha sialan!”

“Maksudmu?”

“Tadi pagi tiba-tiba si Eunwoo rese datang bawain makanan untuk Jungkook. Bukan cuma Jungkook tapi juga kepada semua anak ekskul. Semua jadi bersimpati padanya dan membiarkan orang itu menyia-nyiakan waktu berharga kami. Dia bahkan nganterin Jungkook pulang, Jim. Padahal aku mau menawarkan tumpangan juga Jungkook. Hah, sial!”

Bukannya ikut prihatin, Jimin malah tertawa.

Taehyung menyipit kesal pada Jimin.

“Tae, tae.. kau benar-benar payah. Disuruh nembak Jungkook tidak mau, tapi orang lain mau mendekati namja manis itu kau tidak terima, maumu apa coba?”

Taehyung ingin membantah Jimin, tapi terus terang, dia bingung harus membalas apa.

“Kau bilang Jungkook punya banyak fans, kalau begitu buruan tembak dia. Jangan sampai kau menyesal karena keduluan orang lain. Eunwoo cuma salah satu fans yang kau tahu, Tae. Tunggu apa lagi? Segera jadikan Jungkook milikmu!”

Taehyung serius mempertimbangkan usul jimin. Benarkah ia harus menyatakan cintanya kepada Jungkook? Tapi bagaimana caranya? Dan mungkinkah Jungkook menerimanya?

“Aku belum siap, Jim”

“Belum siap apa?”

“Belum siap semuanya. Aku tidak tau cara menembaknya. Aku tidak tahu bagaimana reaksinya nanti. Semua tidak jelas!”

“Justru karena belum jelas, kau harus membuatnya jadi jelas. Kau tidak akan tahu sebelum mencobanya. Atau jangan-jangan kau takit ditolak, ya?”

Takut ditolak? Jujur, itu memang tebersit di hati Taehyung. Kalau benar Jungkook menolaknya, apa selanjutnya? Jungkook akan menjauhinya? Lalu, apa yang harus dilakukan Taehyung?

“Aku tidak tahu, Jim. Aku merasa belum siap saja.”

“Sekalipun belum siap, kalau ingin bersama Jungkook, kau harus cepat menembaknya Tae.”

“Aku akan coba pikirkan saranmu. Mungkin memang seharusnya aku cepat bertindak sebelum Eunwoo atau siapa pun jadian dengan Jungkook.”

.

.

.

TeBeCe



Hate You! Love You!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang