Potongan Cabai

7.2K 642 39
                                    

"Jangan-jangan, suami kamu itu homo?" Naya membuatku meliriknya dengan cepat, kalimat terakhirnya sangat tidak enak didengar.

"Gak mungkin kalau homo dia punya banyak istri, Nay." Naya, adalah satu-satunya orang yang mau berteman denganku di kampus. Tampak alis setengah botaknya namun ditutupi ukiran pensil itu hampir bertautan, sepertinya ia tengah berpikir keras sekarang.

"Bisa jadi itu cuma akal-akalan dia untuk nutupin ke semua orang kalau dia itu homo!" kukuhnya.

"Gak mungkin, menurutku gak mungkin, Nay. Sudahlah, aku harus pulang. Pasti adik-adikku sudah menunggu."

"Tunggu, Re! Jadi sekarang kamu gak nyemir sepatu lagi, 'kan?" Aku menggeleng dan mengulum senyum. "Alhamdulillah enggak, Nay." Gadis itu membalas senyumanku, tak lama tangannya mengelus lembut pundak ini.

"Soal sikap Juragan yang membuatmu bingung, yang penting kamu selalu bahagia ya, Re." Aku mengaminkan perkataannya, melambungkan harapan bahagia pada Tuhan.

Sambil berjalan menuju gerbang kami terus saja berceloteh, kali ini Naya tampak antusias menceritakan kisah cintanya dengan Andi, pacarnya sendiri.

"Rembulan!" Kaki kami berhenti bersamaan saat seorang pemuda berdiri di luar gerbang, memanggil namaku dan sekarang berjalan cepat ke arah kami berdua.

Jujur, jantungku berdegup dengan tak karuan, sudah hampir satu minggu aku tak melihat wajah ini, dan sekarang wajah itu benar-benar ada di hadapan. Menyebalkannya, rasa itu masih sama. Kenapa bisa? Padahal aku sudah menjadi istri orang. Ya, seorang istri.

"Apa kabar? Adikmu sudah sehat, Re?" Hampir saja aku menampakkan perasaan ini padanya, namun dengan segenap kekuatan aku menyadarkan hati yang tengah meronta-ronta.

"Ba-baik, alhamdulillah. Iya, adikku sudah sehat," sahutku gugup, menyunggingkan senyum walau terasa amat kaku.

"Syukurlah." Ya Allah, senyumannya itu selalu membuatku buru-buru memalingkan pandangan ke segala arah.

Abu, pemuda ini biasa dipanggil seperti itu. Matanya cokelat, rambutnya sedikit ikal, kulitnya putih kemerahan, kalau senyum dia amat menawan, giginya berbaris rapi, tidak sepertiku yang awut-awutan.

Manusia ini sama halnya dengan Naya, orang yang mau berteman denganku walau tahu statusku ; tukang semir sepatu. Sialnya, sebuah rasa malah membawaku jatuh cinta padanya. Apa memang benar, di dunia ini sepasang pria dan wanita itu tak bisa berteman?

Hatiku bertanya-tanya sebenarnya, apa Abu sudah mengetahui pernikahanku dengan seorang Juragan yang aneh itu? Ah, pasti sudah. Desas-desus seperti itu pastinya cepat merebak hingga sampai ke telinga orang-orang.

Namun, dalam perbincangan ini tak sedikit pun Abu menyinggung hal pernikahan. Tak peduli kah ia dengan diriku? Rasanya sedikit sakit. Setidaknya, aku ingin tahu reaksi dan ekspresinya.

"Abu, tugas yang .... " Naya menggantungkan kalimat dengan tiba-tiba, mulutnya tengah terbuka sempurna sekarang. Aku dan Abu saling bertatapan, kemudian kembali memandang Naya.

"Tugas yang mana?" tanya Abu.

"Re, apa itu Goblin?" Naya masih memandang ke satu arah, membuat kami penasaran hingga mengikuti ke mana sorot matanya itu melihat.

Untuk kedua kalinya jantungku berdebar lebih cepat, ini bukan karena sebuah perasaan cinta, melainkan sesuatu hal yang tak bisa kuungkapkan lewat kata. Juragan Jingga? Benarkah pria yang tengah berjalan dengan latar belakang mobil mewah itu adalah dia?

"Sepertinya tepat waktu." Suara serak basahnya membuyarkan segala pikiranku yang kacau. Namun, aku masih tak habis pikir, mengapa pria ini bisa ke mari?

Juragan JinggaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang