Tuhan tidak menjanjikan suatu kebahagiaan tanpa kesedihan. Namun, jelas semua itu menjadikan hidup manusia penuh dengan warna. Adanya bahagia dan sedih, menghadirkan sesuatu yang lebih menguatkan diri. Ya, cinta.
"Juragan Jingga gak ikut pulang, Re?" tanya umi Erni saat aku tengah berkemas untuk kembali ke rumah sakit.
"Besok atau lusa Juragan pulang, Mi. Doakan saja, ya?"
"Tentu, kami semua tak pernah melewatkan doa untuk orang baik seperti Jingga." Aku tersenyum.
"Rembulan titip adik-adik ya, Mi," ucapku lagi setelah selesai mengikat tali sepatu, umi Erni mengangguk dan melemparkan senyum. Tiba-tiba saja aku merasa rindu pada kedua bocah tersebut, sudah lama kami tak main bersama.
"Kamu pulang cuma mau mandi dang anti pakaian? Sudah makan?"
"Emm, belum. Rembulan mau makan bareng Juragan, tadi umi Arum sudah siapin bekal untuk dibawa ke rumah sakit."
"Hmm, gitu, ya? Umi kok mencium bau-bau cinta yang sudah melekat."
"Ih ... Umi apaan, sih?" Aku berdiri dan menggelitik wanita berdaster batik tersebut, ia terbahak menahan rasa geli.
"Mulai berani ya sama Umi?" Aku hanya tertawa.
"Ah, keburu siang, Mi. Rembulan pamit, ya?"
"Hati-hati ya, Nak. Titip Juragan, jangan sampai dibuat sakit hatinya." Aku menyunggingkan senyum mendengar penuturannya.
"Rembulan juga titip adik-adik ya, Mi. Kami akan segera pulang."
"Iya, umi selalu jaga mereka. Sebentar lagi umi juga mau jemput mereka ke sekolah bareng Pak Wawan."
"Terima kasih banyak, Mi," kataku sembari mengecup pipi kanannya singkat. Kami tersenyum lagi.
*******
Aku celingukan saat melihat keadaan kamar yang ditempati Juragan. Kosong. Ke mana dia pergi? Masa iya dia sudah pulang tanpa memberi kabar terlebih dahulu. Tapi, barang-barangnya masih ada di dalam ruangan, berarti dia memang masih jadi penghuni rumah sakit. Lalu, yang jelas dia ke mana?
Segera aku meletakkan bekal makan yang diberikan umi Arum ke atas meja, lalu berbalik untuk mencari Juragan Jingga. Dia benar-benar membuat kesal, padahal aku rela menahan lapar agar bisa makan berdua dengannya.
"Aduh!" Sontak tanganku memegang kepala yang terasa sakit karena benturan kecil pada pintu yang terbuka.
"Juragan? Dari man—" Kalimatku menggantun kala menyadari pria itu terasa berbeda.
Kerongkonganku tercekat rasanya melihat penampilan Juragan, rupanya dia sudah membuang rambut gondrong yang membuat wajahnya suram. Kini, Juragan berubah menjadi sosok yang terlihat lebih segar, aura positif tampak terpancar dari wajahnya yang rupawan. Matanya yang bulat dengan bola berwarna cokelat seolah menghipnotisku, ditambah tatapannya yang sayu menambah perasaan tak karuan pada hati ini. Ah ... apa benar kata umi Erni, kalau cintaku padanya sudah melekat?
"Ah, k-kamu sudah datang?" tanyanya mengalihkan tatapan.
"Juragan dari mana?" tanyaku sambil berkacak pinggang, berpura-pura galak untuk menyembunyikan debaran.
"I-itu ... em, habis potong rambut." Dia menggaruk rambutnya pelan, masih dengan tatapan ke arah yang lain.
"Potong rambut? Lagi sakit malah potong rambut. Gak boleh, tahu!"
Matanya yang sayu kini sedikit melotot menatapku, kenapa? Apa ada yang salah dengan perkataanku?
"Kamu ini gimana, sih? Katanya kamu gak suka rambutku? Terus, pas udah dibuang masih protes juga?" Aku menelan saliva mendengarnya. Kapan aku menyuruhnya potong rambut? Apa karena candaanku waktu itu?
KAMU SEDANG MEMBACA
Juragan Jingga
RomanceDemi kelangsungan hidup sang adik, Rembulan terpaksa mengemis untuk dinikahi Juragan Jingga, pria terkaya yang sudah mempunyai tiga orang istri.