"Jingga beruntung memilih kamu, Nak," ujarnya seraya terisak, jemarinya terasa hangat mengisi sela-sela jemariku.
"Saya yang beruntung bertemu Juragan Jingga, Bu." Aku mencoba tersenyum di tengah rasa haru dan pilu.
"Bagaimana kalau Ibu saya pertemukan dengan Juragan Jingga sekarang juga? Biasanya, Juragan suka jemput saya setelah selesai kuliah," lanjutku.
Wanita yang sudah berumur namun masih terlihat cantik ini menolehkan pandangannya pada Abu yang sedari tadi setia menemani kami berbicara, seolah ia ingin meminta pendapat putra bungsunya itu.
Abu mengangguk dan tersenyum, mengisyaratkan setuju akan saran dariku. Lantas, wanita itu kembali memalingkan pandangannya padaku. "Tidak apa-apa, Nak Re ... Tidak usah sekarang," cetusnya.
"Kenapa, Bu?" tanyaku setengah bingung.
"Ibu gak mau Jingga syok. Ibu ingin bertemu dengannya pada waktu yang tepat. Selagi Ibu menunggu waktu tersebut, Ibu minta tolong kamu bujuk dia perlahan ya, Nak?" pintanya sembari mengelus sebelah pundakku.
Aku menghela napas, memberikan senyuman lagi padanya. Benar, kalau sekarang Juragan langsung dipertemukan dengan sang ibu yang sudah beberapa tahun tak bertemu, pasti pria bersuara serak basah itu akan amat syok, tak mustahil juga ia akan pergi begitu saja, tak ingin menemui wanita yang sudah melahirkannya ke dunia.
Sekarang, aku baru sadar, luka yang disimpan Juragan Jingga begitu tertutup dengan rapi. Aku kira hanya aku saja manusia yang paling menderita di muka bumi. Rupanya, ada banyak makhluk yang nelangsa dengan nasib yang berbeda.
Hal ini membuat akal sehatku berpikir, kalau harta memang tak menjamin kebahagiaan seseorang.
Percuma di sampingnya banyak harta yang melimpah ruah, kalau separuh hatinya kosong dan lemah. Itu semua semata-mata karena kasih sayang yang hilang.
"Baik, Bu. Saya akan berusaha membantu Ibu."
"Terima kasih, Nak. Terima kasih." Air matanya menitik kembali.
**********
Masih tertegun aku menatap jalanan yang basah karena gerimis air hujan. Bayangan ibu Mala dalam ingatan tercetak dengan jelas, di samping pohon yang kokoh berdiri ia mengintip aku dan Juragan Jingga. Tangis haru dan rindunya pada pria di sampingku ini membuat hati terasa tersayat.
Aku janji, akan membuat ibu Mala melihat sang buah hati dari jarak yang dekat, tidak harus sembunyi seperti itu. Aku janji, akan membuat hati Juragan kembali hangat, sehangat matahari sore berwarna Jingga.
"Ngelamun, Re?" Suara khas itu membangunkan ingatanku yang masih melayang kemana-mana.
"Oh, enggak, Juragan." Rupanya, mobil sudah sampai di depan gerbang rumah, terlihat Pak Wawan yang tergopoh-gopoh membuka gembok besi yang mengelilingi sebagian rumah besar ini.
"Kenapa ngelamun? Mau jalan-jalan, hm?" tukasnya sembari memarkirkan mobil.
"Jalan-jalan bagaimana? Orang mobilnya udah diparkir begini," ujarku asal.
"Jadi, kamu mau jalan-jalan?" tanya Juragan lagi, matanya kini terarah padaku, deru mesin mobil yang belum mati ikut membuat jantungku berpacu. Tatapan itu, entah kenapa sedikit berbeda sekarang.
"A-ah ... Enggak. Siapa bilang?" kilahku seraya membenarkan hijab yang terasa berantakkan.
"Benar? Kalau mau jalan-jalan, aku keluarkan lagi mobilnya."
"Enggak, Juragan. Aku lelah hari ini, ingin istirahat." Aku mencoba menatapnya dan memberikan senyuman dengan cara menampakkan deretan gigi.
Juragan tersenyum, tampak tulus, baru kulihat ia seperti ini. "Kalau mau jalan-jalan, bilang saja, ya?" Tak kusangka Juragan mengelus ubun-ubunku, lebih ke mengacak-acak sebenarnya. Sampai-sampai aku merasa hijabku berantakkan lagi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Juragan Jingga
RomanceDemi kelangsungan hidup sang adik, Rembulan terpaksa mengemis untuk dinikahi Juragan Jingga, pria terkaya yang sudah mempunyai tiga orang istri.