Aku termangu menikmati semilir angin malam melalui jendela kamar yang terbuka, sesekali kudongakkan kepala, kamar Juragan Jingga tepat berada di atas kamarku. Sedang apa dia sekarang? Setelah melewati malam itu, ia jarang menemuiku lagi kecuali saat mengantar dan menjemput ke kampus.
Dengan pelan kusentuh bibir ini, lukanya sudah sembuh sekarang. Mengingatnya aku jadi tersenyum sendiri, walau kecupannya terkesan dingin dan berlalu begitu saja, namun ... cukup membuat jantung terasa berhenti saat itu juga.
Akhirnya aku memutuskan untuk menghubunginya, kuraih ponsel yang sedari tadi tergeletak di atas nakas. Seraya tak bisa menahan senyum kecil ini, kutekan gambar video di dalam sebuah aplikasi, lalu nada sambung terdengar memanjang.
"Ada apa?" Wajah galaknya bisa kulihat dengan jelas.
"Hehe, Juragan lagi apa?" Dia menggeleng, entah apa artinya.
"Sayang paket internetmu, kenapa dipakai video call dengan orang yang jaraknya bahkan tak sampai satu kilometer, sih?"
"Ah, aku pakai wifi rumah, kok." Aku nyengir.
"Terserah. Ada apa?" tanyanya masih dengan raut wajah yang sama.
"Juragan, kenapa sensi terus, sih? Perasaan yang waktu itu cium duluan 'kan, Juragan. Bukan aku!" ujarku sembari menarik senyuman.
"Kamu ini, beraninya bahas itu, ya?"
"Kenapa? Juragan malu?"
"A-ah ... kenapa harus malu? Kamu saja yang tidak tahu situasi!"
"Situasi yang bagaimana? Juragan ini aneh, ya. Yang harusnya marah itu sini, bukan situ! Disosor tanpa izin tiba-tiba, mirip soang (angsa) tahu!"
Tut!
Aku mematikannya begitu saja, layar ponselku kembali ke wallpaper semula. Dia benar-benar aneh, entah hatinya itu terbuat dari apa? Coba saja kalau ada aplikasi yang menunjukkan cuaca hati seseorang, aku 'kan bisa tahu sedang mendung atau cerah kah hatinya itu.
Brak!
Aku berpaling ke arah pintu seketika sembari memegang dada karena rasa terkejut yang bukan main, kulihat sosok dingin itu sudah berada di sana, kaki jenjangnya bahkan dengan cepat melangkah, tepat ke arahku.
Jantung sebenarnya kembali berdebar, namun dengan cepat kupalingkan muka. "Kamu marah?" Suaranya sangat dekat, pastinya ia sudah berada di sampingku sekarang.
"Maaf, hari-hari ini suasana hatiku agak buruk," lanjutnya, aku masih pura-pura tak peduli.
Suasana kembali hening, kami terpaku dengan perasaan masing-masing. Aku mengembuskan napas di sela semilir angin, bingung harus berkata apa lagi padanya.
"Sebenarnya kita ini apa, sih?" Pertanyaannya berhasil membuatku menoleh.
Rupanya ia tengah berdiri di sampingku, memandang halaman rumah yang dihiasi warna gelap malam, kedua tangannya tampak dimasukkan ke saku celana.
"Suami istri, lah!" jawabku tegas.
"Perasaannya," katanya.
"Entah kenapa masih terasa ambigu," lanjutnya lagi.
"Mungkin perasaan Juragan saja yang begitu. Kalau aku sudah jelas mengutarakannya waktu itu bukan?" Juragan menurunkan tatapannya.
"Dari kapan? Kenapa kamu bisa punya rasa itu pada orang sepertiku."
Ah ... pertanyaan yang menyusahkan. Segera kuubah posisi duduk, membelakangi pemandangan malam demi menatapnya yang masih berdiri tegap.
"Kalau dari kapan, aku tidak tahu jelas. Kalau aku bisa punya perasaan itu pada Juragan, entahlah. Aku seperti tak punya alasan," tuturku begitu lancar.
KAMU SEDANG MEMBACA
Juragan Jingga
RomanceDemi kelangsungan hidup sang adik, Rembulan terpaksa mengemis untuk dinikahi Juragan Jingga, pria terkaya yang sudah mempunyai tiga orang istri.