15 - Ramalan Pakde

164 32 0
                                    


"Mahesa! Damar! Dimas! Dafa! Keluar nak! Ada Pakde Broto nih!"

Suara ibu menggelegar ke seluruh penjuru rumah. Damar yang sedang tiduran bahkan bisa mendengarnya. Cowok pemalas itu langsung terbakar semangatnya, mengingat pakdenya yang satu ini kesayangan keluarga Astaguna.

Begitu Damar turun ke kamar, ternyata ketiga saudaranya sedang bersalaman dengan Pakde Broto.

"Yo yo yo, apa kabs nih Damar?" Sapa Pakde Broto bersemangat. Beliau walau sudah berkeriput, tetapi jiwanya masih anak muda.

"Baik-baik aja, Pakde." Balas Damar kalem seperti biasanya.

"Oleh-oleh mana nih, Pakde? Dafa udah laper banget." Tiba-tiba Dafa berceletuk yang membuat seisi rumah tertawa karena tingkahnya. Kecuali Dimas seperti biasa.

"Babon dasar," hina Dimas yang malah dibalas sentilan oleh ibu mereka.

"Hush, Dimas." Tegur sang ibu. Dimas yang disentil pelan pipinya malah tertawa. "Suka banget godain adeknya."

"Nih Pakde bawain brownis kesukaan Dafa, bawa sale pisang kesukaan Dimas, bawa rambut nenek kesukaan Damar, sama bawa peyek buat Mahesa." Pakde Broto menyodorkan tas tenteng berwarna hijau kepada keponakannya.

"Kenapa Mas dikasih peyek? Kayak nenek-nenek." Seru Dafa bercanda. Cowok itu sibuk mengeluarkan semua barang yang ada di dalam.

"Bawa bumbu pecelnya gak, Pakde?" Tanya Mahesa.

"Wuish bawa dong, Mas." Jawab Pakde dengan logat khas Jawa-nya. "Kamu ponakan terganteng pakde, pasti pakde bawain." Lanjutnya memuji.

Empat bersaudara itu pun menghabiskan waktu berbincang-bincang santai dengan Pakdenya. Mahesa banyak bercerita tentang organisasi yang ia geluti. Kadang Pakde Broto menimpali dengan kisah lucunya semasa SMA. Dimas juga bercerita tentang club dancenya yang sebentar lagi akan mengadakan pentas seni. Sedangkan Dafa dan Damar hanya sebagai pendengar. Apalagi Dafa tidak berkomentar karena asik memakan brownisnya.

"Dafa, makan mulu, cerita-cerita dong gantian," Dimas menepuk bahu Dafa.

Dafa hanya mengangguk kecil dengan mulut yang penuh dengan brownis.

Pakde tiba-tiba bertanya, "eh Daf, katanya kamu lagi pdkt ya sama cewek? Siapa namanya?"

Sontak Dafa tersedak beneran. Setelah berusaha menelan semua makanan di dalam mulutnya, ia meneguk segelas air putih yang disodorkan Damar.

"Kakek banget lo, gitu doang batuk." Sindir Dimas sinis.

"Ga ada tuh, Pakde." Elak Dafa sembari menendang Dimas supaya diam tak berkomentar.

Alih-alih menyuruh Dimas diam, masih saja ada yang bersekongkol dengan Dimas.

"Lah? Wanda apa kabar?" Celetuk Damar polos. Wajahnya menunjukkan ekspresi bingung keheranan.

Dafa melotot lebar begitu Damar menyebutkan nama Wanda. "Ih, siapa juga yang pdkt sama Wanda. Engga pakde, boong Mas Damar." Ucap Dafa berusaha mengelak. Kepalanya menggeleng kuat.

Pakde tersenyum kecil. Sekarang arah kedua mata Pakde beralih ke Damar yang sedang meminta maaf karena membuat Dafa ngambek.

"Damar," panggil Pakde Broto yang langsung membuat Damar menoleh dan bertanya ada apa. "Kamu disukain dua cewek, tapi kamu baru tertarik sama salah satunya, iya nggak?"

Damar seperti tersengat lebah, tawon, bahkan petir. Sebenarnya pekerjaan Pakde Broto apa sih? Sampai-sampai bisa menebak sedetail itu.

"Wawww! Pakde tau darimana? Dafa aja nyari tau susah payah siapa gebetannya Mas Dam!" Timpal Dafa dengan antusias.

Entah ini unsur balas dendam atau apa, Dafa malah bercerita kejadian demi kejadian yang dilalui Damar dengan kedua cewek yang menyukai Damar.

"Daf, aku engga segitunya, ya." Tegur Damar ketika Dafa terlalu berlebihan saat meniru omongan Damar kala itu.

"Ya maaf, hehe." Dafa menyengir tanpa dosa. "Coba sekarang ramal Mas Dimas dong, Pakde!" Pinta Dafa semakin bersemangat.

"Lah kok jadi gue?" Dumel Dimas tak suka. Namun ia diam saja ketika Pakde Broto memperhatikannya. Sepertinya sedang menebak.

"Gimana, Pakde?" Tanya Dafa tak sabaran.

"Masih sama kayak dulu," jawab Pakde jadi tersenyum meledek.

"HIYAAAA! Masih aja tepuk tangan lo!" Ledek Dafa. Cowok itu tertawa keras.

"Bertepuk sebelah tangan, Dafaaa." Koreksi Damar sembari menggelengkan kepala karena heran.

"Heh! Sini lo!" Ancam Dimas.

Dan aksi kejar-kejaran pun dimulai. Dafa dan Dimas berlari, satunya berusaha menangkap, satu lagi selalu menghindar. Mereka berdua bahkan berlari sampai ke lantai dua. Benar-benar masih seperti anak kecil di mata Mahesa.

"Damar," panggil Mahesa.

"Kenapa, Mas?"

"Itu liatin adeknya, takutnya bonyok beneran." Suruh Mahesa.

Damar terkekeh sembari mengangguk, kemudian pemuda ini berjalan menyusul kedua saudaranya yang sedang berperang.

Kini di ruang tamu hanya tinggal Mahesa dan Pakde Broto. Sedangkan ibu ada di dapur, memasak untuk menyambut kedatangan kakaknya itu.

"Mahesa, mau pakde tebak juga nggak?" Tawar Pakde Broto seraya menaik-turunkan kedua alisnya.

Mahesa sempat bergeming. Namun akhirnya ia mengangguk. Penasaran juga apakah pakdenya tahu seperti apa kisah cintanya.

"Kamu tuh, sudah pernah ditolak. Ya kan?" Mahesa mengangguk malu ketika pakdenya bertanya seperti itu. "Nah sekarang kamu lagi memulai misi pdkt, semangat ndok. Jangan putus asa. Ayah kamu sebenernya udah ditolak sama ibu kamu dua kali loh," Ucap Pakde.

"Iyaaa, Pakde." Mahesa tampaknya tahu cerita itu. Bagaimana sang ayah menaklukkan hati es ibu.

Keduanya pun saling diam. Tak tau membahas apa. Tetapi tak lama Pakde Broto berdeham, sehingga mampu mengalihkan perhatian Mahesa.

"Sebenernya pakde cuman mau nitip pesan," lanjut Pakde yang membuat Mahesa memasang wajah bingung. "Kamu jagain terus Dimas."

"Maaf, Pakde, maksudnya apa?" Tanya Mahesa hati-hati.

"Hm, gimana ya," Pakde terdiam sejenak, kemudian melanjutkan ucapannya. "Intinya kamu jagain Dimas, kasih perhatian lebih aja ke dia."

"Iya, Pakde. Pasti." Ucap Mahesa yakin.

Walau sejujurnya Mahesa menjadi khawatir dengan Dimas. Apa ketakutan Mahesa bakal terjadi ke adiknya itu?



1M3D ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang