"Kalau gak mau nyemir sepatu lagi, nikah saja sama saya." Kalimat itu terus terngiang di telingaku, bagaimana tidak? Juragan yang terkenal kaya dan sudah mempunyai tiga istri bicara terang-terangan begitu di depanku.
Huh! Aku merasakan keringat yang mulai meluncur dari dahi, membasahi pelipis hingga menggantung di dagu, kubiarkan ia jatuh sendiri. Tak ada waktu untuk menghapusnya, sepatu kerja milik perempuan cantik yang tengah kusemir lebih penting dari pada mengurusi bulir keringat.
"Bisa cepetan gak? Udah telat, nih!" Aku mendongak, silau mentari pagi dari balik tubuhnya membuatku memicingkan mata, namun sekilas aku bisa melihat jika perempuan cantik itu tengah memasang wajah kesal.
"Iya." Aku menunduk lagi, mencoba sekuat tenaga menyemir sepatunya dengan kecepatan ribuan kilometer perjam. Hiperbola memang bahasaku ini.
"Duh, mana yang satunya belum." Ia menggerutu lagi, aku hanya bisa menghela napas sembari mempercepat gerakan tangan.
Sombong sekali perempuan ini. Ya, aku akui kalau dia memang sangat cantik, namun bukan kah keindahan yang ia miliki hanya lah sebuah titipan? Lagi pula, kalau dilihat-lihat dia hanya pegawai toko biasa, kelebihannya toko itu mempunyai seragam khusus yang membuat pegawai terlihat keren, rambut yang disanggul untuk pegawai perempuan membuat mereka tampil cantik dan menarik.
"Ini." Aku mengelus dada saat ia melemparkan uang lecek bergambar pahlawan Moehamad Hoesni Thamrin, kemudian pergi begitu saja dengan langkah cepat.
Hampir saja aku mengkufuri nikmat Allah karena tingkah lakunya. Sudah jelas padahal, di depan kotak semirku terpampang tulisan lima ribu rupiah. Ah, tak apa lah, ini rezeki pertamaku di pagi hari, menggerutu tiada guna, bersyukur dapat pahala.
Matahari sudah naik begitu tinggi, aku melihat jam di toko klontong milik Pak Budi, masih ada waktu sekitar sepuluh menit. Dengan sisa semangat yang membara langkah ini kembali menyusuri trotoar jalanan, menawarkan sikat hitam untuk sepatu para bangsawan. Goyangan telapak tangan tanda penolakan sudah tak asing, tak membuat hati nyeri, justru semakin menambah rasa semangat di hati.
Sepertinya perempuan sombong tadi memang menjadi pelanggan pertama sekaligus terakhir di pagi hari ini. Sudah sepuluh menit berlalu, aku belum menemukan pelanggan yang lain. Dengan gontai aku melangkah mendekati penjual gorengan yang usianya sudah paruh baya, kalau ada mungkin sepantaran dengan nenekku.
"Berapa, Umi?" Aku menunjuk tempe goreng dan risol.
"Dua rebuan, Neng." Tersenyum aku mendengar jawabannya, segera aku merogoh uang lecek pemberian perempuan tadi. Kemudian aku merogoh saku celana, masih ada sisa uang hasil kemarin.
"Lima ya, Mi," pintaku. Wanita tua itu mengangguk dengan seberkas cahaya di wajahnya.
Aku menghitung uang hingga pas sepuluh ribu, namun akal sehat kembali berpikir saat hendak memberikan uang dua ribu lecek itu padanya, akhirnya aku kembali meraba-raba saku celana, beruntung kudapati satu lembar sepuluh ribu di saku bagian belakang. Air mataku hampir tumpah rasanya, dari mana uang ini berasal? Bahkan aku tak ingat.
Kumasukkan kembali lima lembar dua ribuan ke dalam kotak semir, lalu menggantinya dengan uang sepuluh ribu untuk kuberikan pada nenek penjual gorengan.
"Nuhun, Neng."
"Sami-sami, Bu. Laris ya, gorengannya." Selepas menerima bungkus gorengan aku segera berlari kecil, mengingat kedua adikku yang tengah menunggu dengan perut lapar.
Jarak rumah dengan pasar tempatku mencari nafkah sekitar satu kilometer, anti kakiku ini menaiki angkutan kota kalau hendak pulang atau pergi, sayang jika uang dua ribu harus kugunakan demi perjalanan. Setidaknya aku masih mempunyai kaki yang sehat untuk diajak berlari, dan juga aku hanya perlu lurus menyusuri trotoar, kemudian belok kanan menyusuri gang Ahmad.
KAMU SEDANG MEMBACA
Juragan Jingga
RomantizmDemi kelangsungan hidup sang adik, Rembulan terpaksa mengemis untuk dinikahi Juragan Jingga, pria terkaya yang sudah mempunyai tiga orang istri.