Secerah Jingga

6.9K 797 69
                                    

"Lagi apa, Re?" Aku mendongak mendengar suara yang tak asing. Segera kukembalikan ponsel ke layar utama kala melihat wajah Abu sudah terpampang nyata.

"Nggak lagi ngapa-ngapain kok." Aku memamerkan senyum, sebisa mungkin berekspresi seperti biasa, tak menunjukkan bagaimana sebenarnya isi hati yang tengah pilu ini.

"Re, aku boleh tanya sesuatu?" Abu memandang sekeliling, aku memandangnya heran.

"Kenapa, Bu?"

Abu tak langsung menyahuti, ia memandangku lekat, membuat diri ini bingung dan spontan memundurkan badan. "Kamu ... kenal Juragan Jingga dari mana?" tanyanya dengan tatapan yang masih sama.

Aku mengembuskan napas lega saat mendengar pertanyaannya, kukira Abu akan menginterogasi mengenai perasaanku. Dasar, Rembulan!

"Kenapa kamu tanya begitu?"

"Aku hanya ingin tahu, Re."

"Untuk apa kamu tahu?"

Abu tampak menggaruk kepala bagian belakang, "Karena aku ... su ... em, maksudku, karena aku sahabatmu." Abu tersenyum, namun senyumannya terlihat aneh.

Aku menghela napas, lalu membenarkan posisi duduk agar lebih nyaman.

"Bukannya aku sudah pernah cerita? Waktu di kantin itu."

"Iya, tetap saja ada hal yang aneh menurutku. Kenapa pria itu tiba-tiba mengajakmu menikah?"

"Aku sudah menceritakannya dengan jelas, bukan? Juragan Jingga itu menikahiku karena dia merasa kasihan, wanita seusia diriku sudah harus menyemir sepatu, bekerja banting tulang demi kedua adik juga pendidikanku."

Abu bergeming, ia masih menancapkan tatapannya padaku. Entah kenapa, tiba-tiba tak ada rasa yang membuatku grogi kala dia menatapku seperti itu. Bahkan, kini berubah menjadi sedikit lebih risi.

"Lagi pula, Juragan Jingga bukan hanya menikahiku saja. Dia menikahi ketiga wanita yang lain, yang hidupnya sama susah denganku." Sengaja aku melanjutkan perkataan, agar suasana tak semakin aneh.

"Juragan Jingga benar-benar kaya," lanjutku lagi.

"Ya ... aku tahu," jawabnya pelan.

"Apa?"

"Ah, tidak. Tapi, kamu tidak cinta 'kan sama Juragan Jingga itu?" tanyanya lagi dengan mata membulat, binar tatapannya terlihat berbeda, pupil matanya membesar. Aku tak mengerti kenapa dia bertanya demikian.

Semestinya, Abu mengerti. Walau aku menikah tanpa landasan cinta, namun tetap saja aku seorang istri sekarang, sudah sepantasnya aku menghormati Juragan, menanamkan rasa itu walau mungkin agak sulit.

"Aku, sedang belajar," sahutku. Tiba-tiba Abu memundurkan tubuhnya, aku sadar akan hal itu. bahkan sorot matanya yang berbinar tampak layu. Kenapa?

"Oh, seperti itu." Abu tersenyum, lebih seperti terpaksa.

"Kalau begitu, aku ke luar dulu, ya? Mau beli makan." Abu beranjak begitu saja, tanpa menawariku sebuah ajakan atau apa.

"Abu!" Entah kenapa mulutku tiba-tiba memanggil namanya, dan ia menoleh sekarang. Sial, aku jadi bingung sendiri, pasti Abu merasa aneh melihatku terdiam lama menatapnya seperti ini.

"Titip makan ...." Kataku mengalir begitu saja, Abu tersenyum, mengangguk dan kembali berlalu.

Ah, Rembulan! Kamu memang jagonya mempermalukan diri sendiri.

Juragan JinggaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang