(Sebelumnya Ijo mau berterima kasih untuk para pembaca yang setia menunggu Juragan Jingga. Ijo juga mau kasih tahu kalau Juragan jingga udah open PO, ya. Novelnya berisi 25 Bab, jadi yang beli dan baca bisa puas dengan ceritanya. Untuk pemesanan bisa melalui marketer di bawah.)
Sudah lebih dari dua pekan, Juragan Jingga berada di rumah sakit untuk menjalani perawatan. Harapan yang indah mulai muncul, asa-asa mulai kami gantungkan, semoga Tuhan memberi jalan atas kesembuhannya. Agar kami bisa menjalani hidup seperti yang lainnya, tertawa tanpa beban dan kesedihan.“Juragan, tiga hari lagi aku harus berangkat,” ucapku sendu seraya memeluknya.
“Jaga kesehatanmu di sana. Jangan sampai kamu tinggalkan salat juga, ya. Dan yang terpenting, jaga ini ….” Jari telunjuknya mengetuk arah hati. Aku tersenyum.
“Juragan juga, saat aku pulang nanti, Juragan sudah harus sembuh.” Aku mendongak, menatapnya dengan senyuman.
“Pasti.” Ia membelai lembut wajahku, membuat tangan ini kembali memeluknya dengan erat.
Sembari menatap langit yang indah, kami terus berbincang di taman rumah sakit. Sedikit lagi, hidupku akan terasa sempurna. Kebahagiaanku bergantung pada kondisi dan kesehatan Juragan Jingga.
“Sebentar lagi kamu wisuda, dan tentunya aku akan berjuang. Supaya nanti, kita bisa membingkai kebahagiaan dan senyuman dalam sebuah gambar.” Juragan mengelus ubun-ubunku.
“Janji, ya?” Aku mengangkat jari kelingking, ia malah tersenyum dan mengecup keningku lembut. Sepertinya, kecupan tersebut lebih dari sebuah janji, ada kasih yang tulus juga di dalamnya.
“Mulai sekarang, jadilah seperti dia ….” gumamku menunjuk langit sore yang kemerahan.
“Dia yang selalu membuat orang kagum melihatnya, dia yang selalu menjadi alasan untuk tersenyum bagi yang menikmatinya. Jadilah Jingga yang meneduhkan setiap jiwa. Hapus semua luka dan muram durja. Jadilah Jingga yang kucintai sepenuhnya.”
“Kamu pun, jadi lah Rembulan yang cahayanya selalu menjadi petunjuk dalam gelap. Jadi lah Rembulan yang cahayanya tak menyilaukan mata. Selalu jadi Rembulan yang rendah hatinya, Rembulan yang selalu menebarkan kebahagiaan pada sekelilingnya. Rembulan yang selalu dinanti kala gulita menghiasi kehidupan.”
Aku mendongak, menatap matanya yang cokelat dan sayu. Mata itu akan kurindukan untuk beberapa hari ke depan. “Aku akan selalu menjadi Rembulan yang menyinari kehidupan sang Jingga.”
***
“Makan sama apa? Bubur lagi?” tanyaku seraya melihatnya di layar ponsel.
“Aku lagi makan buah. Kamu sudah makan belum?” Juragan tampak tersenyum, mulutnya terlihat penuh dengan makanan, aku jadi gemas sendiri.
“Sudah. Aku tadi karedok, Juragan. Enak banget.”
“Ya … ya … ya. Kamu selalu membuatku merasa ingin segera sembuh, agar bisa melahap semua makanan yang ada di dunia ini,” katanya seolah mencibirku.
“Bagus, kalau Juragan merasa seperti itu. Ingat! Tiga puluh hari lagi aku pulang, Juragan harus sudah sembuh total sebelum aku menginjakkan kaki ke rumah megahmu itu, mengerti?”
“Hah, bawel! Banyak ngaturnya kamu!” Ia berkata sembari terus tersenyum.
“Sudah dulu, ya! Aku ada keperluan. Jangan lupa habiskan buahnya, jangan ngeyel! Kata dokter Ahmad, Juragan sering bandel.”
“Kamu … kenal dokter Ahmad?”
“Loh, kenal. Dan itu harus! Aku mempunyai kewajiban untuk mempercayakan suamiku padanya. Aku punya nomornya, jadi jangan harap Juragan bisa macam-macam di sana!”
KAMU SEDANG MEMBACA
Juragan Jingga
RomanceDemi kelangsungan hidup sang adik, Rembulan terpaksa mengemis untuk dinikahi Juragan Jingga, pria terkaya yang sudah mempunyai tiga orang istri.