13

570 31 2
                                    

“Saranmu benar-benar absurd!” omel Taehyung kesal. Jimin menatap Taehyung dengan heran.

Tak ada angin, tak ada hujan, tiba-tiba Taehyung menghambur ke kamar Jimin dengan luapan emosi. Siapa yang tidak heran?

“Santai, woi. Beri tahu aku, saran ku yang mana yang kau bilang absurd?”

Taehyung menghempaskan diri ke ranjang. Jimin yang semula menguasai ranjang, buru-buru menyingkir agar tidak bersikutan dengan Taehyung.

“kau bilang aku harus menyatakan perasaanku pada Jungkook. Sudah ku lakukan. Tapi yang terjadi sekarang Jungkook malah mendiamkanku!”

Jimin membelalak menatap Taehyung. Taehyung nembak Jungkook? Benarkah? Bukannya sahabatnya yang satu ini sangat “licik” jika berurusan dengan yang namanya Jungkook?

“Serius kau, Tae? Kau nembak Jungkook?” tanya Jimin sangsi.

Wajah Taehyung yang keruh menjawab pertanyaan Jimin.

Jimin menggeleng heran, masih tak percaya pada keberanian Taehyung.

“Terus waktu kau bilang suka, Jungkook jawab apa? Reaksinya bagaimana? Masa dia mendiamkanmu? Satu kata pun tidak?”

Mendengar pertanyaan tersebut, dari yang semula menatap garang pada Jimin, Taehyung berpaling. “Kau bertanya banyak sekali. Cerewet!”

“Itu karena aku penasaran. Masa iya kau berani nembak Jungkook? Dan.. tiba-tiba begitu. Mencurigakan. Biasanya tiap mau melakukan sesuatu kau kan curhat dulu atau minta saran padaku.”

“Enak saja. Kau pikir aku tidak mandiri?”

“Memang nyatanya begitu. Ah, sudahlah jangan mengalihkan pembicaraan. Kau jawab saja pertanyaanku tadi. Cerita bagaimana caranya kau nembak dan bagaimana reaksi Jungkook saat itu.”

Taehyung kembali salah tingkah. Gelisah, ia bangkit dari ranjang, lalu berdiri menatap halaman dari jendela kamar.

“Aku.. aku nembak Jungkook.. pakai puisi..” kata Taehyung pelan dan terbata.

Untuk kesekian kalinya siang itu Jimin membelalak. Bahkan mulutnya setengah ternganga mendengar pengakuan Taehyung. “Kau nembak Jungkook pakai puisi?” tanyanya setelah pulih dari keterkejutan.

Yang ditanya hanya memandang halaman rumah Jimin yang luas dan asri.

“Kau serius baca puisi di depan Jungkook? Terus puisinya kau buat sendiri? Jangan-jangan isinya aneh makanya Jungkook langsung tidak mau bicara denganmu.”

Kali ini Taehyung berbalik dan menatap Jimin. “Sembarangan! Aku buat puisinya lama, tahu! Mana mungkin isinya aneh!”

“Serius, Tae? Kenapa aku tidak tahu? Tumben kau tidak minta tolong padaku.”

“Aku ingin puisi itu murni buatanku sendiri.”
Jimin bersiul menggoda. “Puisinya berapa bait?”

Semburat merah langsung terlihat di wajah Taehyung, yang kembali membuang pandangan ke taman.

“Ehm.. sebenarnya cuma satu kalimat panjang saja.” Jawab Taehyung salah tingkah.

“Hah? Satu kalimat panjang dan kau berani menyebut itu puisi?”

Taehyung berbalik, duduk berhadapan dengan Jimin.

“Memangnya kenapa? Sekalipun Cuma satu kalimat panjang, itu bikinnya susah!”

Jimin memasang wajah datar. “Oke, oke. Lalu saat kau membacakan kalimat panjang yang kau anggap puisi itu, reaksi Jungkook bagaimana?”

Beberapa saat kamar itu terasa hening.

“Aku tidak baca puisi itu di hadapannya. Aku menulis puisi itu di kertas lalu memberikannya pada Jungkook. Aku tidak tahu reaksinya soalnya setelah aku memberikan surat itu dan bicara sebentar, aku langsung meninggalkannya.”

Jimin menatap Taehyung dengan kening berkerut, tak habis pikir atas tindakan temannya.

“Kau kenapa, Jim?” tanya Taehyung yang heran dengan perubahan ekspresi Jimin.

“Aku tidak sangka sahabatku pengecut sekali. Ini abad ke 21 dan kau masih menggunakan surat untuk nembak seseorang? Memalukan, Tae!” Kata Jimin frustasi.

“Aku syok saat kau bilang kau nembak Jungkook. Tapi aku lebih syok lagi saat kau bilang kau nembak Jungkook pakai surat. Kenapa kau tidak bicara langsung saja sih, Tae?”

Taehyung menggaruk kepala. “Kau pikir aku tidak berusaha? Tapi setiap berpikir untuk bicara pada Jungkook, aku langsung sakit perut. Makanya aku putuskan nembak lewat puisi saja.”

“Lewat kalimat, maksudmu?”

“Intinya, itu yang terbaik yang bisa kulakukan.”

“Oke, oke.. sekarang kalau boleh tahu lebih jelas, bagaimana isi puisimu itu?”

“Kenapa kau perlu tahu?”

“Agar aku bisa menganalisis apa yang sedang terjadi.”

Taehyung tersiksa. Antara ingin memberitahu Jimin, namun malu setengah mati. Mungkin sebaiknya Jimin diberitahu. Siapa tahu dia benar-benar bisa membantu.

“Jarak terjauh antara dua manusia adalah saat aku berada di dekatmu, tapi kamu tak tahu aku mencintaimu.” Suara Taehyung terdengar lirih.

“APA?” ulang Jimin sambil mendekatkan telinganya ke bibir Taehyung.

“Kau kenapa dekat-dekat begitu?” teriak Taehyung kaget.

“Makanya kalau bicara yang keras sedikit. Aku tidak dengar kau bilang apa tadi.”

Taehyung mengomel. Dengan amat terpaksa ia mengulangi kata-katanya. Kali ini dengan volume biasa. “Jarak terjauh antara dua manusia adalah saat aku berada di dekatmu, namun kau tak tahu aku mencintaimu.”

“Itu saja?”

Taehyung memandang Jimin kesal.

“Maksudku, memangnya Jungkook mengerti?”

“Ya iyalah. Secara dia ikut ekskul jurnalistik, ketuanya lagi. Aku saja yang bodoh mengerti.”

“Oke, anggaplah dia mengerti. Tapi dia pasti bingung harus merepon apa padamu. Kau Cuma kasih kertas begitu.”

“Siapa bilang aku cuma kasih kertas? Aku juga bilang, kalau dia punya perasaan yang sama denganku, aku minta dia datang ke taman dekat rumahnya tanggal 14 februari nanti.”

Jimin berdecak putus asa. Parah. Kali ini Taehyung benar-benar sulit ditolong. Mana ada cara menyatakan cinta seperti itu di zaman sekarang? Jujur saja, Jimin tidak heran jika Jungkook mendiamkan Taehyung.

“Kau memang sinting, Tae!”

Taehyung menatap Jimin lama. Sekalipun enggan mengakui, ia merasa Jimin benar. Ia memang sinting. Semoga saja dampak perbuatannya tidak separah yang dipikirkan Jimin.

.

.

.

Seandainya bisa mengulang waktu, Taehyung pasti akan menghapus saat ia memberikan surat cintanya pada Jungkook. Soalnya ia tak tahan harus saling diam setelah kejadian itu.

Sikap Jungkook padanya berubah. Kalau dulu namja manis itu tidak mau kalah darinya, sekarang malah menjaga jarak. Taehyung sengaja menyuruh Jungkook melakukan ini-itu berkedok jabatan ketua dan wakil ketua kelas. Ternyata semua dilakukan Jungkook tanpa protes. Padahal biasanya omelan langsung berhamburan dari mulut namja manis itu.

Terlihat jelas Jungkook berusaha menghindarinya. Seperti kemarin misalnya. Seharusnya mereka kerja kelompok bersama di rumah Jungkook. Namun pada saat-saat terakhir, Jungkook malah membatalkan kerja kelompok karena Lisa tidak bisa datang. Padahal sebelumnya absennya Lisa tidak menghalangi niatnya untuk menyelesaikan tugas mereka.

Entah apa alasannya. Jungkook tidak mau lagi membuat kerja kelompok di rumahnya, padahal selama ini rumahnya menjadi markas kerja kelompok.

Taehyung mencoba berkonsentrasi pada buku yang ada di hadapannya. Tapi sebentar-sebentar matanya beralih ke Jungkook yang sibuk mengetik. Jungkook... entah kenapa sikap namja manis itu berubah padanya. Apa mungkin karena Jungkook sama sekali tak punya perasaan khusus padanya? Tapi kenapa harus bersikap seperti itu? Bukannya ia bisa langsung mengatakan semua itu tanpa berubah sikap?

Taehyung sedang menatap Jungkook ketika tahu-tahu namja manis itu mendongak dan menangkap basah pandangannya. Sekian detik pandangan mereka bertemu dan seakan terkunci. Sekalipun diniatkan berpaling, Taehyung kesulitan memerintahkan matanya untuk melepas pandangan ke Jungkook. Jungkook pun demikian. Begitu suara Lisa memecah keheningan, Jungkook dan Taehyung serentak melepas pandangan masing-masing.

“Ck. Kenapa kita jadinya harus kerja kelompok di sekolah? Kan enakan di rumahmu, kook?” tanya Lisa muram.

“Bosan kalau di rumahku terus. Sesekali kerja di sekolah kan tak apa,” jawab Jungkook singkat.

“Padahal kalau kita ke rumahmu, adikmu bisa bermain dengan Taehyung saat kita selesai. Jihoon-ie pasti kangen sama Taehyung. Mereka akrab sekali. Beda dengan kakaknya sendiri.” Kata Lisa terkikik sendiri.

Taehyung melirik Jungkook, mencari tahu reaksi namja manis itu, tapi Jungkook hanya diam, seolah tak mendengar perkataan Lisa. Taehyung menghela napas, paham kenapa tiba-tiba namja manis itu minta kerja kelompok dilakukan di sekolah. Setidaknya ada dua alasan di otak Taehyung. Yang pertama, Jungkook tidak ingin Taehyung terlalu dekat dengan Jihoon. Alasan kedua dan lebih masuk akal dengan keadaan sekarang, Jungkook tidak ingin berada di dalam ruangan yang sama dengannya lebih lama dari yang diperlukan.

Sebelumnya, setelah kerja kelompok selesai, Taehyung menyempatkan diri menemani Jihoon. Lisa biasanya langsung pulang. Otomatis Taehyung hanya tinggal bertiga dengan Jungkook dan Jihoon. Tapi karena Jihoon sibuk dengan dunianya sendiri, Taehyung bisa dibilang hanya berdua dengan Jungkook. Sepertinya itu yang dihindari Jungkook.

Taehyung menggeleng pelan. Dengan usaha penuh ia berusaha berkonsentrasi pada tugasnya. Tapi hingga kerja kelompok berakhir dan mereka kembali ke rumah masing-masing, namja itu gagal total menyingkirkan Jungkook dari pikirannya.

.

.

.

Taehyung baru saja masuk ke kelas saat pandangannya menangkap sosok Jungkook yang baru tiba. Dengan santai namja manis itu meletakkan tas, lalu duduk di bangkunya sambil memandangi ke sekeliling.

Taehyung menatap modul yang ada di tangannya. Kesempatan melihat reaksi Jungkook. Kalau kali ini Jungkook tetap menjaga jarak, maka dirinya harus segera mencari cara untuk membalik keadaan yang kacau ini.

Taehyung melangkah mendekati Jungkook. Seperti magnet, mata Jungkook melihatnya. Hanya beberapa detik, lalu Jungkook sibuk mencari sesuatu di tas.

Saat melihat Jungkook mengeluarkan buku dan langsung membukanya cepat, hati Taehyung mencelus. Taehyung yakin seratus persen Jungkook tahu ia akan menghampirinya sehingga buru-buru mencari cara agar terlihat sibuk. Menebalkan muka, Taehyung tetap melangkah menghampiri Jungkook. Dengan usaha ekstra, ia berhasil memasang wajah santai saat berdiri di samping meja namja manis itu.

“Gendut, ini ada modul dari Min ssaem. Kau fotokopi untuk anak sekelas, ya. Aku malas.” Kata Taehyung sambil meletakkan modul di meja Jungkook.

“Nanti akan ku fotokopi,” jawab Jungkook tanpa menoleh sedikitpun ke arah Taehyung.

“Jangan nanti, mau dipakai pas jam kedua, mana bisa kalau nanti?”

“Sebentar lagi kalau begitu.”

“Lima belas menit lagi bel. Sekarang saja.”

“Baiklah.”

“Kalau bicara lihat orangnya, gendut!”

“Aku sibuk!”

Taehyung menatap Jungkook sendu, lalu berbalik tanpa mengatakan apapun lagi. Jungkook ternyata menjaga jarak darinya. Sekarang apa pun yang dilakukan Taehyung tak bisa memancing Jungkook marah, berdebat, atau terlibat percakapan panjang seperti yang dulu mereka lakukan.

Dengan lesu Taehyung keluar dari kelas. Ia ke taman sekolah, tempat yang cukup sepi dan pas untuk merenung di pagi hari. Setibanya disana ia begitu saja duduk di bangku terdekat dan mulai memijit-mijit kepala. Ia lebih memilih berdebat tak jelas dengan Jungkook dibandingkan seperti ini.

Mungkin Taehyung harus mengatakan pada Jungkook bahwa surat yang diberikannya tempo hari hanyalah main-main. Jungkook pasti marah besar, tapi paling tidak mereka bisa kembali memaki dan berdebat. Tapi andai melakukan hal itu, berarti ia harus siap kehilangan kesempatan untuk membuat Jungkook jadi miliknya.

Taehyung, Taehyung. Jangan tolol. Kalau tidak melakukan hal itu, kau pikir kau masih punya kesempatan untuk bersama dengan Jungkook? Kau tidak lihat sikap Jungkook padamu? Kau seperti kuman di matanya, jadi jangan berharap banyak! Batin Taehyung.

Taehyung tertawa kecut. Sekalipun pahit, ia harus menerima kenyataan. Bila Taehyung mendiamkan suratnya, Jungkook akan tetap menjaga jarak seperti ini. Kesempatannya bersama Jungkook menjadi nol. Sebaliknya, jika ia bilang surat itu main-main, kesempatannya bersama Jungkook juga tetap nol. Tapi setidaknya kesempatannya kembali ke situasi sebelum ini sangatlah besar.

Taehyung mempertimbangkan idenya masak-masak. Ia bertekad akan mengatakan pada Jungkook bahwa surat itu hanya main-main.

.

.

.

Seharian itu Taehyung galau. Semakin cepat waktu berjalan mendekati jam pulang sekolah, semakin gelisah hatinya. Dan saat bel pulang berdering, sakit kepalanya mencapai tahap tingkat tinggi. Ia niatkan menuntaskan masalahnya hari itu juga.

Taehyung menunggu Jungkook keluar kelas. Hari ini ada ekskul jurnalistik, jadi seharusnya Jungkook ke markas sebelum pulang ke rumah. Jika Taehyung beruntung, seperti biasa, Jungkook tiba pertama kali di ruangan tersebut sehingga Taehyung bisa melaksanakan niatnya tanpa didengar atau diketahui orang lain.

Dari jarak agak jauh, Taehyung mengikuti Jungkook. Begitu Jungkook menuju markas, namja mengamati sekelilingnya. Seperti yang diharapkannya, Jungkook menjadi orang pertama yang tiba di markas.

Jungkook tampak termenung di salah satu meja disana. Saking larutnya melamun, ia tidak menyadari kehadiran Taehyung yang langsung duduk di seberangnya. Taehyung meraih kertas HVS yang tergeletak di meja, lalu meremas dan melempar gumpalan kertas itu ke arah Jungkook. Seketika Jungkook berteriak kesakitan karena kertas itu mengenai pelipisnya.

“Yak!! Apa yang kau lakukan?” tanya Jungkook.

“Surat dari ku tempo hari, anggap saja aku tidak pernah memberikannya padamu. Kau tidak perlu memikirkannya lagi.” Setelah bicara seperti itu Taehyung langsung berdiri dan melangkah pergi, meninggalkan Jungkook yang melongo tak percaya. Butuh waktu beberapa detik sampai Jungkook sadar dari keterkejutannya dan bergegas mengejar Taehyung.

“Kau sengaja mempermainkanku?” tanya Jungkook saat berhasil menjajari langkah Taehyung.

“Siapa yang mempermainkanmu?”

“Lalu kenapa kau memberikan surat itu dan tiba-tiba sekarang menyuruhku untuk menganggap surat itu tidak pernah kau berikan? Kalau bukan untuk mempermainkan ku, lalu apa lagi namanya?”

Taehyung mengangkat bahu tak peduli. “Yang penting anggap saja aku tidak pernah memberikan surat itu.”

Tanpa menunggu jawaban Jungkook, Taehyung melangkah cepat meninggalkannya. Namja itu berusaha berjalan sesantai mungkin walau jantungnya berdetak tak karuan. Ia bahkan sengaja berjalan lambat agar Jungkook bisa menyusulnya bila namja manis itu mau. Tapi sampai Taehyung berjalan di ujung koridor, tak ada yang mengikutinya.

Dengan ragu Taehyung berbalik. Dan apa yang dilihatnya membuatnya patah hati.

Koridor itu kosong!

Taehyung menghela napas panjang. Jungkook terbukti tidak punya perasaan apapun padanya karena namja manis itu menghilang begitu saja. Taehyung menelan ludah. Menyatakan perasaan pada Jungkook adalah keputusan bodoh. Dan kini ia telah memperbaikinya. Sekarang saatnya mengucapkan selamat tinggal pada Jungkook...

.

.

.

TeBeCe



Hate You! Love You!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang