8

600 36 0
                                    

Sejak Taehyung menyadarkannya tentang Jihoon, Jungkook punya pandangan baru terhadap namja itu. Siapa sangka, dibalik sosok menjengkelkan Taehyung, ada kebijaksanaan di dalamnya? Jungkook merasa kadar kebenciannya ke Taehyung sedikit berkurang.

Jungkook tidak bisa berpura-pura tidak antusias menantikan pertandingan basket antara Big Hit High School sekolahnya dengan Hannyoung High School. Makanya ia setengah kesal saat mengurus izin menginap di sekolah untuk keperluan lomba mading bertepatan dengan waktu pertandingan. Begitu urusannya selesai, ia buru-buru menyeret Bambam untuk menonton pertandingan yang dinanti-nantikan kedua sekolah itu.

Kedua namja manis itu tiba di lapangan saat babak kedua. Dengan cepat Jungkook melihat papan skor. Sekolahnya unggul tipis.

“Kita mau duduk di mana, Kook?” tanya Bambam setengah berteriak karena berisiknya suasana lapangan indoor itu.

“Tenang, aku sudah minta Yugyeom menyiapkan tempat yang strategis untuk kita. Sekarang coba kau bantu aku mencari yugyeom” jawab Jungkook sambil mengedarkan pandangan mencari Yugyeom.

Tidak butuh waktu lama untuk menemukan Yugyeom. Begitu melihatnya, Jungkook langsung menarik Bambam agar berjalan cepat ketempat Yugyeom.

“Kalian telat sekali tahu! Aku sampai bertengkar dengan beberapa orang karena menjaga tempat duduk kalian.” Kata Yugyeom sewot begitu bertemu Jungkook dan Bambam.

“Maaf, Yug. Hehe” kata Jungkook cengengesan sambil mengamati sepuluh orang yang berlarian di lapangan.

Yugyeom cemberut, lalu kembali menonton pertandingan. Baru beberapa detik menikmati pertandingan, suara Jungkook kembali mengganggunya.

“Sekolah kita mainnya bagus tidak?”

“Lumayan, tapi sekolah lawan juga tidak jelek. Dari tadi angkanya kejar-kejaran. Kalau tidak hati-hati, kita bisa kalah.”

“Babak pertama kita menang, kan?”
Yugyeom mengangguk tak sabar.

“Taehyung daritadi kok tidak shoot, ya?”

Yugyeom menoleh ke Jungkook dengan kesal. “Kook, lebih baik kau diam dan menonton saja. Aku juga mau menonton dan harus mengingat-ngingat jalannya pertandinganagar aku nanti bisa membuat artikel yang bagus tentang pertandingan ini.”

Jungkook menjulurkan lidah ke Yugyeom sebelum kembali mengamati pertandingan. Ia melihat papan skor sekali lagi. Waktu tinggal sepuluh menit, tapi angka bertambah secara bergantian. Yugyeom benar, kekuatan kedua sekolah seimbang.

Jungkook mengamati pertandingan dengan serius. Tatapannya tertuju pada Taehyung. Kalau dipikir-pikir, sebenarnya Taehyubg hebat. Selain shoot dia juga sering mengoper bola untuk teman-temannya.

Lapangan indoor semakin ramai begitu waktu pertandingan tersisa satu menit. Murid murid Big Hit High School mulai berdiri dan menyorakkan nama anggota tim basket satu-persatu. Saking tegangnya, Jungkook ikut berdiri dan bersorak seperti yang lain.

Untuk yang kesekian kalinya Jungkook memandang papan skor. Big Hit 78, sementara Hannyoung 79, ia sempat mengumpat pelan saat melirik waktu yang tinggal tiga puluh detik.

Tatapan Jungkook cepat kembali ke lapangan. Saat melihat Taehyung mendribel bola, tanpa ragu ia berteriak keras. “Ayo Tae, kau pasti bisa!”

Jungkook mengamati Taehyung dengan napas tertahan. Namja itu meliuk cepat menghindari tim lawan, lalu perlahan mendekati ring basket. Beberapa anggota tim lawan mencoba merebut bola, tapi Taehyung berhasil menghindarinya. Teriakan di lapangan semakin membahana. Jungkook menarik napas dalam-dalam. Kalau bisa, ingin rasanya ia mengusir tim lawan yang menghadang Taehyung saat itu.

Jungkook kembali melirik waktu di papan skor. Lima belas detik lagi! Buru-buru ia mengamati Taehyung yang bersiap melempar bola. Suara ribut menjadi hening. Seperti Jungkook, semua anak Big Hit menahan napas bersamaan.

Taehyung melempar bola. Bola meyang di udara dan mendekati ring. Jungkook mengamati pergerakan bola tanpa berkedip. Bola membentur ring, berputar dua detik, dan jatuh setelah melewati bagian tengah ring. Detik itu juga sorakan gembira pecah di seluruh lapangan yang didominasi para siswa Big Hit High School. Jungkook melompat bahagia.

Teriakan semakin membahana saat peluit tanda berakhirnya pertandingan ditiup melengking. Jungkook menarik Bambam untuk berdiri dan melompat bersamanya.

“Kita menang! Kita menang!” teriak Jungkook antusias.

Bambam tersenyum lebar. Sambil mengangguk bersemangat.

“Tak kusangka, Taehyung ternyata hebat!” puji Jungkook sambil mendecak tak percaya.

“Aku lebih tidak menyangka kau akan sesenang ini, ditambah lagi kau barusan memuji Taehyung. Kayaknya, hari ini matahari terbit dari arah barat, deh!”

Jungkook mendelik mendengar perkataan Bambam. “Kalau memang dia hebat, harus aku akui lah.”

Bambam mengangguk mengerti, “benar, tapi kan biasanya kau lebih memilih menelan paku daripada memuji Taehyung. Tapi ya sudahlah, yang penting kita menang.”

Mm.. ucapan Bambam benar juga. Biasanya Jungkook tidak pernah mau memuju Taehyung. Tapi kenapa hari ini gampang sekali pujian terlontar dari mulutnya?

Jungkook menatap lapangan yang dipenuhi anak-anak Big Hit yang berhamburan turun dari bangku penonton. Ia mencari Taehyung. Ternyata namja itu berdiri di pinggir lapangan dikelilingi Irene cs yang notabene anggota cheerleader. Mereka tampak sumringah dalam canda. Pemandangan itu membuat Jungkook mengalihkan pandangan. Sebal rasanya melihat Taehyung dikelilingi anak cheerleader, terutama si kapten, Irene.

Omo, omo.. Jungkook.. apa yang kau pikirkan? Taehyung mau dekat dengan siapa itu bukan urusanmu, tahu! Batin Jungkook membantah kegalauan hatinya.

Jungkook menggeleng cepat, berusaha menghilangkan perasaan aneh yang melintas di hatinya.

“Kau kenapa, Kook?” tanya Bambam yang heran melihat tingkah Jungkook.
Jungkook tersentak, lalu buru-buru menggeleng. “Bam, ayo pulang. Aku lupa masih punya tugas yang harus dikerjakan.”

Bambam menyipit heran, “Memangnya kita punya PR? Bukannya khusus hari ini, kita justru libur dari PR dan ulangan untuk menonton ini?”

“Bukan tugas sekolah, tugas ekstrakurikuler. Ayo cepat!”

Tanpa menunggu reaksi Bambam, Jungkook berdiri dan menarik tangan temannya untuk meninggalkan lapangan. Huh.. lebih baik Jungkook pergi dari sana daripada harus melihat Taehyung berdekatan dengan Irene!

.

.

.

“Kau mengikuti pertandingan kemarin tidak, dari awal sampai akhir?”

Jungkook mengerling pada Taehyung lalu menggeleng santai. “Maaf saja, bukan levelku menonton pertandingan seperti itu. Tidak ada waktu. Apalagi hanya untuk menontonmu yang berkeringat saja!”

Taehyung mencibir tak percaya. “Kalau berbohong yang cerdas sedikit lah, kook. Kalau kau tidak mau ketahuan nonton, seharusnya jangan duduk di barisan paling depan. Lagipula, kau pikir aku tidak dengar kau teriak-teriak ‘Ayo, Tae kau pasti bisa!’ ?”

Seketika rasa panas menjalar ke wajah Jungkook. Sumpah, ia malu luar biasa. Sial, sial, sial! Bagaimana mungkin Taehyung bisa tahu, padahal seharusnya namja itu hanya berkonsentrasi pada permainan?

“Kau.. kau fans beratku kan, bagaimana bisa kau tahu aku ada disana?”

Taehyung tertawa puas. “Hahaha.. mengaku juga akhirnya, aku tahu kau ada disana bukan karena aku fans padamu, tapi aku memang cerdas. Penglihatanku juga baik. Jadi walau kau tidak mengaku, aku tahu kau duduk disebelah Yugyeom dan Bambam kemarin.”

Jungkook mengomel tanpa suara. Benar-benar menjengkelkan!

“Terus kenapa kau tidak memberi selamat padaku, kook? Aku justru tidak melihatmu lagi saat pertandingannya selesai.” Kata Taehyung heran.

“Memangnya kurang ya ucapan selamat dari sebegitu banyak orang?”

“Lain kalau yang memberi selamat itu kau”

“Siapa suruh kau sibuk pacaran dengan Irene”

Taehyung mengernyit mendengar nama Irene. “Irene? Aku pacaran dengan Irene? Kapan?”

Sesaat Jungkook ingin menampar mulutnya sendiri. Untuk apa ia membahas Irene? Taehyung bisa-bisa mengira ia cemburu. Padahal itu kan tidak mungkin!

“Mm.. jangan-jangan.. kau cemburu ya melihatku bersama Irene kemarin?” Goda Taehyung sambil nyengir lebar.

Jungkook menganga sebal. Tuh, kan! Seperti yang ditakutkannya, Taehyung jadi berpikir macam-macam.

“Sembarangan, cemburu denganmu? Yang benar saja!”

Taehyung tertawa puas. “Aku tidak menyangka kau akan cemburu begitu, Kook. Aku jadi tersanjung.”

Tangan Jungkook mengepal geram. “Sudah ku bi...”

“Aku guy,” kata Taehyung memotong ucapan Jungkook.

Untuk beberapa saat mereka sama-sama terdiam. Jungkook menelan ludahnya. Ini canggung pikirnya.

“Lalu apa peduliku?” tanya Jungkook akhirnya.

“Hanya memberi info saja, agar kau tidak perlu cemburu lagi.”

Blush!! Entah kenapa pipinya seketika merona. Jungkook pun mengalihkan pandangannya dari Taehyung.

“Ah, sudahlah. Aku malas meladeni orang gila sepertimu.” Buru-buru ia bangkit dari kursi, meninggalkan Taehyung yang masih tertawa puas.

Taehyung memang menyebalkan!

.

.

.

Yang namanya Kim Taehyung memang terbukti sangat menyebalkan. Bayangkan saja, Jungkook dan Taehyung itu sekelas, otomatis mereka bertemu delapan jam sehari. Mereka juga sama-sama pengurus OSIS dan ekstrakurikuler jurnalistik. Itu berarti dua kali seminggu mereka sama-sama rapat dan berada di ruang ekskul, totalnya sepuluh jam. Tapi untuk meluangkan waktu setengah jam saja, Taehyung mengaku tak punya waktu.

Hampir seminggu Jungkook membujuk Taehyung untuk diwawancarai, selalu saja ada alasan penolakan dari Taehyung. Saat akhirnya Taehyung setuju diwawancarai, Jungkook lega luar biasa. Tapi kelegaannya hanya berlangsung beberapa detik. Saat Taehyung menyebut wawancara harus dilakukan dirumahnya, amarah namja manis itu langsung naik ke ubun-ubun.

“Kenapa tidak di sekolah saja, sih?” geram Jungkook kesal.

“Tak usah banyak tanya. Kalau kau mau wawancara, hari ini kau kerumahku, jam tiga tepat. Telat sedetik saja, aku tidak jamin masih mau diwawancara!” Kata Taehyung galak.

“Kau pikir aku tidak punya acara hari ini? Seenaknya saja menentukan waktu!”

“Terserah. Aku bisanya hari ini saja. Kalau kau tidak mau, jangan menyalahkanku. Yang jelas aku sudah menyediakan waktu untukmu.”

Jungkook menatap Taehyung dengan luar biasa sebal. Taehyung benar-benar menjengkelkan! Apalagi begitu selesai bicara, tanpa memedulikan Jungkook, ia langsung melenggang pergi dengan santai.

Jungkook menghentakkan kaki karena kesal. Satu-satunya orang yang paling pintar mengaduk emosinya memang hanyalah, Taehyung!

“Kau kenapa, Kook?” tanya Bambam yang tiba-tiba muncul disamping Jungkook sambil menatap sahabatnya itu heran.

“Aku sangat kesal, Bam-ie! Bebar benar kesal! Taehyung benar-benar menyebalkan!”

“Taehyung kenapa lagi?”

“Dia minta diwawancarai di rumahnya hari ini, Bam. Barusan dia memberitahuku.”

Bambam menatap Jungkook heran. “Wawancara di rumahnya? Untuk apa?”

“Mana ku tahu. Karena itu aku sangat kesal. Tiap hari bertemu berjam-jam, masih harus ke rumahnya pula. Menyebalkan!”

“Kenapa kau mau? Tolak saja. Gampang, kan?”

“Gampang bagaimana? Kalau aku tolak, lalu dia tidak mau diwawancarai lagi bagaimana? Aku bisa stress nanti. Aku harus menyelesaikan profil si Monyet itu minggu ini. Sabtu nanti aku harus menginap di sekolah dengan anak-anak jurnalistik lainnya untuk finishing mading. Tinggal nunggu beberapa artikel, termasuk profil Taehyung. Mau ganti orang juga tidak mungkin. Habis setelah ku pikir, sepertinya memang dia yang paling pantas untuk dijadikan profil.”

“Tumben kau memuji Taehyung.”

“Aku tidak memujinya. Tapi memang itulah kenyatannya. Sepertinya aku memang harus ke rumahnya. Tapi bagaimana caranya aku pergi ke rumahnya ya?”

“Lah.. supirmu kemana?”

“Lee ahjushi sakit. Tadi pagi saja aku naik bus sendirian kesini. Pulangnya, aku rencana mau pulang bersamamu. Mm.. kau bisa kan menemaniku pergi ke rumah Taehyung?”

“Aduh, kalau hari ini aku tidak bisa, Kook. Hari ini aku ada ujian piano, jadi tidak mungkin sempat untuk menemanimu.”

Bibir Jungkook manyun beberapa senti. Sepertinya hari ini bukan hari keberuntungannya. Kenapa juga Taehyung bisa memilih hari ini? Bagaimana caranya Jungkook bisa sampai ke rumah Taehyung?

“Omong-omong memangnya kau tahu dimana rumah Taehyung?” tanya Bambam penasaran.

“Mana ku tahu. Nanti terpaksa aku menanyakan alamat lengkap rumahnya dan dengan angkutan umum apa aku bisa sampai kesana.”

Bambam mengangguk mengerti. “Mian, kook. Aku benar-benar tidak bisa menemanimu hari ini.”

“Iya, Bam-ie aku mengerti. Tak perlu minta maaf padaku seperti itu. Kalaupun ada yang perlu minta maaf padaku, orang itu Taehyung, bukan kau.”

Bambam menepuk pundak sahabatnya. “Sabar ya, Kook. Sekarang ke kantin dulu yuk, lapar nih.”

Tanpa membantah, Jungkook menyetujui ajakan Bambam dan berjalan menuju tempat berkumpul favorit murid di sekolah itu.

.

.

.

Baru kali ini Jungkook merasa kesal harus naik angkutan umum. Sudah panas, penuh sesak, pakai acara salah naik lagi. Dan semua ini gara-gara Taehyung!

Taehyung memang memberi Jungkook denah jalan ke rumahnya, tapi sama sekali tidak memberitahukan angkutan umum yang harus digunakan Jungkook. Berbekal alamat yang ditulis dengan tulisan cakar ayam Taehyung, Jungkook terpaksa bertanya ke orang-orang yang sama-sama menunggu angkutan umum. Parahnya, ia sudah setengah jalan saat bertanya ulang ke sopir tentang alamat Tehyung. Tak ingin salah jalan untuk kedua kali, Jungkook terpaksa menyetop taksi pertama yang dilihatnya. Untung saja masih ada uang di dompet.

Saat taksi berhenti di depan rumah Taehyung, Jungkook menarik napas panjang. Lega campur jengkel.

Yang tak diduga Jungkook, ternyata rumah Taehyung berbanding terbalik dengan kelakuannya yang luar biasa meenyebalkan.

Jungkook memandang rumah bernuansa mediterania itu sambil melangkah. Keterpanaannya berakhir saat melihat namja yang sedang asyik memasukkan bola ke ring basket yang berada di sisi kanan rumah.

“Monyet, cepet bukain!” teriak Jungkook tak sabar.

Mendengar suara Jungkook, Taehyung batal memasukkan bola ke ring. Dengan muka masam ia melangkah mendekati pagar.

“Jam berapa ini, gendut? Kenapa kau baru datang sekarang?” omelnya kesal.

Jungkook mencibir. “Masih untung aku bisa sampai ke rumahmu. Aku kesasar, tahu! Ini semua salahmu, wawancaranya kenapa tidak disekolah saja, sih? Suka sekali merepotkanku!”

“Alamat yang ku berikan sepertinya sudah jelas. Pakai denah juga, kan? Kalau masih nyasar, itu berarti salahmu sendiri. Lagian masa nyasar sampai satu jam sih, kook?”

“Ah, sudahlah, tak usah banyak omong. Cepat bukakan pintunya! Panas.”

Taehyung menyeringai, “Kalau aku tidak mau bukakan, lalu kenapa?”

“Kau jangan rese ya, Tae.”

Masih sambil menyeringai. Taehyung membuka pintu pagar.

“Untung aku baik. Walau kau telatnya tidak kira-kira, aku tetap mau membukakan pintu dan mengizinkamu mewawancaraiku.”

Jungkook mencibir, lalu masuk dengan cepat ke rumah Taehyung.

“Kalau kau tidak macam-macam minta wawancara di rumah, aku ataupun kau sama-sama tidak perlu buang-buang waktu seperti ini. Lagipula, kenapa juga harus diwawancara di rumah? Setiap hari kita bertemu di sekolah. Bubar sekolah kau juga tidak langsung pulang tapi nongkrong tidak jelas dulu di sekolah. Kenapa coba harus pulang dulu untuk wawancara yang tidak sampai setengah jam?”

“Gendut! Kau berisik sekali, yang penting kan aku sudah mau diwawancara. Atau kau mau kita batalkan saja wawancara hari ini?”

Jungkook terpaksa diam. Gila saja kalau sampai Taehyung benar-benar membatalkan wawancaranya. Sudah capek-capek mencari rumahnya, masa harus sia-sia begitu saja? Tidak bisa. Taehyung harus berhasil diwawancarai hari ini.

Melihat sikap diam Jungkook, Taehyung memamerkan seringainya. Dengan santai ia memimpin Jungkook masuk ke rumahnya.

“Berhubung kau sangat terlambat, aku jadi lapar lagi. Kau tunggu dulu disana, nanti setelah aku makan baru kita mulai wawancaranya,” kata Taehyung sambil melemparkan handuk yang digunakan untuk menyeka keringat ke sofa dekat Jungkook berada.

Jungkook yang baru akan duduk di sofa, langsung berdiri kembali dan mengernyit jijik pada handuk yang dilempar Taehyung.

“Sumpah, kau jorok sekali, Tae!” kata Jungkook sembari mengambil tempat di sofa lain.

Lagi-lagi Taehyung hanya menyeringai sebelum menghilang ke dapur. Jungkook memandangi punggung Taehyung. Hanya selang semenit ia memutuskan menyusul namja itu. Daripada bengong tidak jelas di ruang tamu Taehyung?

Jungkook melangkah pelan-pelan ke dapur dan bermaksud mengejutkan Taehyung. Tapi sesampainya di dapur, justru ia yang terkejut. Tanpa ia sangka, namja itu sibuk memotong tomat dan paprika merah. Saking kagetnya mulut Jungkook sampai ternganga.

Sadar ada yang memperhatikan, Taehyung menoleh ke arah Jungkook. Terkejut, ia mengomel sambil meletakkan pisau.

“Kau seperti hantu saja, gendut! Bikin orang jantungan saja.”

Jungkook menatap Taehyung sejenak, lalu pandangannya beralih pada tomat dan paprika di meja dapur. “Kau.. masak?” tanya Jungkook ragu.

“Memangnya kenapa kalau aku masak? Ada masalah?”

Jungkook menggeleng pelan, kagum pada talenta Taehyung. Apalagi ia memang tidak bisa memasak. Tapi niat untuk memuji dan rasa kagumnya pada Taehyung langsung lenyap saat namja itu membombardirnya.

“Aaa.. aku tahu! Kau pasti tidak pandai memasak. Eh, salah salah aku yakin kau tidak bisa memasak sama sekali. Benar, kan?” cibir Taehyung.

“Kau seperti koki profesional saja. Paling rasa masakanmu juga standar!” Cerca Jungkook tak mau kalah.

“Ku jamin kau akan ketagihan begitu mencoba spageti buatanku!”

Jungkook mendengus tak percaya. “Yang benar saja! Tidak sakit perut saja sudah bagus, ini malah ketagihan. Pede sekali kau.”

“Oke. Kita lihat saja nanti. Tunggu disana. Lima belas menit lagi aku selesai.”

Jungkook mengangkat dagu dengan angkuh. Dengan santai ia duduk di depan meja dapur sambil mengamati Taehyung bekerja. Taehyung dengan cekatan menyiapkan wajan dan panci perebus pasta. Sembari menunggu pasta matang, ia sibuk dengan pisau.

Sekalipun kagum pada Taehyung, Jungkook sama sekali tak menunjukkannya. Ia tetap memasang wajah meremehkan saat pasta yang terlihat menggiurkan tersaji di depan mata.

Jujur saja, tanpa memakannya pun Jungkook sudah tergoda oleh harum spageti olahan Taehyung.
Dengan senyum menyebalkan Taehyung mengendus aroma spageti. “Baunya saja menggiurkan,” kata Taehyung sambil meraih garpu untuk mengaduk spageti.

“Apanya yang menggiurkan? Aku tidak mencium apa-apa tuh.”

“Jadi hidungmu buntu? Kasihan sekali.”

Jungkook menatap Taehyung tajam. Lalu tanpa memedulikan Taehyung, ia mulai mengaduk spageti bagiannya. Masih memasang tampang mencemooh, ia memasukkan sesuap ke mulut. Dan saat lidahnya merasakan nikmatnya pasta buatan Taehyung, hampir saja ia berseru memuji. Untungnya ia cepat mengganti suaranya dengan batuk.

“Kau kenapa?” tanya Taehyung heran. “Tersedak? Pastaku seenak itu ya sampai kau makannya seperti tidak makan berapa hari seperti itu?”

“Rasanya aneh, karena itu aku batuk. Ge-er sekali sih?”

“Kalau begitu kenapa kau masih memakannya?”

“Sayang kalau dibuang. Di luar sana masih banyak orang yang ingin makan tapi tidak bisa, tahu!”

Taehyung mencibir. Kemudian meneruskan makan sambil sesekali melirik Jungkook yang terlihat menikmati santapan makan siangnya.

.

.

.

“Oke, setelah makan lalu mandi, apalagi yang harus kau lakukan sebelum aku bisa mewawancaraimu?”

Jungkook memandang Taehyung yang baru keluar dari kamar dengan tatapan ingin membunuh. Sejak tadi ada saja alasan Taehyung untuk menunda wawancara. Pertama, memasak dan makan. Setelah itu, Taehyung bersikeras mau mandi dulu. Alasannya, kondisinya habis berkeringat dan lengket. Sehingga bisa jadi ia tidak konsentrasi saat diwawancara. Alasan apa itu?

Seperti sebelumnya, Jungkook tak berdaya selain menerima semua kemauan Taehyung. Dengan amat terpaksa ia menunggu hingga namja itu duduk di sofa seberang Jungkook dengan rambut setengah basah.

“Kenapa tidak sekalian saja kau keringkan rambutmu dulu?” sindir Jungkook sambil mengeluarkan notes dan bolpoin.

Taehyung tersenyum lebar. “Idemu bagus juga.” Responsnya sambil berdiri.

Jungkook langsung ingin menampar mulutnya sendiri. Buru-buru ia bangkit dan menahan Taehyung hingga namja itu duduk kembali.

“Oke, oke, maaf. Aku salah bicara. Bisa kita mulai sekarang?” tanya Jungkook mencoba sabar.

Taehyung pura-pura tersinggung. “Untung saja aku narasumber yang baik hati. Yasudah, mulai saja”

Dalam hati Jungkook menghela napas lega. Akhirnya...

.

.

.

TeBeCe






Hate You! Love You!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang