Sudah hampir lima belas menit berlalu aku berdiri di depan gerbang kampus, tak ada tanda-tanda juga akan kedatangan Juragan Jingga. Biasanya, dia akan selalu siap siaga menjemputku.
Mungkinkah dia masih marah atas kejadian kemarin? Aku tak berani menghubunginya, pun dengan dia yang tak juga mengabariku.
Sulit kumengerti, harusnya aku fokus saja pada pendidikan, pada kenikmatan yang sudah Allah berikan. Seperti kata Juragan kemarin, jangan pikirkan dia.
Namun, semakin aku ingin 'tidak memikirkannya', malah alam bawah sadarku semakin 'ingin memikirkannya'. Berpikir tentang bagaimana sih, sipat dia yang sebenarnya? Mengapa dia begitu aneh? Mengapa ada peraturan seperti itu? Mengapa dia punya istri banyak tapi tidak pernah menyentuh keempat istrinya.
Tunggu, mungkin hanya diriku saja yang belum ia sentuh. Aku tidak tahu jelas bagaimana kondisi hubungan Juragan dengan ketiga istrinya.
Atau mungkin, Juragan sengaja tak menyentuhku karena tahu kalau aku belum siap? Juragan tahu kalau aku hanya ingin fokus pada pendidikan dan kedua adikku? Apa Juragan benar-benar tulus membantuku? Kalau begitu, ia terlalu baik untuk menjadi seorang manusia.
Teeet!
"Astagfirullah." Otomatis aku mengucapnya seraya mengelus dada.
Seseorang yang tengah kupikirkan bisa-bisanya muncul begitu, tentu bersama mobil yang ia kendarai.
Aku tak mau menunggu lama, udara terlalu dingin, tak mau kalau tubuh ini harus membeku percuma. "Assalamu'alaikum, Juragan." Aku tersenyum semanis mungkin.
Bukan jawaban yang kudapat, hanya ekspresi bingung Juragan Jingga yang kulihat. Bahkan, ia sedikit memundurkan badan seraya menaikkan sebelah alisnya, "Kesambet apa, kamu?"
Aku meraba-raba tubuh, dari mulai ujung kepala sampai kaki. "Kesambet? Enggak," sahutku, tak lupa menggeleng.
Juragan Jingga mendengkus, lantas kembali fokus pada setir mobilnya. Aku diam, tak membuat onar lagi.
Sepersekian detik tak ada kalimat yang ke luar dari mulut kami, hanya suara gemericik air yang membasahi bumi yang kudengar saat ini. Perlahan, aku membuka kaca mobil, hanya setengah, biar kulit wajahku bisa merasakan kedamaian dari dinginnya udara.
"Nanti airnya masuk, Rembulan! Tutup lagi!" Jelas sekali perintah Juragan Jingga itu, namun aku seperti terhipnotis oleh udara, tak mau peduli dengan kata-katanya. Walau berulang kali pria di sampingku terus mengoceh.
"Juragan, pernah jatuh cinta, gak?" tanyaku tanpa meliriknya, tarian ait hujan terlalu menarik untuk kupandang.
Hening, tak ada jawaban.
Sudah pasti, dia belum merasakannya, aku yakin sekali.
"Konyol."
Aku menoleh sekilas, "Apanya?"
"Kalau punya istri lebih dari satu, ya bukan pernah lagi."
"Cih!" cibirku, lantas kembali berpaling darinya menuju rintikan air.
"Kamu sendiri?"
Tatapanku seolah kosong sekarang, pertanyaan itu bahkan tak sempat aku pikirkan. Oh, kukira Juragan mulai ingin tahu dan tertarik dengan diriku.
"Sudah, lah. Saat ini bahkan saya sedang jatuh cinta." Tak sadar, bibirku tersenyum pada pemandangan yang masih sama.
"Be-benarkah? Dengan siapa?" Juragan bertanya dengan terbata, aku jadi penasaran dan ingin melihatnya lagi.
Kututup kembali kaca mobil lalu berpaling padanya, menatap Juragan lekat, bahkan memajukan tubuh agar bisa memandangnya lebih dalam. Aku bisa lihat Juragan Jingga menahan sesuatu, menahan pandangannya agar tak bertemu dengan mataku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Juragan Jingga
RomanceDemi kelangsungan hidup sang adik, Rembulan terpaksa mengemis untuk dinikahi Juragan Jingga, pria terkaya yang sudah mempunyai tiga orang istri.