Pintu kamar Juragan Jingga masih tertutup rapat, seraya menggigit jari telunjuk aku mondar-mandir di depan benda tinggi berwarna cokelat tersebut. Berulang kali juga aku mengetuk pintu dan memanggil namanya, namu hanya keheningan yang kudapat. Sepertinya Juragan Jingga benar-benar marah.
[Tolong dengarkan aku sebentar, Juragan] pintaku dalam sebuah pesan.
"Masih belum keluar juga Juragannya, Re?"
"Ya Allah, Umi Erni." Aku meletakkan telapak tangan di atas dada, "Kaget," lanjutku.
Wajah Umi Erni tampak cemas, aku hanya bisa menghela napas. "Gimana dong, Mi? Gimana kalau Juragan gak mau keluar sampai besok?" tanyaku khawatir.
"Juragan pasti keluar, Re. Mungkin untuk sekarang ini dia masih syok."
"Ah ... Rembulan salah ya, Mi?"
Umi Nenah menggeleng, ia memegang sebelah pundakku sekarang. "Apa yang kamu lakukan sudah benar, Re. Semua persoalan butuh proses untuk selesai, jadi kita semua hanya perlu sabar, demi kebahagiaan Juragan juga ibunya."
"Umi ...." Wanita paruh baya di hadapanku tersenyum, seolah menguatkan.
"Sepertinya aku tidak cocok jadi istri Juragan, aku tak bisa membuat dia bahagia seperti kalian." Aku menunduk, membayangkan segala hal yang telah kuperbuat, segala hal yang menyebabkan Juragan merasa susah.
"Jangan begitu, Re. Di antara kami berempat, hanya kamu yang berani mengambil keputusan juga bertindak seperti ini. Juragan Jingga masih muda, dia juga berhak bahagia, dan kebahagiaannya ada di tangan kamu," ucap umi Nenah, ia mendongakkan wajahku.
"Umi ...." panggilku lagi. Ia malah memelukku, memberi ketenangan dan kehangatan layaknya seorang Ibu. Membagi rasa semangat yang membara untuk melepaskan belenggu pada makhluk Tuhan yang bernama Jingga.
********
"Juragan belum keluar juga, Mi. Dia belum makan dari kemarin," ujar umi Arum dengan wajah panik, tangannya terlihat satu buah piring dan mangkuk yang dilapisi baki.
"Ya Allah, yang benar? Kamu gak lihat dia keluar? Juragan gak kerja?"
"Enggak, Mi. Mobilnya ada di garasi," sahutnya, membuat debaran jantungku semakin tak beraturan.
"Rembulan, kamu makan dulu, Nak. Pasti capek," kata umi Nenah saat melihatku berdiri di ambang pintu dapur.
"Rembulan gak lapar, Mi. Rembulan mau temuin Juragan," kataku sedih sembari berbalik dan melangkah menjauh dari ketiga umi yang tengah berdiskusi. Terdengar suara ketiganya memanggil namaku bergantian, namun aku tetap meneruskan langkah, pikiranku sudah dipenuhi hal yang tidak-tidak.
"Juragan? Juragan, buka pintunya!" pintaku sembari mengetuk benda di hadapan sekeras mungkin, mataku hampir basah karena tak ada sahutan sama sekali dari dalam. Berulang kali aku meminta sampai merasa kepayahan.
Tak berpikir panjang lagi aku segera berbalik, berlari-lari kecil menuruni anak tangga lalu berjalan lurus dengan cepat ke arah pintu utama. "Pak Wawan, bantuin Rembulan!" kataku sembari terisak, tak kuasa menahan tangis.
"Aduh, kunaon, Neng?" tanya pak Wawan tampak cemas, tangannya terlihat sigap menarik topi yang tergeletak di atas meja.
"Tolong dobrakin pintu Juragan, Pak!" pintaku lagi.
"D-dobrakin? Kenapa atuh harus didobrak?"
"Sudah, Pak. Tanyanya nanti saja," kataku masih dengan isak tangis.
"Iya-iya, tapi bagaimana kalau nanti Juragan marah? Bisa-bisa Bapak disuruh ganti pintunya, atuh? Kan gak murah."
"Udah, Pak. Soal itu biar Rembulan yang tanggung jawab. Tugas Bapak cuma dobrak pintu saja," ujarku meyakinkan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Juragan Jingga
RomanceDemi kelangsungan hidup sang adik, Rembulan terpaksa mengemis untuk dinikahi Juragan Jingga, pria terkaya yang sudah mempunyai tiga orang istri.