Taehyung kembali ke tenda dengan setengah merenung. Hampir saja ia mengutarakan semuanya ke Jungkook tadi. Mungkin terbawa suasana sehingga ia terdorong untuk mengakui perasaannya.
Kalau bukan karena kedatangan Kyungsoo sunbae, Jungkook sudah tahu perasaannya. Entah Taehyung harus berterima kasih atau memaki Kyungsoo sunbae. Sejujurnya ia belum punya persiapan untuk menyatakan perasaannya pada Jungkook. Tapi tak bisa dipungkiri, tadi memang kesempatan bagus. Selama ini mana pernah Jungkook berkata selembut dan seramah itu pada Taehyung?
Taehyung berbalik dengan gelisah. Besok mereka akan pulang. Bisa-bisa Jungkook kembali bersikap jutek padanya. Jadi apa yang harus ia lakukan?
“Yak! Apa yang kau lakukan? Kenapa tidak tidur-tidur? Besok kita masih harus bangun pagi, tahu! Kalau kau bergerak terus aku tidak bisa tidur ini,” tegur Yugyeom yang tidur disamping Taehyung.
“Iya, iya ini juga lagi usaha buat tidur. Yasudah aku tidak bergerak lagi. Kau tidur saja,” balas Taehyung sebal.
Taehyung mencoba memejamkan mata, tapi matanya tak kooperatif. Habis, otaknya masih aktif berpikir keras. Ia menimbang-nimbang. Kalau menyatakan perasaannya pada Jungkook dalam waktu dekat, ia tidak siap. Sebaiknya niat itu ditunda hingga hubungan mereka membaik. Tapi kapan?
Tahyung mengatupkan mata, memutuskan tidur. Toh keputusannya sudah bulat bahwa ia pasti menyatakan perasaannya, tapi tidak sekarang. Belum saatnya..
.
.
.
“Sayang sekali.. kau menyia-nyiakan kesempatanmu, Tae. Seharusnya kau menyatakan perasaanmu pada Jungkook saat itu.”
Taehyung mendelik sebal pada Jimin.
“Aku kan sudah bilang, saat aku mau nembak, pembina outbound datang. Mau bagaimana lagi? Besoknya aku sudah tidak punya nyali lagi. Lagipula aku memang belum siap, Jim.”
“Dasar payah! Masa bilang suka ke orang saja kau sebegitu takutnya. Sia-sia saja tampangmu itu, Tae. Nyalimu itu, nyali seorang uke.”
Taehyung langsung menoyor sahabatnya. “Bangsat! Aku bukannya tidak punya nyali, tapi kasusku ini beda. Seenaknya saja menghinaku.”
Jimin tertawa puas. “Kau seharusnya banyak belajar dariku. Min Yoongi saja berhasil ku taklukkan. Soal ini aku terbukti jauh lebih pintar daripada kau. Kalau menurutku, jangan buang waktu lagi. Tembak saja si Jungkook. Kau sendiri yang bilang bahwa Jungkook agak ramah sekarang. Ini kesempatan emas!”
“Kau bicara saja sih enak. Aku yang melakukannya yang pusing. Bagaimana cara nembaknya coba?”
“Kau perlu aku kursusin?”
“Tidak perlu! Siapa tahu aku dapat kesempatan lagi saat acara mading besok.”
“Acara mading apaan?”
“Lomba mading. Masa kau lupa? Itu, yang aku sampai menginap di sekolah untuk mengerjakannya.”
“Ouw, yang kau bela-belain sampai kau menomorduakan basket kita, ya?”
“Sumpah kau benar-benar menyebalkan, Jimin! Iya, yang itu. Tidak perlu dibahas terus kenapa? Kan kita juga menang.”
Jimin tertawa. “Aku bercanda, Tae. Begitu saja marah. Yah, aku doakan kau dapat kesempatan besok. Kalau begit, lebih baik sekarang kau pikirkan caramu nembak Jungkook. Jangan gagal lagi kayak di puncak.”
Taehyung meringis malu. Tanpa bisa dicegah, wajah Jungkook bermain dalam benak Taehyung.
Saat outbound hubungannya dengan Jungkook membaik, tapi entah kenapa, sekembalinya dari outbound hubungan mereka kembali seperti semula. Padahal Taehyung tidak merasa melakukan sesuatu yang salah pada Jungkook. Sejak pulang dari puncak, ia justru sengaja menjaga mulut dan sikapnya agar hubungan baik mereka bisa berlanjut. Sayangnya Jungkook kembali galak.
Sekalipun situasinya tidak sebaik yang diharapkannya. Taehyung bertekad menyatakan isi hatinya begitu ada kesempatan. Otak Taehyung berkutat mencari kata-kata yang akan disampaikan ke Jungkook. Namun hingga hari berganti, tidak ada ide kalimat yang pas. Dan itu berbanding lurus dengan nyali Taehyung yang menciut paginya.
.
.
.
“Kupikir, tidak ada yang lebih gila daripada dirimu, gendut, tapi ternyata ada, ya. Aku tidak menyangka, kita masih kalah cepat sama sekolah lain. Padahal ku kira kita terlalu cepat.”
Taehyung dan Jungkook baru tiba di tempat acara. Satu jam lagi pemenang mading akan diumumkan. Mading yang dikumpulkan pertama kali dapat singgasana khusus sehingga tanpa menunggu pengumuman pun sudah tampak mencolok.
Jungkook jengkel karena sekolahnya gagal jadi pengumpul pertama. “Kau senang kan kita gagal jadi pengumpul pertama?”
Taehyung mengernyit heran. “Aku kan cuma berkomentar, gendut. Kau sensi sekali.”
“Aku tahu kau senang melihatku menderita.”
Taehyung mendecak sambil menggeleng tak percaya. “Aku tidak tahu kau segitu nge-fans-nya denganku sampai-sampai kau bisa tahu isi hatiku, kook.”
“Huh.. pokoknya kita tidak boleh pulang dengan tangan kosong,” kata Jungkook tak menghiraukan perkataan Taehyung.
Taehyung memandang Jungkook dengan sangsi. “Kau yakin kita bisa menang? Kau yakin bisa mengalahkan 69 mading lain, yang rata-rata bagus?”
“Aku sudah keliling. Memang rata-rata bagus, tapi mading kita istimewa. Paling tidak, kita harus jadi tiga besar pilihan juri, atau juara favotit pilihan pengunjung. Kalau pengunjung, kupikir agak susah dapatnya. Soalnya hampir semua anak SOPA datang ke sini untuk menyumbangkan suara bagi sekolah mereka. Kalau pilihan juri, sepertinya masih bisa. Apalagi mengingat reaksi mereka saat kita mengumpulkan mading tempo hari.”
Taehyung tertawa kecil. Ingatannya kembali saat ia dan kawan-kawannya mengumpulkan mading. Memang saat itu penerima mading yang kebetulan menjadi salah satu juri sempat kagum dengan mading mereka, tapi itu kan sebelum dia melihat mading lain.
“Rasa percaya dirimu memang tinggi sekali ya, gendut. Yah, semoga hasilnya tidak mengecewakan.”
Jungkook menyipitkan mata memandang Taehyung. “Berisik! Lihat saja nanti, kita pasti menang!”
“Oke, oke. Kita tunggu hasilnya. Sebentar lagi kan pengumumannya?”
“Iya. Aku mau cari angin dulu. Sumpek disini.” Jungkook pergi tanpa mengajak Taehyung.
Ketika MC membuka acara, barulah Jungkook kembali. Taehyung buru-buru mendekati Jungkook ketika namja manis itu menyeruak masuk ke kerumunan penonton agar bisa berada di depan dekat dengan panggung.
“Kau mengikutiku ya, Tae?” tanya Jungkook ketika menyadari kehadiran Taehyung.
“Semua orang ingin di depan, kook. Bukan cuma kau. Lagipula, kenapa kau tidak menuduh Yugyeom mengikutimu juga?” balas Taehyung sambil menunjuk Yugyeom yang ada di sisi lain Jungkook.
Jungkook menoleh ke sampingnya dan menemukan Yugyeom meringis padanya. “Aku juga mau di depan, kook. Siapa tahu kita perlu naik ke panggung sebentar lagi.”
Semua berkonsentrasi pada panggung.
Rasanya lama sekali MC mengumumkan hasil yang ditunggu Jungkook, Taehyung, Yugyeom maupun semua orang yang ada disana. Saat MC membacakan nama pemenang, semua peserta menahan napas tegang.
Taehyung hampir tidak mempercayai pendengarannya sendiri ketika nama Big Hit High School dinyatakan sebagai juara satu atau the best mading versi juri. Kagum, ia melirik Jungkook yang masih berdiri di sebelahnya. Sekalipun sesumbar bahwa mading mereka pasti menang, Jungkook ternganga juga saat mendengar faktanya.
Taehyung nyaris ngakak melihat ekspresi bengong Jungkook. Namun sejurus kemudian namja manis itu menoleh ke arahnya dengan senyum lebar.
“Kita menang, Tae! Kita menang!!!” seru Jungkook, meraih kedua tangan Taehyung dan mengayunkannya senang.
Senyum Taehyung sempat terkembang lebar saat merasakan tangan Jungkook meraih tangannya. Tapi dalam hitungan detik Jungkook melepas genggamannya dan kembali berkosentrasi ke panggung.
Saat MC menyuruh perwakilan sekolah naik ke panggung untuk menerima hadiah, Jungkook kembali menarik tangan Taehyung.
“Kau saja, kook,” tolak Taehyung pelan.
Jungkook mengernyit, lalu berpaling ke arah Yugyeom yang ada di sampingnya. “Ayo, Yugyeom, kau ikut maju juga,” kata Jungkook tegas.
Tidak seperti Taehyung, Yugyeom langsung bersemangat melangkah ke panggung.
Taehyung mengamati kedua temannya yang naik ke panggung. Ia berusaha menenangkan hatinya yang terkejut dengan dua tindakan spontan Jungkook. Kali itu ia mensyukuri keterlibatannya dalam ekskul jurnalistik, terutama dalam lomba mading.
Sekali lagi kesempatan emas tersaji di hadapan Taehyung. Suasana hati Jungkook pasti sedang bagus. Kalau mau menyatakan isi hati, sekarang seharusnya saat yang tepat. Saat Jungkook kembali dan tersenyum lebar sambil menunjukkan trofi, Taehyung tersenyum hangat membalasnya.
“Kook, aku ingin bicara denganmu.” Kata Taehyung pelan.
Entah karena pelannya suara Taehyung atau sibuknya Jungkook menyambut tangan-tangan yang antre mengucapkan selamat padanya, namja manis itu sama sekali tidak merespon ucapan Taehyung.
Taehyung menunggu hingga Jungkook sendirian, tapi namja manis itu ternyata tidak pernah sendirian. Setelah menerima ucapan selamat yang rasanya tidak kunjung selesai, Jungkook malah mengajak semua anggota ekskul jurnalistik untuk merayakan kemenangan itu dengan makan malam bersama.
Hingga hari itu berakhir, Taehyung tak berkesempatan memanfaatkan peluang yang ada di depan mata.
.
.
.
Hal pertama yang menarik perhatian Taehyung pagi itu adalah keributan yang terjadi di kelasnya. Ributnya bahkan terdengar sebelum ia masuk kelas. Memang jika bel belum berbunyi, kelas selalu ribut. Hanya saat ada ulangan atau PR yang menggunung, baru kelas sepi seperti kuburan. Tapi hari itu lain. Kebisingannya sampai dua kali lipat dari biasanya.
Mata Taehyung langsung menangkap segerombolan anak mengelilingi meja Jungkook. Bingung campur penasaran, keningnya berkerut dalam. Mungkinkah semua menyelamati Jungkook karena berhasil menjadi juara satu lomba mading kemarin? Rasanya antusiasme teman-teman tidak mungkin sebesar itu.
Penasaran, Taehyung memanggil Namjoon yang berada tepat di depannya. “Ada apa, sih? Berisik sekali.”
“Itu, Mingyu, anak kelas sebelah, katanya habis nembak Jungkook. Sialnya, dia ketahuan teman-teman kelas kita. Jadinya kayak gini. Mereka sibuk nyorakin dan tanya‐tanya ke Jungkook.” Jawab Namjoon malas.
Taehyung berusaha menampilkan wajah datar begitu mendengar informasi Namjoon.
Dalam hati ia mengumpat kesal.
Bukannya ia tidak tahu Jungkook punya banyak penggemar, tapi rasa kesal tetap muncul saat tahu ada penggemar berani unjuk gigi.
“Terus diterima sama Jungkook?” Tanya Taehyung masih penasaran.
Namjoon mengangkat bahu. “Mana ku tahu. Kau pikir aku doyan gosip seperti itu. Tanya saja pada Bambam, Lisa, Jinyoung, Nayeon, Jinhwan, Dahyun, Doyoung, serta uke dan yeoja lainnya.”
Taehyung mengangguk mengerti, lalu melangkah ke tempat duduknya. Ia berusaha memandang wajah Jungkook, tapi namja manis itu tertutup badan teman-temannya. Jungkook seakan menjadi selebriti pagi itu. Paling tidak, ada lima orang yang mengelilingi Jungkook di mejanya yang sempit.
.
.
.
Rasa penasaran Taehyung tentang hubungan Jungkook dan Mingyu tak terbendung lagi saat bel istirahat berbunyi. Begitu melihat Jungkook keluar kelas, Taehyung buru-buru mengikutinya. Beruntung saat itu Bambam, yang biasanya bersama Jungkook saat istirahat, sibuk menyalin entah apa di bangkunya, sehingga Taehyung punya kesempatan untuk bertanya langsung pada Jungkook.
Saat berhasil menyamai langkah Jungkook, Taehyung berdehem. Jungkook melirik sekilas sambil tetap melangkah. Tapi Taehyung segera menutup jalan Jungkook dengan berdiri di hadapannya sehingga namja manis itu membelalak jengkel dan terpaksa menghentikan langkahnya.
“Punya status baru sekarang, Kook?” pancing Taehyung sambil tersenyum mengejek.
Jungkook menyipit mendengar perkataan Taehyung. “Maksudmu?”
“Kim Mingyu. Kau jadian dengannya?”
Jungkook mendengus sinis. “Tak sangka kau ternyata doyan gosip juga, Tae.”
“Satu kelas tahu Mingyu menembakmu tadi pagi. Itu berarti bukan gosip lagi.”
“Lalu, apa hubungannya denganmu?”
“Niat ku hanya ingin memberi selamat saja, gendut. Sensi sekali dasar!”
“Tidak perlu! Lagipula aku tidak jadian dengannya.”
Taehyung langsung tersenyum lega mendengar jawaban Jungkook. Sejak pagi tadi ia gelisah memikirkan Jungkook dan Mingyu.
Anak-anak kelas hanya tahu Mingyu “nembak” Jungkook, tapi jawaban Jungkook tidak ada yang tahu. Sepertinya Jungkook sengaja tidak memberitahu teman-temannya tentang jawabannya pada Mingyu.
“Kenapa kau tersenyum seperti itu?” tanya Jungkook dengan pandangan menyelidik.
Taehyung salah tingkah. Ia lupa disitu ada Jungkook yang mengawasinya, terlalu senang dengan fakta yang baru diterimanya membuatnya lupa situasi.
Otak Taehyung berputar cepat. Apa jawaban yang masuk akal untuk Jungkook?
“Aku.. aku sudah menebak kau tidak mungkin jadian dengan Mingyu.”
“Memangnya kenapa?”
“Soalnya kau kan cerewet dalam memilih pasangan.”
Jungkook mendengus keras. “Sejak kapan aku curhat padamu tentang kriteria pasangan yang ku cari? Sok tahu sekali.”
“Tapi itu benar kan, gendut. Eunwoo yang lumayan saja kau tidak jadikan pacar. Apalagi Mingyu si malika.”
“Sok tahu! Tapi kalau kau benar, lebih baik seleraku kan daripada seleramu.”
“Maksudmu?”
“Irene... kau jadian dengannya, kan? Yeoja seperti itu kau mau!”
“Aku dan Irene tidak jadian. Sekarang siapa coba yang doyan gosip? Lagipula kalaupun aku jadian dengannya, menurutku seleraku itu tinggi. Kau tanya saja pada namja namja straight di sekolah ini, siapa cewek yang paling mereka inginkan untuk dijadikan pacar? Rata-rata jawabannya pasti Bae Irene.”
“Nah, itulah kualitas seleramu. Rata-rata! Yeoja seperti itu saja yang kau sukai. Aneh.”
“Sekarang giliranmu yang sok tahu. Kapan coba aku bilang kalau aku menyukai Irene?”
“Tapi kalian akrab sekali. Irene juga sering ke kelas kita.”
“Kau menyukai Cha Eunwoo?”
“Apa hubungannya sama Eunwoo?”
“Jawab saja, kau menyukai Eunwoo?”
“Tidak.”
“Kalau begitu sama sepertiku. Aku juga tidak menyukai Irene. Tapi tetap berteman dengannya. Kau dan Eunwoo malah kelihatan lebih mesra daripada aku dan Irene.”
Jungkook terdiam agak lama, lalu menatap Taehyung dengan bingung. “Sebenarnya apa yang sedang kita bahas? Kenapa jadi bawa-bawa Eunwoo dan Irene?”
Taehyung menggaruk kepala. Dengan santai ia mengangkat bahu. “Mana ku tahu. Kau duluan yang bahas Irene."
“Jadi intinya, kau memanggilku hanya untuk membahas masalah tidak jelas seperti ini? Hebat kau, Tae. Kalau tahu begini aku tidak akan meladenimu tadi.” Dengan jengkel Jungkook melangkah menjauhi Taehyung.
Taehyung hanya memandangi punggung Jungkook sambil tersenyum lebar. Yah, paling tidak sekarang ia tahu Jungkook tidak jadian dengan Mingyu ataupun Eunwoo.
“Sudah kubilang aku guy. Dasar pikun, bodoh, tidak peka.” Rutuk Taehyung dalam hati.
“Kau tidak boleh kecolongan lagi, Tae. Kau harus segera menyatakan isi hatimu pada Jungkook. Harus!” batin Taehyung penuh tekad.
.
.
.
Keberanian Mingyu mengungkapkan isi hatinya pada Jungkook mengganggu pikiran Taehyung. Benar Mingyu ditolak Jungkook. Tapi nyalinya membakar tekad Taehyung. Bagaimana kalau penggemar Jungkook lainnya seberani Mingyu? Bagaimana kalau Jungkook sampai memutuskan menerima salah satu dari mereka sebelum Taehyung sempat mengungkapkan perasaannya?
Taehyung merebahkan diri di ranjang. Nasihat Jimin berputar di otaknya. Menurut Jimin, Taehyung harus secepatnya mengungkapkan perasaannya pada Jungkook. Setelah dipikir-pikir saran Jimin harus segera dijalankan.
Taehyung merenung dalam-dalam. Tekadnya memang sudah bulat untuk menyatakan isi hatinya pada Jungkook, tapi dengan cara apa ia harus menyatakannya?
Ada tiga cara yang terbesit di otak Taehyung. Pertama face to face dengan Jungkook. Ini paling gentle. Ironisnya, cara ini harus segera dihapus karena bisa-bisa Taehyung belum sempat bicara satu kata pun, Jungkook sudah pergu meninggalkannya.
Cara kedua, lewat telepon. Tapi boro-boro menyatakan isi hati, menerima telepon dari Taehyung saja belum tentu Jungkook sudi. Taehyung terpaksa mencoret cara ini.
Yang tersisa adalah cara yang paling tidak gentle, bahkan bisa dibilang paling cupu. Taehyung menutup mata. Sementara ini tidak ada cara lain yang bisa dilakukan Taehyung. Jadi melalui suratlah Taehyung akan mengungkapkan cintanya!
Menulis surat terasa begitu berat bagi Taehyung. Apa yang harus ditulisnya? Taehyung bergidik. Tidak. Surat pun sepertinya mustahil untuk dilakukan. Lalu cara apalagi?
Taehyung bangkit dari ranjang, lalu mondar-mandir di kamar. Ia baru berhenti saat dirinya menghadap cermin. Wajahnya kusut. Astaga, kalau Jimin sampai melihat keadaannya sekarang, namja itu pasti sudah menertawainya. Hanya gara-gara Jungkook, Taehyung sampai sestres ini.
Untuk pertama kali dalam hidupnya Taehyung merasa dirinya cupu. Apalagi jika dibandingkan Jimin.
Pengalamannya soal menyatakan cinta seperti ini bisa dibilang nol besar. Sejak SMP Taehyung yang selalu menerima pernyataan cinta dari yeoja maupun uke yang menyukainya bukan malah sebaliknya seperti ini.
Taehyung masih memandangi diri sendiri di cermin ketika otaknya menyemburkan ide brillian. Puisi! Mata Taehyung langsung berbinar. Ya, benar, ia bisa membuat puisi singkat untuk Jungkook. Namja manis itu pasti belum pernah ditembak seperti itu.
Selain unik, puisi juga seharusnya lebih mudah ditulis daripada surat.
Senyum Taehyung mengembang lebar. Akhirnya dengan semangat 45 ia melangkah ke meja belajar dan mulai mencoret-coret kertas putih di meja.
Mulanya ia masih yakin menulis puisi pendek lebih mudah daripada menulis surat cinta. Namun setelah berkutat tiga hari, baru Taehyung sadar bahwa pikiran sederhananya keliru. Menulis puisi ternyata begitu menguras otak dan tenaga.
.
.
.
TeBeCe

KAMU SEDANG MEMBACA
Hate You! Love You!
FanfictionSepanjang masa SMA, belum pernah Jungkook membenci seseorang seperti dia membenci Taehyung. Sejak awal pertemuan mereka, Taehyung tak henti-hentinya menganggu hidupnya. karena itu, Jungkook jadi bingung setengah mati saat tiba-tiba Taehyung mengungk...