Seraya memandangi diri lewat cermin aku melebarkan bibir, melihat deretan gigi sendiri yang tadi digelayuti si cabai merah, memalukan. "Kenapa gak sekalian tetelan aja yang nempel di gigi," gumamku.
Lagi pula, Juragan Jingga begitu menyebalkan. Dia memang penolong, perhatian. Namun sungguh, kepribadiannya itu membuat sebuah teka-teki di dalam benak.
Setelah memastikan gigi bersih dari segala macam bekas makanan, lantas aku segera berjalan ke luar kamar, hendak menemui dua adik kesayangan. Betapa rindunya aku pada dua bocah kecil tersebut, mereka memang harta yang paling berharga untuk saat ini, bahkan mungkin selamanya.
Langkahku harus terhenti saat melewati ruang televisi, mematung di sana sekejap sambil memandangi Juragan Jingga yang tengah terbahak-bahak bersama Bintang dan Mentari. Tanpa sadar bibirku ikut tersenyum, entah kenapa rasa haru tiba-tiba saja menyeruak ke dalam sukma. Baru kali ini, aku melihat Bintang dan Mentari sebahagia itu, tawa mereka begitu lepas.
Ya Allah, apa selama ini aku gagal menjadi seorang Kakak? Gagal membahagiakan mereka?
"Kak Reee!" Suara kecil Mentari menggema di ruangan, jantungku hampir copot, gelagatku jadi tak karuan karena tertangkap basah tengah memandangi mereka dari jarak yang lumayan jauh.
Tubuh ini masih mematung saat gadis kecil itu berlari ke arahku, sekarang tangan hangatnya terasa menggengam jemari, membawaku yang pasrah ke lingkaran tawa mereka.
"Kak Re, kami sudah kerjakan PR." Bintang berceloteh, memamerkan buku-bukunya.
"Kak Jingga belikan kami buku cerita," imbuh Mentari, tangan kecilnya mengangkat buku tipis bersampul Timun Mas, legenda yang tak asing di telinga rakyat Indonesia.
"Duduk!" perintah Juragan Jingga yang sedari tadi membisu, menelan tawanya saat menyadari kehadiranku.
Walau ragu aku menurut saja, duduk di atas karpet tebal yang menghampar. Padahal di belakang kami ada sofa yang empuk nan mewah, entah mengapa mereka malah selonjoran di sini.
"Mana kerudungmu?" Aku menoleh mendengar pertanyaan Juragan yang setengah berbisik, kemudian dengan cepat menggeleng.
"Saya simpan, Juragan."
"Kenapa tidak dipakai?"
"Ini 'kan di rumah."
"Kamu tidak melihat ketiga istriku?" Aku bergeming sesaat, mencerna pertanyaannya.
"Ketiga istriku tetap memakai hijabnya walau di dalam rumah. Kalau kamu memakainya di rumah, nanti kamu akan terbiasa memakainya ke mana pun." Ia berkata tanpa menatapku, pandangannya lurus pada dua bocah yang masih sibuk dengan buku-buku baru.
"Tapi di rumah tidak ada siapa-siapa, Juragan, dan lagi pula Juragan sudah menjadi muhrim saya, halal melihat helaian rambut saya."
"Kamu ini sangat keras kepala rupanya. Bagaimana kalau tiba-tiba Pak Wawan masuk ke dalam rumah, dan kamu sedang tidak menggunakan hijab?" Aku menelan ludah, lalu mengembuskan napas berat.
"Baik, Juragan. Tapi, kalau kerudung itu lagi dicuci, saya tidak pakai hijab, dong? Saya 'kan baru punya satu." Aku nyengir, ia malah menyipitkan matanya.
"Besok saya belikan lagi satu ton." Aku menelan ludah lagi. Satu ton? Membayangkannya saja aku tak bisa. Sepertinya Juragan Jingga ini sering sekali membelikan pakaian dan kerudung untuk istri-istrinya. Baik memang, sangat baik. Namun apa yang kukatakan tadi, kepribadiannya itu membuat sebuah teka-teki.
Tak ada lagi percakapan antara aku dan pria bersuara serak basah ini, hanya tawa-tawa kecil yang memenuhi indera pendengaran, Bintang dan Mentari masih asyik bermain bersama buku-buku mereka. Aku melirik Juragan pelan-pelan, pandangannya masih lurus pada kedua bocah itu, ada senyuman tipis di bibirnya, ada sorot kasih di matanya. Aku tersenyum. Sepertinya pria ini menyayangi kedua adikku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Juragan Jingga
RomanceDemi kelangsungan hidup sang adik, Rembulan terpaksa mengemis untuk dinikahi Juragan Jingga, pria terkaya yang sudah mempunyai tiga orang istri.