02.

11.3K 1.2K 9
                                    

"Pergi dengan Chanhee lagi?" Haechan mengernyit tak suka mendengar nada suara yang digunakan Mark kepadanya.

"Kan hyung tahu aku memang sedang diminta menjadi MC untuk acara kampus bersama Chanhee." jawabnya pelan, malas memulai keributan.

"Minggu lalu Eric, sekarang Chanhee. Kau senang dikelilingi oleh banyak pria tampan, huh?"

Tak terima dengan tuduhan Mark, Haechan juga mulai meninggikan suaranya. "Aku dan Eric hanya sebatas rekan kerja kalau kau lupa. Aku tak pernah absen untuk memberitahumu semua kegiatanku. Minggu lalu aku mengisi acara pensi. Alasan aku bersama dengan Eric adalah karena dia mengantarku selepas acara itu karena sudah terlalu malam untuk aku pulang sendiri, sedangkan kekasihku sibuk lembur." serunya.

"Kau menyalahkanku?" tanya Mark dengan wajah memerah menahan amarah.

"Tentu saja tidak. Aku selalu memahami kesibukanmu bekerja, terutama karena kau baru saja bergabung dengan perusahaan ayahmu. Tapi tolong jangan terlalu curiga kepadaku." seru Haechan sedikit memohon.

"Tapi dia menyukaimu!" balas Mark.

"Tapi aku tidak. Bukankah itu seharusnya cukup?" bela Haechan.

Kecemburuan membuat Mark lupa bahwa kekasihnya yang seorang bintang kampus, berarti terlalu sering berada di antara orang banyak. Bukan hal baru bagi Haechan apabila dirinya diundang ke sebuah acara pensi ataupun pertunjukan. Entah untuk menjadi MC ataupun bernyanyi di acara tersebut. Hal yang seringkali menjadi alasan utama kecemburuan Mark. Padahal hidup Haechan bergantung dari hal tersebut. Sejak kuliah, Haechan memang mencoba untuk tidak terlalu meminta uang saku kepada orangtuanya. Mengingat orang tuanya masih harus membiayai sekolah kedua adiknya.

"Jangan bertemu mereka lagi. Aku tidak suka itu, Haechan." lanjut Mark. "Kalau kau masih menemui mereka, lebih baik kita berakhir." Mark lalu pergi meninggalkan Haechan yang masih termangu di sofa apartemennya mendengar ultimatum kekasihnya.

***

Haechan hanya bisa tersedu melihat pemandangan di hadapannya. Dia kira dia hanya kelelahan ketika akhir-akhir ini dia merasa tubuhnya mudah sekali merasa lemas. Dua garis merah di testpack yang dipegangnya menjadi bukti kebodohannya menyerahkan miliknya yang berharga kepada kekasihnya. Ralat, mantan kekasihnya. Karena Haechan tentu saja memilih mempertahankan pekerjaan, meski itu berarti dia harus merelakan kekasihnya.

Menghela napas perlahan, Haechan menyadari bahwa dia harus merelakan pendidikannya yang baru memasuki tingkat 3. Memutuskan untuk kembali ke kampung halamannya untuk memberitahu orang tuanya dan memulai kehidupan baru, karena dia tidak akan mau meminta belas kasihan mantan kekasihnya untuk kembali bersama.

***

Mark memasuki area kampus tempat kekasihnya berkuliah. Seingatnya hari ini memasuki masa ujian, jadi pasti mudah menemukan keberadaan kekasihnya. Sudah sebulan berlalu sejak ultimatum Mark kepada kekasihnya dan seminggu sejak dia tidak bisa menghubungi kekasihnya itu. Mark melangkahkan kakinya ke dalam area kantin hingga akhirnya melihat sosok yang dikenalnya. Son Eric. Partner kerja kekasihnya.

"Eric, kau lihat Haechan?" tanya Mark yang hanya dijawab kerut heran di dahinya.

"Kau tidak tahu? Haechan sudah tidak masuk kuliah sejak 2 minggu yang lalu. Beberapa teman juga sempat mengunjungi tempat tinggalnya tapi dia sudah tidak di sana lagi. Rumor yang beredar dia mengundurkan diri dari kampus." jelasnya.

Mark bukannya tanpa usaha. Setelah mendapat penjelasan dari Eric mengenai ketiadaan Haechan, dia bergegas mendatangi kampung halaman sang kekasih. Yang berakhir dengan menemui ayah dan ibu Haechan yang sama-sama tak tahunya mengenai keberadaan Haechan.

***

StillTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang