Hadiah dari Juragan

7.7K 747 86
                                    

Entah kenapa aku tak bisa tidur dengan tenang malam ini. Melirik jam mewah yang menempel di dinding, jarumnya sudah menunjukkan pukul sebelas lebih dua puluh menit. Biasanya, jam sembilan aku sudah membuat pulau di bantal empuk ini.

Gara-gara percakapan yang tak beres tadi siang, aku jadi terus memikirkannya. Bagaimana kalau Juragan Jingga datang secara sembunyi-sembunyi, dan ... Ah! Sungguh, aku tak bisa membayangkannya.

Dari pada terjadi hal yang tidak-tidak, buru-buru aku melompat dari ranjang, hendak mengunci pintu agar Juragan Jingga tidak bisa masuk.

"Kenapa gak dari tadi saja aku kunci pintu," gumamku merasa bodoh sendiri.

"Eh?" tiba-tiba pintu terdorong, membuat tubuhku ikut mundur seiring terbukanya benda tersebut.

Jantungku yang sudah kembali berdetak dengan normal otomatis berpacu dengan cepat sekarang, di depanku berdiri sosok manusia bertubuh tinggi, gondrong. Bukan, dia bukan genderwo, melainkan penolongku beberapa waktu lalu. Ya, Juragan Jingga.

"Ju-Juragan? Juragan ngapain ke sini?" tanyaku terbata.

"Lha? Bukannya kamu sendiri yang minta jatah?" katanya seraya berlalu, melewatiku yang mematung tak percaya.

Pria itu dengan santainya melenggang, mendekati ranjang dan lantas duduk di atasnya.

"Mati aku!" gumamku lagi sambil menahan kerisauan yang luar biasa.

"Tunggu apa lagi?" Perkataannya kembali menyentak naluri, dari kejauhan aku memandangnya gugup.

"Tutup pintunya, Rembulan!" titahnya, aku hanya menelan ludah, tak berani menuruti kemauannya.

"Juragan, emm ... Begini, jadi, tadi itu ... Aduh! Gimana ngomongnya, ya?" Hampir saja aku menggigit jari, menguliti kuku dengan gigi sendiri.

"Kenapa? Tadi itu kamu gak benar-benar dengan perkataanmu?" Aku menoleh, takut dan bingung berbaur jadi satu. Dengan lemah aku mengangguk, "Maaf, Juragan," kataku masih dari kejauhan.

Walau jarak kami tak begitu dekat, namun desahan napasnya bisa kudengar. Diam-diam aku melihat dia bangkit dan kembali melangkah ke tempat di mana kakiku berpijak.

"Saya juga sama. Saya tidak benar-benar ingin memberimu jatah. Siapa pula yang ingin menyentuh manusia macam sepertimu?" Sontak aku mendongak dengan cepat, apa maksud dari perkataannya barusan?

"Manusia macam saya? Memangnya saya manusia macam apa?" Keningku terasa berkerut.

"Ya, manusia yang bisanya cuma bisa menantang orang lain tanpa mengetahui ketakutannya sendiri. Manusia yang bisanya cuma meminta dan menyusahkan orang lain!" Sorot matanya tajam, begitu pun dengan perkataannya barusan, aku sampai dibuat tak percaya. Lalu, dengan enaknya dia pergi setelah menikam perasaan lawan bicaranya dengan kalimat yang amat tajam.

Aku salah menilai rupanya.

*****

Seperti biasa, setelah selesai mengantar Bintang dan Mentari, membereskan rumah, bahkan membantu Pak Wawan membersihkan pos satpamnya, aku segera berangkat ke kampus.

Namun, ada yang berbeda di hari ini, aku sengaja lebih dulu berangkat ke kampus sebelum Juragan Jingga menyempatkan waktu kerjanya untuk menjemput dan mengantarku kuliah.

Gara-gara perkataannya semalam, aku jadi malas menemuinya, malas melihat wajahnya yang dingin nan aneh itu. Bahkan, tadi pagi saja aku tak ikut sarapan bersama. Benar-benar menyebalkan.

"Ahjussi-mu mana, Re?" Naya celingukan, mendapati diriku berjalan sendiri menuju gerbang.

"Lagi nemenin Dora berpetualang," jawabku sekenanya.

Juragan JinggaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang