21.

8K 603 17
                                    

"Kau baik-baik saja?" Raut khawatir menghiasi wajah Mark. Juga pertanyaan yang sudah diajukan berkali-kali oleh pria itu, membuat Haechan bosan menjawabnya dengan kalimat yang sama. Bahkan meski sudah tiba di rumah dan mereka bersiap untuk tidur, Mark kembali mempertanyakan kalimat yang sama.

"Aku baik Hyung, kau sudah bertanya tiga kali, demi Tuhan. Tadi kau dengar sendiri apa kata dokter Irene. Aku hanya perlu mengurangi konsumsi daging, karena itu membuatku mual."

"Tapi... "

"Pa?" panggil Noah lirih, menginterupsi obrolan kedua pria dewasa itu. Haechan mendekatkan wajahnya untuk menggesekkan ujung hidungnya ke hidung putranya.

"Kenapa hmm?" Tanyanya ke arah bayi yang terlihat mengantuk. Matanya sayu tapi memaksakan diri untuk tetap terbuka dan memandang papanya. Tangan mungilnya sudah melingkar di leher Haechan.

"Kiss." balasnya dengan wajah cemberut, kesal karena diabaikan oleh kedua orang tuanya. Haechan tertawa melihat muka sebal putra sulungnya.

"Kiss Daddy, tidak?" goda Mark ke arah anaknya yang hanya mencium Haechan dan mengabaikannya.

"No. Kiss Papa." jawabnya sambil memeluk Haechan dengan posesif, wajahnya mengerut kesal kepada pria yang masih mencubiti pipinya. Haechan tertawa melihat pertengkaran Mark dengan anaknya, lalu membawa mereka masuk ke dalam kamar.

Haechan memaksakan diri melepaskan pelukan Mark dari pinggangnya sebelum berlari ke arah kamar mandi.

"Kau baik-baik saja?"

"Aku baik Hyung, tapi tolong ambilkan air hangat dan..." Kalimat Haechan terpotong karena rasa mual yang merayap naik di tenggorokannya, membuatnya kembali memuntahkan isi perutnya.

"Kehamilan Noah seberat ini?" pertanyaan Mark dibarengi dengan uluran sebuah gelas kepada Haechan. Menghela napasnya perlahan, pria itu lalu meminum air hangat dan menikmati pijatan lembut Mark di tengkuknya. Mark membiarkan Haechan berbalik dan memeluknya.

"Sedikit lebih berat." jawabnya dengan suara teredam, sibuk menghirup aroma tubuh Mark di dalam pelukannya, yang entah kenapa mampu mengurangi rasa mualnya. Rasa bersalah merayap naik secara perlahan memenuhi Mark. Seharusnya dirinya lebih peka dengan kondisi kekasihnya, dan bukannya meninggalkannya tanpa alasan yang jelas.

Seminggu berikutnya dihabiskan Haechan dengan Mark menempel erat di sisinya, tidak membiarkannya lepas sejengkalpun. Membuatnya bingung harus bersyukur atau mengumpati pria itu. Bahkan ibunya juga sedikit merendahkan suaranya, dan mengurangi intensitas berdebatnya dengan Taeyong, membuatnya sedikit bernapas lega karena pernikahannya berjalan tanpa drama yang berarti.

"Kau tidak boleh pergi lagi dariku, Lee Haechan." Haechan tertawa tanpa suara mendengar suara berat suaminya yang teredam karena sibuk mengecupi tulang selangkanya. Tangannya menahan tubuh Haechan yang menggeliat. "Berjanjilah." paksanya sambil mendongakkan kepalanya, memaksa Haechan menatap langsung ke matanya.

"Baik. Apapun untuk Daddy."

"PAPAAAA. PAPAAAAA." suara ketukan kencang terdengar dari pintu kamar mereka yang sebenarnya tidak dikunci. Mark mendengus kesal, merasa terganggu dengan adanya interupsi dari anak sulungnya.

"Go get your son." Haechan menyuruh Mark yang masih mendumal pelan. Mark mau tidak mau menuruti permintaan Haechan, yang sudah berkacak pinggang, menatapnya garang.

"Baiklah baiklah." Gerutunya sambil tetap berjalan ke pintu kamarnya lalu menggendong anak laki-lakinya masuk ke dalam kamar.

"Hei jagoan." Haechan tertawa ketika anaknya langsung menempel dan tertidur pulas di sampingnya, dengan tangan mungilnya menggenggam erat kaus yang dikenakannya. Mark lalu ikut berbaring di samping Haechan, membuat Noah berada di antara mereka.

"Terima kasih sudah kembali." Mark mengecup pipi Haechan yang semakin bulat sejak kehamilan anak keduanya. Haechan menggumam tidak jelas sebagai jawabannya, membuat Mark semakin bersemangat untuk menciumi seluruh wajahnya. "Terima kasih masih mau bertahan. Denganku."

"Kau juga." Balas Haechan yang membuat Mark menatapnya bingung. Pria itu menangkup kedua pipi pria di hadapannya, mencoba meluruskan alisnya yang mengerut hingga hampir saling menempel. "Kau juga harus bertahan denganku yang menyebalkan dan kekanakan. Kau tidak boleh menyerah denganku apapun yang terjadi."

"Tentu saja."

"Sebagai percobaan pertama, kau harus memijat pinggangku yang mulai terasa pegal." Mark tertawa renyah mendengar persyaratan yang diajukan oleh Haechan, yang langsung memposisikan dirinya membelakangi Mark, menanti pria itu memijati punggung hingga pinggangnya.

"Mudah sekali." Balasnya sambil menempatkan tangannya di pinggang sang suami, memijatnya perlahan hingga pria itu tertidur pulas. Mark tersenyum puas ketika akhirnya Haechan tertidur dengan mudahnya dan menyelipkan satu ciuman di dahi pria itu sebelum ikut menyusulnya ke alam mimpi.

Aku mencintaimu. Terima kasih.

***

END

StillTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang