16 - Pentas Seni

154 30 5
                                    

Sekarang sudah hampir jam sebelas malam. Tetapi Dimas masih terjaga di kamarnya. Padahal esok adalah dimana ia akan tampil di pentas seni yang diselenggarakan oleh sanggarnya. Cowok itu menunggu jawaban chat dari ayah dan ibunya yang ia hubungi sejak jam 7 malam tadi.

Ting!

Buru-buru Dimas menyambar hpnya yang ada di samping tubuhnya. Dilihatnya notif di layar hp. Namun yang ia temukan hanya OA line. Dan ada satu pesan dari seseorang.

Jihan
|Woi dim masih on ga

Jgn ngehubungin gueee|

|Dih emang napa sih

Percuma lo g bkl phm|

|Yauda maap
|Gue cmn mau nyemangatin lo buat bsk
|Gue ga bisa dateng soalnya
|Maaf yaaa
|Semangat Dimdimm!

Y mksh|

Dimas menghela nafas pasrah. Cowok itu menghempaskan dirinya ke kasur. Bahkan temannya saja tidak bisa datang. Dimas sedikit kecewa mengetahui Jihan tak bisa datang. Ia juga tidak terlalu peduli, setidaknya Jihan telah memberi semangat. Tetapi yang membuatnya gelisah sampai sekarang pesan untuk ayahnya belum juga di balas.

"Udah jam segini lagi," keluh Dimas sembari mengacak rambutnya kasar.

Ting!

"Semoga dari ayahhh," lanjut Dimas penuh harap. Cowok itu kembali mengecek notifikasi handphonenya. Begitu melihat nama 'Ayah' dilayar, Dimas refleks duduk dengan mata melebar. Dibukanya pesan dari ayahnya itu.

Ayah
|Pesawat ayah delay dim
|Ibu juga sakit kepala
|Jadi mau nginep sehari dulu disini
|Maafin ayah ibu ya dim

Dimas memejamkan matanya sejenak. Sudah ditebak. Ayah ibunya tak akan datang. Semua hal yang ia lakukan seperti sia-sia. Membuang-buang waktu. Seharusnya Dimas sudah tidur sejak jam 9 tadi. Tetapi ia malah rela menunggu pesan balasan dari ayahnya. Tak seharusnya Dimas berharap lebih kepada kedua orang tuanya yang memang kerap kali sibuk. Dimas tak tau harus berucap apa, yang ia rasakan hanya rasa kecewa. Tangisannya pun pecah disaat itu juga.

Dimas
Gpp yah, smg ibu cepet sembuh|
Ayah doain dimas aja biar lancar|

Ayah
|Iya, tidur ya dim

Setelah mendapat pesan itu, Dimas buru-buru mematikan daya handphonenya. Ia melakukan itu supaya tak mendapatkan pesan apapun dari siapapun. Dimas sudah tak peduli, terserah semua orang mau datang atau tidak.

**

"Pakde mau kemana?" Lontaran pertanyaan itu berasal dari mulut Dafa ketika melihat Pakdenya shubuh-shubuh begini sudah rapih.

Pakde Broto yang sedang memakai jaket jadi menoleh ke Dafa. "Ohiya pakde lupa bilang. Pakde mau pergi nginep di rumah temen lama. Cuman dua hari. Gapapa kan, Daf, ditinggal?" Ucap Pakde Broto diikuti senyum kecil.

"Oh, ya ga-gapapa," balas Dafa jadi gugup. Karena begitu Pakdenya berbicara, kebetulan Dimas keluar dari kamarnya dengan wajah suntuk. Bahkan Dimas melirik tajam saat Pakde mereka bilang ingin pergi dua hari.

"Dim, pakde pergi ya, kamu sukses pentasnya." Pesan Pakde sembari menepuk pundak Dimas yang sedang minum air putih.

Dimas mengangguk. "Berangkatnya sekarang?" Tanya Dimas memastikan.

"Iya nih, pakde juga udah mesen taxi." Balas Pakde Broto yang sibuk memakai sepatu. "Salam ya buat Damar sama Mahesa. Pakde berangkat dulu," lanjut Pakde Broto begitu mendengar suara klakson dari taxi yang dipesan tadi.

1M3D ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang