"Re, ini ponsel paling mahal di tahun ini!" Naya antusias, tangannya tak berhenti membolak-balik benda pemberian Juragan Jingga.
"Nikah sama Juragan gak buat kamu rugi rupanya," lanjutnya lagi. Aku tersenyum tipis sembari memikirkan perkataannya.
Tidak rugi? Ya, untuk saat ini aku memang tak merasakan kerugian atau semacam kesedihan, walau pada awalnya aku sempat berputus asa, namun lama-lama ada secuil bahagia yang menyusup di setiap harinya.
"Dosen terakhir kan gak masuk, gimana kalau kita pergi makan?" Naya mengembalikan ponselku, binar matanya penuh harap.
"Em ... Tapi, aku sudah suruh Juragan jemput barusan." Binar mata Naya meredup, kecewa tampak memenuhi ruang wajahnya.
"Sebentar saja, Re. Selama ini kita belum pernah hangout bareng. Nanti aku traktir, deh! Atau sekalian saja ajak Ahjussimu itu." Aku memutar otak, lantas segera mengangkat ponsel yang katanya mahal ini.
Naya tampak berapi-api ingin mengajakku bermain, kasihan kalau aku terus menolak.
Masih menimang ponsel di tangan, perlahan aku mengetik sesuatu yang akan dilayangkan pada Juragan Jingga. Namun, belum saja rangkaian huruf itu selesai, sebuah pesan masuk tiba-tiba.
[Maaf, hari ini saya tidak bisa jemput. Bisa pulang sendiri, kan?]
Lama aku tertegun, ada rasa sedih dan bahagia berkecamuk dalam dada. Sedihnya, entah mengapa aku merasa tak biasa jika harus pulang sendirian untuk sekarang ini. Bahagianya, aku bisa mengiyakan ajakan Naya tentunya.
"Ayo, Nay. Juragan gak bisa jemput, mungkin kerjaannya belum selesai."
"Beneran, Re? Yah ... Gak ikut dong dia. Tapi kamu minta izin dulu, ya."
"Udah, kok," tuturku, berbohong. Naya menyunggingkan senyum, gadis itu segera berdiri, aku pun demikian. Ia mengapit tanganku dan kami berjalan bersama dengan rasa persahabatan yang baru.
******
Naya membawaku ke pusat perbelanjaan, di sana kami melihat dan mencoba memilih beberapa pakaian, namun sampai detik ini kami belum kunjung meminangnya satu pun.
"Kita bikin malu, ya? Pilih-pilih terus, tapi beli enggak." Naya terkekeh, aku pun sama. Gadis itu lantas mengajakku untuk ke tujuan pertama. Makan.
Sebenarnya menginjakkan kaki ke tempat elite seperti ini, dadaku masih suka berdebar ria. Namun, aku harus tampak biasa agar tak mempermalukan Naya.
"Kamu mau makan apa, Re?" tanyanya seraya membuka lembaran menu yang disodorkan pegawai pria pada kami.
Aku kebingungan melihat gambar dan nama makanan yang tertera di sana. Aku tak pernah mencoba dan belum tahu rasanya, tentu itu semua membuat kepalaku pening.
"Samain aja, Nay."
"Bener?" Aku mengangguk yakin, Naya tersenyum dan memanggil pelayan yang tengah sibuk berjibaku dengan pekerjaan.
"Terima kasih," ujar Naya pada pelayan yang setia mendengar gadis itu memesan makanan.
Setelah makanan yang kami pesan datang, aku tak lantas melahapnya saat itu juga. Tentu, mula-mula aku membaca basmallah seraya menatap hidangan di atas tempat yang unik tersebut.
"Nay, ini ... halal, 'kan? Bukan daging, maaf, babi atau .... "
"Ish, ish, ish. Tentu, Re! Kamu ini, ada-ada saja. Ini daging sapi. Ayo, cepat makan! Rasanya enak." Naya memamerkan senyum, kemudian mengangkat irisan daging dengan sumpit. Gadis itu pandai sekali menggunakan benda tipis tersebut.
Aku kembali menatap daging yang ditaburi potongan bawang bombay, wanginya semerbak. Sebelum melahapnya, aku menarik gelas berisi jus lemon tea, menyeruputnya sampai membuat dahaga luntur seketika.
KAMU SEDANG MEMBACA
Juragan Jingga
RomanceDemi kelangsungan hidup sang adik, Rembulan terpaksa mengemis untuk dinikahi Juragan Jingga, pria terkaya yang sudah mempunyai tiga orang istri.