Mencintai Jingga

6.6K 843 75
                                    

"Tanya saja pada Juragan, ya. Saya harus pulang sekarang."

"Nggak!" Aku menarik paksa lengan wanita cantik itu hingga berhasil membuatnya berbalik kembali.

"Saya mohon, Dok. Jelaskan sejelas-jelasnya!" pintaku setengah menangis, entah kenapa aku merasa tertekan dengan teka-teki yang belum bisa terpecahkan.

"Sudah, ya, Re ... Dokter Marissa mau pulang, bicaranya lain kali saja," kata umi Arum lembut, aku hanya bisa menatap dalam wanita yang pembawaannya kalem itu, lalu melepaskan tangannya perlahan.

"Hidup yang aneh," kataku pelan.

"Kalau begitu saya pamit dulu, Mi." Bu Marissa menganggukkan kepalanya sopan untuk ketiga istri Juragan, "Re," sambungnya seraya mengelus lengan atasku. Lantas, ia berlalu segera, membawa dirinya pergi dari hadapan kami semua.

"Ah ...." desahku merasa depresi, kurasakan lagi sentuhan halus umi Arum, diikuti dengan elusan yang sama dari umi Erni juga umi Nenah.

"Umi ... Juragan kenapa?" Suaraku terdengar parau. Ketiganya saling melempar pandangan tatkala mendengar pertanyaan dariku.

"Kita masak dulu saja, ya? Sebentar lagi Juragan bangun, kasihan, dia pasti lapar."

"Kalian tahu sesuatu, 'kan? Hanya aku yang tidak tahu?" cercaku tanpa peduli dengan ajakan umi Erni barusan.

Ketiganya saling melempar pandangan lagi, membuatku semakin curiga. Membuat hatiku semakin tak karuan. "Kalau begitu, biar saya tanya sendiri pada Juragan!"

"Jangan, Re!" cegah umi Nenah, cengkeramannya kuat menahan diri ini untuk melangkah.

Dadaku memburu, air mataku meluncur cepat ke permukaan pipi, sesak. Entah kenapa hatiku serapuh ini sekarang. "Baik, kalau gitu ikut kami ke dapur, ya."

Aku menatap umi Erni, ia kembali mengusap pundakku lembut diiringi dengan senyuman yang tulus kurasa.

******

Aku tak bisa apa-apa selain menghadapkan pandangan ke arah yang lurus, denyut di segala tubuhku seolah melemah, kekuatan dalam diri seperti punah.

Juragan Jingga yang murah hatinya, yang tulus memberi, yang mewah hidupnya tak kusangka tengah bertahan dalam kegetiran, kepahitan dan tentu kesakitan.

"Sepertinya penyakit seperti itu bisa disembuhkan, Um? Berbeda dengan HIV." Aku mulai membuka suara walau masih terasa sesak.

Ketiga umi saling pandang lagi, lalu menggeleng. "Kami tidak tahu menahu soal penyakit, Re. Kami hanya bertugas sebagai istri dari Juragan."

Begitu tulusnya ketiga wanita ini mengabdi pada juragan Jingga. Walau selama pernikahan, tak pernah diberikan nafkah batin. Sekarang, aku jadi tahu, alasan segala peraturan yang juragan Jingga buat di rumah ini.

"Kenapa Rembulan gak dikasih tahu sebelumnya, Mi?" tanyaku, membuat umi Erni menghela napasnya.

"Itu permintaan Juragan, Re. Mungkin, karena kamu masih muda, bisa saja suatu waktu meminta cerai pada juragan, lalu membocorkan penyakit Juragan pada orang-orang kalau sudah berpisah nanti."

"Iya, berbeda dengan kami yang sudah tua. Ditampung di sini saja sudah sangat bersyukur," sahut umi Arum seraya menyeka air matanya.

"Tapi, Umi lihat kamu bukan tipe orang seperti itu, Re. Semoga kamu bisa menyayangi Juragan apa adanya." Aku menangis mendengar ucapan umi Erni.

Juragan JinggaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang