22.

238 15 0
                                    

“Kita pulang?”

Azura mengangguk, Adith membawa Azura keluar toilet, entah sudah berapa lama mereka berdua di toilet. Sekolah sudah tidak lagi ramai kemungkinan besar pelajaran sudah selesai dan mereka semua tentunya memilih pulang.

Di balik dinding seorang cowok menatap bingung Adith dan Azura yang keluar bersama. Cowok itu terus memperhatikan setiap gerak gerik mereka, bahkan sampai parkiran sekolah.

“Sejak kapan Adith kenal Azura?” ujarnya pelan, cowok itu terkekeh.

“Azura Azura.. kayaknya lo salah cari orang buat dijadiin sandaran dan Adith, kenapa lo selalu mencari perangkap tikus yang tersembunyi?” cowok itu tersenyum sinis, memikirkan hal menarik yang dapat dia lakukan kedepannya.

Adith mengambil jaket cokelatnya, menyelimuti tubuh Azura kedinginan, mengusap pelan puncak kepala Azura.

“Lo istirahat aja!”

Azura tidak menjawab, menyandarkan tubuhnya pada jok, perlahan memejamkan mata yang sudah membengkak dengan wajah yang pucat. Adith membawa mobilnya keluar bangunan sekolah.

Adith menunggu Azura membuka password Apartement padahal sebelumnya Azura sudah bilang kalau dia kuat berjalan sendiri, tetap saja bukan Adith namanya kalau tidak batu. Mata Adith mencuri-curi lihat apa yang Azura ketik di sana, hanya emat digit angka dan suara dentingan terdengar.

Yang pertama kali tertangkap oleh penglihatan Adith adalah ruangan sederhana berwarna krim dominan dan juga peralatan sederhana. Adith membawa Azura ke sofa, membantu gadis itu duduk.

“Ara mending lo ganti baju deh, entar lo masuk angin,” Azura mengangguk.

“Aku ganti baju bentar, kamu di sini aja dulu,” Adith memperhatikan Azura hingga hilang dari penglihatannya.

Adith memperhatikan rak besar berwarna ungu yang memisahkan ruang tamu dan dapur. Banyak benda yang terletak di sana dari pot bunga mainan, boneka-boneka kecil, buku, dan ada satu benda yang lebih menarik perhatian Adith frame foto.

Adith mengambil frame foto itu memperhatikan empat orang yang tersenyum lebar. Hanya satu orang yang Adith kenal pasti dan itu Azura dengan senyuman lebar khasnya. Ada wanita dan pria paruh baya, juga gadis kecil. Adith tersenyum melihat keluarga kecil, kembali meletakan frame foto di tempatnya.

Adith menoleh ke belakang melihat Azura yang keluar dari kamar menuju dapur, kegiatannya membuat suara seperti dentingan kaca beradu. Azura datang dengan gelas kecil, meletakan gelas di atas meja, itu teh.

Adith tersenyum kecil memperhatikan penampilan Azura yang sudah berubah, dia mengenakan celana hitam panjang dan sweater blue dengan rambut yang dilepas lurus hingga pinggangnya.

“Minum Dith,” Adith mengangguk, menyeruput teh panas itu.

“Enak,” Azura tersenyum kecil.

“Gue boleh nanya nggak Ra?” Azura mengangkat kepala. “Kenapa lo nggak pernah pulang ke rumah lo? Lo nggak kangen apa sama keluarga lo?” Azura hanya diam, bingung kenapa Adith tiba-tiba membahas hal seperti ini. “Kalo lo nggak mau jawab...”

“Aku mau jawab kok!” potong Azura, Adith diam menunggu Azura. “Aku ... aku kabur dari rumah...” Adith kaget, tidak pernah terbayang kata-kata itu yang akan keluar, gadis polos yang hanya bisa berkata kasar tanpa berani melawan orang yang membully-nya.

Azura menunduk dengan air mata yang mulai menetes. “Aku nggak kuat, Ara nggak kuat Dith. Terserah! Mau semua orang bilang kalo Ara itu anak yang nggak tahu diuntung, anak kurang ajar! Nggak punya sopan santun atau apalah terserah! Ara nggak mau denger lagi. Ini nggak adil Dith!!” Azura terdiam sejenak.

“Ara tau, Ara itu anak pertama. Tapi bukan berarti Ara nggak butuh kasih sayang ‘kan?! Ara pengen kayak Ami, Ara iri sama Ami. Ara mau disayang sama Amma, Ara mau diperhatiin juga sama Amma, Ara mau Amma perduli sama Ara ... Ara nggak mau dimarahin terus. Ara nggak mau dikasarin. Ara maunya Amma peduli sama Ara kayak Amma peduli sama Ami! Kayak Amma  sayang sama Ami..!! Ara nggak mau Amma peduli sama Ara cuma karena ada pemicu! Tapi ... tapi, Amma malah bilang kalo nggak ada orang yang sayang sama Ara, Dith ...” Azura menangis sekali lagi. 

Adith menarik Azura kepelukannya, mengusap lembut kepala  Azura. “Keluarin aja semuanya. Puas-puasin aja,” Adith bingung, karena dia juga merasakan sakit.

“Amma nggak adil Dith,” keluh Azura.
Adith terus memeluk Azura, biarkan dia menangis, biarkan Azura mengeluarkan keluh kesalnya jika akhirnya ini dapat membuat Azura tenang.

“Ra, dengerin gue ya … nggak ada manusia yang adil di dunia ini, yang adil itu cuma Tuhan dan adil dimata kamu itu bukan berarti adil menurut Tuhan, Ra.”

“Tapi Dith ...” Azura tidak menyelesaikan ucapannya karena kembali sesenggukan.

“Ra, lo masih beruntung, lo punya orang tua yang lengkap, lo punya Papa sama Mama yang bakalan selalu ada buat lo! Kalo lo ngerasa semua ini nggak adil lo tinggal bilang sama mereka, lo bilang kalo ini nggak adil buat lo, tunjukin sama mereka kalo lo itu pantas untuk diberi kasih sayang. Gue tau ini sulit tapi lo nggak bakalan tau kalo nggak dicoba Ra,” ucap Adith panjang.

“Tapi Adith ...”

“Ra, bayangin kalo lo nggak punya orang tua, gimana rasanya? Disetiap tempat lo ngelihat anak-anak yang dimanja dan disayang sama orang tuanya, rapor mereka bakalan dijemput, kalo mereka bandel bakalan dinasehatin, orang tuanya bakalan minta tolong sama anaknya ini itu, dan lo mau bilang sama siapa kalo lo juga mau dimanja dan disayang kayak begitu? Lo cuma bisa ngelihat dan ngerasain iri yang lebih dalam dari yang sekarang Ara.”

Azura melepaskan pelukannya dengan paksa, makin tidak mengerti dengan apa yang dimaksud Adith. “Maksud kamu apa sih Dith? Punya orang tua, nggak punya orang tua gimana sih?? Aku nggak ngerti!” Adith tersenyum kecil mengusap Air mata yang berserakan di pipi Azura. “Apa …” Adith mengangguk, hal itu membuat Azura tertegun.

“Mama aku udah meninggal, dia meninggal setelah ngelahirin aku,” Adith tersenyum miris, “dan Papa, semenjak Mama meninggal dia nggak pernah di rumah, bikin sibuk diri dengan hal yang nggak jelas, kayak rumah itu neraka buat Papa.”

“Adith, aku …”

“Lo nggak perlu minta maaf. Lo nggak salah apa-apa, gue nggak tersinggung dan juga semuanya udah terjadi,” Azura diam menatap mata cowok di depannya, Azura diam, lama dalam keadaan itu rasanya wajah mereka semakin dekat dan dia juga tidak  melakukan apapun selain menatap Adith yang juga menatapnya. Semakin dekat, entah Adith atau Azura yang mendekat, tetapi wajah mereka semakin mendekat dan …

“Adith, masih sakit,” Azura menunjuk pipi bekas tamparan tadi. Adith melirik pipi Azura, benar masih sedikit memerah. Adith tertawa kecil memperlihatkan deretan giginya.

“Sini, biar gue kompresin,”  Melihat Adith yang tertawa seperti itu membuat Azura tersenyum kecil.

__________________

13 September 22

Azura Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang