12.

6.2K 739 20
                                    

Mark mengerjapkan matanya perlahan saat merasa sinar matahari mengganggu tidur nyenyaknya. Tangannya lalu bergerak untuk menguceknya, demi mendapatkan pandangan yang lebih jelas.

"Kau tidak berniat bangun?" Tanya sosok di depan Mark yang menggendong bayi, dengan nada tajam. Membuat Mark tergeragap dan buru-buru terduduk di tempat tidur sambil beberapa kali menggumamkan kata maaf. "Mengingat Haechan terbangun dalam kondisi biasa aja, aku tidak akan marah padamu meski kalian tidur sekamar." Lanjutnya sambil menyerahkan Noah pada Mark lalu meninggalkan Mark untuk membantu putra sulungnya memasak. Mark sendiri langsung mengajak Noah di pelukannya untuk beranjak ke kamar mandi.

"Selamat pagi Hyung." Sapa Haechan ke arah Mark yang baru saja selesai mandi bersama putranya. Meninggalkan sejenak perlengkapan makan yang sedang ditatanya, Haechan menghampiri Noah yang berada di gendongan Mark. "Wahh anak Papa sudah bersih dan wangi. Mandi dengan siapa ini?" Goda Haechan sambil menciumi Noah. Mark tertawa melihat tingkah Haechan, yang sudah mendongak menatapnya. "Hyung bahkan mengolesi badan Noah dengan minyak. Boleh juga." Pujinya, memberi isyarat kepada pria itu untuk duduk di tempat yang sudah disediakan dan melalui sarapan mereka dengan tenang. Diisi dengan insiden Noah yang ingin disuapi oleh Mark. Taeil tertawa karena Mark yang terlihat begitu gugup menyuapi putranya, di bawah pandangan tajam Doyoung. Membantu sang calon menantu, Taeil mengusap tangan Doyoung yang berada di bawah meja. Membuatnya mengalihkan perhatiannya dari Mark.

Mark tertawa geli saat melihat Haein, yang terduduk di lantai, terobsesi untuk menguncir rambut Noah, yang memang tergolong panjang dan lembut, membuat Haechan menggerutu dan protes mengingatkan adiknya bahwa keponakannya itu laki-laki. Menggigit bibirnya, Mark menghela nafas perlahan ketika tiba-tiba dirasanya tepukan di bahunya, juga sofa di sebelahnya yang melesak semakin ke dalam.

"Aku tidak tahu apa masalah kalian. Tapi aku mohon, perbaikilah. Anakku itu sedikit keras kepala, asal kau tahu." Ujar pria di sampingnya menasehati. Mark mengganggukkan kepalanya ketika dilihatnya pria itu belum ingin menyelesaikan kalimatnya."Kau tidak akan butuh waktu lama. Lagipula sudah ada Noah? Itu akan mempermudah jalanmu mendekati Haechan kami."

"Eomma... Setuju?" Tanya Mark ragu-ragu. Tidak menyangka ibu dari kekasihnya - atau mantan kekasihnya?- itu begitu mudah memberikan restunya. Bahkan tadi pagi Doyoung masih menampilkan ekspresi tidak bersahabat miliknya.

"Aku tahu rasanya hamil dan melahirkan. Bahkan dengan Taeil Hyung di sisiku, aku kadang masih merasa ingin menyerah. Jadi aku hanya ingin anakku memiliki seseorang yang sanggup menemaninya melewati masa sulit itu. Terutama karena dia juga masih harus menyelesaikan kuliahnya. Juga bekerja untuk menghidupi dirinya." Jelasnya pelan. Matanya menatap ke arah Haechan yang kembali menggerutu karena Haein menciumi Noah hingga menangis dengan keras.

"Eomma, anakmu mengganggu sekali." Adu Haechan kepada ibunya yang hanya memperhatikan interaksi dua anak kecil itu, tidak berniat memisahkan Haein dari Noah. Doyoung lalu menghampiri Noah dan mengusap kepalanya lembut, membuat bayi itu sedikit tenang.

"Jangan galak-galak. Noah takut dengan suaramu." Ujar Doyoung memperingati. Haechan mengerucutkan bibirnya kesal.

"Eomma pikir aku mendapat gen tukang mengomel dari siapa?" Gerutunya pelan, tidak berani ambil resiko Doyoung mendengar kalimatnya.

Mark dan Haechan berpamitan kepada Taeil dan Doyoung 2 jam kemudian. Seusai makan siang, mereka memutuskan untuk pulang ke rumah. Bersiap dengan beberapa camilan, Haechan membiarkan Mark menyetir hingga beberapa saat sebelum memulai pembicaraan di antara mereka.

"Eomma bilang apa pada Hyung?"

"Biasalah." Sahut Mark singkat, membuatnya terkesan enggan menjawab Haechan.

"Kalau Eomma bicara tentangku, kau tidak perlu khawatir. Aku baik-baik saja." Balas Haechan sama singkatnya.

"Haechan-ah, kau tahu? Aku hanya ingin kau sesekali bergantung padaku."

"Hyung... " panggilan dari Haechan langsung dipotong oleh Mark.

"Jangan katakan apapun. Aku tidak mau bertengkar denganmu. Sejujurnya aku tidak tahu apa yang membuatmu membenciku dan susah untuk kembali percaya kepadaku. Tapi aku jelas akan memberikan sebanyak mungkin waktu yang kau butuhkan. Karena dari waktu itu, hingga saat ini, tidak ada yang berubah. Aku masih mencintaimu." Kalimat panjang Mark membuat Haechan bimbang, melihat bagaimana Mark bisa mengerti apa yang akan menjadi kalimat balasannya sehingga dia memilih tidak memperpanjangnya. Dan berakhir dengan sisa perjalanan pulang mereka diisi dengan kecanggungan yang menguar.

"Kau mau mampir?" Mark menaikkan alisnya mendengar pertanyaan Haechan, tidak menyangka Haechan akan menawarinya untuk singgah sejenak setelah pertengkaran dalam diam mereka. Sedikit berdeham untuk menghilangkan kegugupan, Haechan melanjutkan kalimatnya. "Kau pasti lelah setelah menyetir lebih dari 3 jam. Jadi aku bisa membuatkanmu kopi, mungkin. Hanya jika kau mau." sahutnya buru-buru. Mark tersenyum melihat tingkah Haechan yang salah tingkah.

"Kau tahu aku lebih suka tinggal dan menetap, daripada hanya sekedar mampir." Kalimat Mark mengundang tawa gugup Haechan.

"Kau harus berusaha lebih keras. Kita lihat apa Noah bisa menerimamu, aku akan mempertimbangkannya. Eomma dan Appa juga sudah setuju, jadi kurasa akan mudah untuk kembali ke rumah. Katakanlah, kau sedang dalam masa percobaan."

"Accepted. Sekarang boleh aku mendapatkan kopiku?" balas Mark. Keluar dari mobil, Mark lalu mengambil Noah dari gendongan Haechan, serta membawa tas yang diletakkan di kursi belakang. Membiarkan Haechan mendahuluinya masuk ke rumah dan Mark menyusulnya untuk membawa putranya tidur di dalam kamarnya. 

***

*berharap chap ini tidak failed*

StillTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang