19.

5.3K 618 7
                                    

Doyoung menatap tajam ke arah putra sulungnya yang sedang asyik mengunyah  makan malamnya. Seminggu setelah mereka tinggal bersama, Mark dan Haechan memang kembali menginap di rumah Taeil selama akhir minggu. Dengan Mark yang menyampaikan niatnya untuk menikahi Haechan. Mereka berdua memutuskan untuk memberitahu orang tua Haechan terlebih dahulu sebelum memberitahu kedua orang tua Mark.

"Kau hamil?" tanya Doyoung sambil lalu tepat setelah kekasih anaknya mengutarakan maksud kedatangan mereka. Menyembunyikan rasa curiga yang sebenarnya bersarang di pikirannya. Haechan mendengus saat Mark hampir tersedak minumannya. Mencubit kekasihnya karena reaksi berlebihannya, Haechan baru membalas pertanyaan ibunya.

"Memangnya aku harus hamil dulu baru boleh menikah dengan Mark-hyung?" jawab Haechan sambil membereskan piringnya yang sudah kosong. Mendorongnya agak ke tengah meja makan.

"Setelah kemarin kau menolak menikah dengannya, kau pikir Eomma akan begitu saja percaya kau mau menikah dengannya? Lihat, Mark bahkan terlihat gugup dan tidak berani memandang ke arahku." Tunjuknya ke arah Mark yang tersenyum canggung, tangannya menggaruk tengkuknya yang tidak gatal.

"Memangnya ada yang tidak takut padamu jika kau sudah mengomel begitu?" Tegur Taeil tenang, menengahi pertengkaran istri dan putra sulungnya. Doyoung lalu mendelik tidak suka ke arah suaminya. "Kapan kalian berencana menikah?"

"Aku berencana untuk menikahi Haechan bulan depan Appa." Taeil menaikkan alisnya, sedikit terkejut dengan jawaban yang tidak disangkanya. Meski sebelumnya dirinya memang menginginkan Haechan menikah, tapi tidak di waktu yang sesingkat ini. Pantas saja Doyoung berpikir macam-macam. Taeil juga sempat memperhatikan perubahan mood dan tubuh putra sulungnya yang semakin berisi meski dirinya tidak sefrontal istrinya dalam mengutarakan pendapatnya.

"Kenapa buru-buru sekali?" Lanjutnya sebelum Doyoung mengeluarkan kalimatnya. Melirik sekilas ke sampingnya, Taeil bisa melihat jika pria di sebelahnya itu juga sama terkejutnya.

"Eh... " Mark menolehkan kepalanya, meminta bantuan kepada kekasihnya yang mengedikkan bahunya tak acuh. Pria itu justru sibuk membantu Ha Neul menyuapi Noah. Si bayi memang sedang ingin menempel kepada gadis yang baru saja memasuki sekolah menengah itu. Membuatnya seharian hanya mau digendong oleh adik bungsu Haechan.

"Kau sudah membicarakannya dengan orang tuamu?"

"Belum secara rinci. Tapi Mom sudah meminta kami menikah. Bahkan sebenarnya Mom ingin kami menikah minggu depan, tapi aku ingin kami benar-benar mempersiapkan segalanya dengan matang. Juga meminta restu Appa dan Eomma terlebih dahulu." jelasnya panjang. Mencoba mengambil hati calon mertuanya, meski dirinya tahu bahwa kedua orang tua Haechan sudah cukup lunak dalam menghadapinya, Mark tetap merasa gugup setiap kali ditatap tajam oleh ibu Haechan. Beruntung ayah Haechan cukup kooperatif dalam mengajukan pertanyaan, sehingga membuat rasa gugupnya berkurang.

"Kau sudah yakin mau menghabiskan seumur hidupmu dengan anakku yang menyebalkan itu?" Doyoung mengedikkan dagunya ke arah anaknya yang ganti mendelik tajam ke arahnya, menghentikan kegiatannya menyuapi bayinya, yang memang baru saja menghabiskan makanannya.

"Intinya Eomma dan Appa akan merestui kami berdua atau tidak?" sahutnya, menghela napas, lelah berdebat dengan sang ibu. Doyoung mencebikkan bibirnya, membiarkan suaminya menjawab pertanyaan anak mereka.

"Kami akan menyetujui apapun keputusanmu, Chan. Selama kau bahagia." jawab Taeil lagi. Dirinya lalu ikut sibuk membantu istrinya membereskan meja makan. Lalu menyuruh putri bungsunya yang masih menggendong Noah untuk beranjak ke ruang tengah. Haechan berinisiatif untuk ikut membanti ayah dan ibunya, tetapi langsung ditolak sang ayah yang juga menyuruhnya menemani Haneul dan Mark.

"Noah. Ikut Papa?" tawar Haechan ke arah bayi yang masih sibuk bermain dengan Ha Neul. Haechan sendiri merasa kasihan karena adik bungsunya itu sudah ditempeli seharian sejak pulang sekolah sehingga dirinya ingin menggendong Noah menggantikan gadis itu. Menjawab dengan gelengan, Noah kembali sibuk bermain dengan Ha Neul. Haechan lalu menyandarkan tubuhnya ke arah sang kekasih yang duduk di sampingnya, menyelonjorkan kakinya untuk mendapatkan posisi nyamannya. Juga menarik tangan pria yang lebih tua darinya itu untuk merangkul pinggangnya yang sedikit pegal. Mengerti isyarat yang diberikan Haechan, Mark lalu memijat perlahan pinggang kekasihnya itu.

"Kasihan bayimu kalau kau duduk di bawah seperti itu. Kenapa tidak duduk di sofa sih?" omel Doyoung saat melihat anak dan calon menantunya memilih duduk di bawah. Tangannya mengulurkan sebuah mangkuk kecil berisi puding kepada Haechan yang menerimanya dengan sukacita.

"Tidak apa-apa. Karpetnya cukup tebal kok." Mark menatap horor Doyoung yang kembali mendelik kepada Haechan.

"KAU BENAR-BENAR HAMIL?"

"Ini resep baru ya?" tanya Haechan ke arah Taeil yang baru saja bergabung. Taeil mengangguk singkat. Haechan memang terbiasa mencicipi resep baru ayahnya sebelum dijual di restorannya.

"Jawab dulu." sergahnya gemas karena Haechan yang tidak kunjung menjawab pertanyaannya. Ha Neul menengok ke arah kakaknya yang masih sibuk menghabiskan pudingnya. Tertawa, gadis itu lalu menciumi pipi keponakannya.

"Wahh kau akan mempunyai adik." serunya riang, disambut pandangan bingung Noah.

"Iya. Eomma berisik sekali sih." sungutnya kesal karena sang ibu tidak berhenti merecokinya. "Tenang saja, Eomma paling hanya akan menambahkan bubuk cabai ke makananmu besok pagi." ucapnya mencoba menenangkan kekasihnya yang justru semakin panik. Terkekeh, Haechan lalu beralih ke arah ayahnya yang masih menatapnya, menunggui komentarnya seperti biasa. "Bukannya ini agak terlalu manis? Tumben sekali Appa membuat dessert semanis ini?"

"Astaga." Doyoung hanya mampu merespon singkat kalimat Haechan.

"Appa sudah setuju kok." protes Haechan saat dilihatnya sang ibu akan kembali berkata-kata.

"Kau ini." cubitnya gemas ke arah pipi bulat putranya. "Awas saja kau kabur lagi dari pria itu."

"Ehehehe sayang Eomma." sahut Haechan, ganti memeluk ibunya yang ikut duduk di sampingnya, tidak protes sedikitpun meskipun pipinya berakhir menjadi korban. Mark menghela napas lega ketika obrolan mereka berubah menjadi santai, dilengkapi dengan wejangan dari Doyoung seputar kehamilan Haechan, karena kehamilan pertama Haechan, Mark tidak ikut mendampingi. Dan obrolan Haechan yang justru membahas resep baru dengan ayahnya.

***

StillTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang