15

592 30 0
                                    

“Kau, apa, Tae?”

Mencoba santai Taehyung mengulang perkataannya. “Aku bilang pada Jungkook, anggap saja aku tidak pernah memberikan surat itu padanya.”

Jimin menggeleng kaget. “Kau stupid atau gila? Itu sama saja kau cari perkara sama Jungkook. Tak ada orang yang mau dipermainkan seperti itu. Dasar bodoh!”

“Kau tidak tahu saja, Jim! Sejak menerima surat dariku, sikapnya padaku berubah total. Biasanya tiap hari aku dan dia pasti bertengkar. Sekarang? Jangankan bertengkar, melihatku saja sepertinya dia tak sudi lagi. Daripada begitu, lebih baik seperti dulu lagi saja. Paling tidak aku dan dia masih bisa ngobrol.”

“Kan sudah ku katakan, itu reaksi yang wajar. Dia pasti syok. Dia cuma butuh waktu untuk berpikir, Tae.”

“Tapi sudah seminggu dia begitu, Jim.”

“Baru seminggu, astaga Taehyung, kau bisa sabar menunggunya dua tahun, tapi kenapa menunggu selama dua minggu saja kau tidak bisa? Seminggu lagi valentine. Kau hanya perlu menunggunya seminggu lagi, tapi kini kau malah mengacaukan semuanya.”

Taehyung terdiam, merenungkan kata-kata Jimin. Apa benar dia melakukan kesalahan? “Jadi menurutmu aku salah?” tanya Taehyung pelan.

“Sangat, Tae! Kenapa kau tidak minta pendapatku dulu? Sekarang aku tidak akan heran lagi kalau nanti dia akan membencimu berkali-kali lipat daripada biasanya.”

“Kau menyumpahiku?”

“Aku tidak menyumpahimu, Tae, tapi kita harus realistis. Aku justru akan kaget kalau Jungkook tidak membencimu setelah semua yang kau lakukan.”

Taehyung bungkam seribu bahasa. Ia baru menyadari bahwa perbuatannya memang keterlaluan. “Lalu menurutmu apa yang sekarang harus kulakukan?” Tanya Taehyung lemas.

Jimin mengacak rambut, ikut bingung. “Aku juga tidak tahu kau harus apa. Kalau diibaratkan, nasi sudah jadi bubur, Tae. Kau mau apa juga tidak ada gunanya. Kalaupun kau minta maaf dan mengatakan bahwa perasaanmu itu benar. Jungkook belum tentu akan percaya. Kali ini aku tidak bisa membantumu, Tae.”

Taehyung menatap Jimin dengan putus asa. Perbuatannya benar-benar parah. Playboy seperti Jimin pun sampai angkat tangan, jadi bagaimana mungkin ia bisa mengembalikan keadaan?

“Bodoh! Aku benar-benar bodoh!” umpat Taehyung pada dirinya sendiri.

Jimin mau mengiyakan, tapi buru-buru membatalkannya saat melihat wajah sahabatnya itu begitu putus asa.

“Kita akan coba pikir pelan-pelan untuk memperbaiki keadaan,” hibur Jimin.

.

.

.

Dugaan Jimin tentang reaksi Jungkook pasca pelaksanaan ide Taehyung benar-benar terbukti. Bukannya kembali saling memaki atau berdebat seperti yang diharapkan Taehyung, justru Jungkook marah. Sepertinya Jungkook sulit memaafkannya kali ini.

Parahnya, aura kemarahan itu muncul kapan dan dimana pun keduanya bertemu. Taehyung masih melihat Jungkook tersenyum dan bercanda dengan Bambam sambil berjalan ke kantin. Tapi begitu berpapasan dengan Taehyung dan Jimin, wajah Jungkook langsung berubah 180 derajat, dingin seolah terpahat dari batu.

“Kenapa Jungkook harus marah sampai seperti itu? Padahal aku kan sudah biasa usil ke dia.” Keluh Taehyung sambil mengaduk es jeruk.

“Sabar, Tae. Kau kan sudah ku peringatkan tentang hal itu, jadi seharusnya kau siap diperlakukan begitu,” kata Jimin bijak.

“Lalu aku harus bagaimana?”

“Kau sabar saja. Sekarang Jungkook lagi emosi tingkat tinggi. Tunggu emosinya mereda.”

“Aku benar-benar bingung menghadapi Jungkook. Begini salah, begitu salah. Mungkin aku memang tidak jodoh dengannya.”

Dalam hati, Jimin tahu semuanya memang salah Taehyung. Tapi ia paham betul, Taehyung tidak butuh pendapatnya saat itu. Melainkan butuh teman untuk berkeluh kesah.

“Jodoh sudah ada yang mengatur, Tae. Caranya bermacam-macam. Kau santai saja. Kalau memang jodoh, Jungkook pasti akan jadian denganmu. Sebaliknya, kalau bukan, mungkin ini jalan agar kau bisa menemukan jodohmu yang sebenarnya.”

Taehyung melirik sahabatnya sejenak, lalu mengangguk dan menghabiskan es jeruk dalam beberapa teguk. Yah, semoga kali ini Jimin benar lagi.

.

.

.

Hari-hari menjelang valentine day terasa berat bagi Taehyung. Setiap hari ia menerima tatapan marah dan sinis dari orang yang sangat disukainya sejak dua tahun yang lalu. Ia bukannya tidak berusaha mengenyahkan Jungkook dari pikirannya seperti saran Jimin. Tapi kenyataannya tak semudah itu.

Dengan lesu Taehyung melirik kalender di meja belajar. Tanggal 13. Bisa dipastikan besok menjadi Valentine Day tersuramnya.

“Mikirin Jungkook lagi, Tae?” tanya Jimin yang baru menamatkan game yang dimainkannya sejak sejam lalu.

Taehyung menoleh ke arah sahabatnya, lalu tersenyum.

“Eh, kau ada hubungan apa sama Irene? Aku dengar gosip soal kalian berdua dari anak-anak.”

“Untuk sekarang tidak ada. Tapi nanti ke depannya, entahlah.”

Kening Jimin berkerut mendengar jawaban Taehyung. Tumben sahabatnya menjawab seperti itu. “Maksudmu?”

“Sekarang aku belum jadian dengan Irene. Tapi nanti aku tidak tahu, begitu saja tidak mengerti.”

“Memangnya kau sudah berhasil melupakan Jungkook?”

Taehyung mendengus sinis. “Aku menyukai Jungkook selama dua tahun lebih. Mana mungkin bisa langsung melupakannya. Tapi memang, mau tidak mau aku harus segera melupakannya. Tak ada harapan. Karena itu kubilang, sekarang aku tidak ada hubungan apapun dengan Irene, tapi kelak siapa yang tahu?”

Jimin menggeleng tegas, jelas-jelas tidak setuju dengan pendapat Taehyung. “Bukan begitu caranya mencari pacar, Tae. Lagian kasihan Irene kalau hanya kau jadikan pelampiasan. Dan lagi faktanya kan kau guy.”

Taehyung menimpuk sahabatnya dengan bantal. “Dasar playboy gila! Lagian siapa bilang Irene pelampiasan?”

“Jangan bilang kau mulai menyukai Irene. Selama ini di hatimu kan cuma ada Jungkook.”

“Memang aku tidak menyukai Irene. Dan iya aku guy. Tapi kan siapa tahu saja aku tiba-tiba lurus dan lagi cinta kan bisa dipupuk. Tiap hari bertemu pasti akan ada rasa.”

“Tapi tidak perlu dengan Irene juga!”

“Kenapa? Dia cantik. Lumayan pintar. Banyak bakat juga. Apa yang salah dengannya?”

“Radarku sama yeoja maupun uke di sekolah ini mantap, Tae. Kalau memang Irene semantap yang kau bicarakan. Tidak mungkin aku belum jadian dengannya. Memang Irene cantik, pintar dan berbakat, tapi sifatnya tidak baik, Tae. Kau tidak lihat apa kalau dia cuma mau dekat dengan anak-anak yang setara dengannya? Kalau memandang orang lain tatapannya merendahkan sekali, makanya aku ilfil dengannya. Aku heran kau bisa tahan dekat dengannya selama ini.”

Kalau boleh jujur, memang Irene agak sinis. Tapi Taehyung baru menyadarinya. Walau bersama Irene, ia tidak fokus padanya. Makanya ia tak pernah memikirkan hal-hal yang dikatakan Jimin barusan.

“Jadi kalau bukan dengan Irene, enaknya aku mengincar siapa? Yang cakep-cakep pasti sudah pernah kau pacari. Apa stok uke dan yeoja cakep di sekolah masih banyak?”

“Banyaklah. Kau saja yang dibutakan Jungkook. Jungkook melulu yang kelihatan di matamu, lainnya gelap.”

Taehyung terkekeh. “Kau harus belajar dariku soal kesetiaan, Tae.”

Jimin tersenyum kecut. “Sayangnya kau memberikan kesetiaanmu pada orang yang salah,” kata Jimin prihatin. “Tapi kau tenang saja aku akan membantumu mencarikan uke yang lebih baik dari Jungkook.”

Taehyung hanya mampu tersenyum pasrah.

.

.

.

TeBeCe


Hate You! Love You!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang