Sebuah Aturan

7.4K 702 22
                                    

Rasanya panik bukan main saat kesadaranku sudah mulai penuh, dengan gusar tangan meraba seluruh tubuh lalu menjedanya saat menyadari pakaian masih membalut diri dengan utuh.

Seraya menunduk aku menghitung kancing, meneliti apa ada satu diantaranya yang terbuka? Tidak. Semuanya masih seperti semula. Dengan keraguan tubuh ini masih duduk di atas ranjang yang empuk, dipan yang lebarnya melebihi kamarku di sebuah gubuk.

"Apa Juragan benar-benar belum menyentuhku?" Aku bergumam sendiri sambil memegangi kancing bagian paling atas, kemudian menunduk lagi, mengusik segala keraguan yang terlintas.

Kutengok sekeliling kamar yang megah, tak ada tanda-tanda orang masuk bahkan tidur di sampingku. Posisi bantal dan guling masih seperti semula, bahkan saat tersadar aku bangun dengan posisi yang sama juga.

Setelah pemulihan Mentari dari pasca operasi, tiga hari kemudian Juragan Jingga melangsungkan pernikahan. Ya, denganku. Sebenarnya pria bersuara serak basah itu tak menuntut agar aku menepati janji. Namun, aku tak ingin menjadi gadis yang tak tahu apa itu terima kasih. Seusai Mentari benar-benar pulih, langsung saja aku memintanya untuk menikahiku.

"Kamu yakin? Saya tanya sekali lagi." Itu kalimat terakhir yang keluar dari mulut Juragan Jingga sebelum ijab qobul dilaksanakan.

"Ah .... " Aku mengacak-acak helaian yang lebih pantas disebut rambut singa. Lantas segera menuruni dipan, teringat kedua adikku yang mungkin saja masih terlelap lalu Juragan Jingga memaksa mereka bangun dengan cara menyirami air segalon.

Sambil berlari kecil aku mencari ruangan yang dihuni dua makhluk kesayangan, rumah ini terlalu luas sehingga aku hampir lupa di mana letak kamar itu berada.

"Bintang? Menta .... " Panggilanku berhenti di tengah jalan saat mata ini tak menemukan keberadaan mereka. Yang kudapati hanya ranjang susun bersama alat tidur semrawutan.

Aku tak terbiasa kala bangun tidur tak melihat wajah mereka. Seketika itu pula hati ini penuh dengan kecamuk. Kupastikan aku tak salah kamar, atau jangan-jangan Juragan Jingga tengah menyiksa mereka? Ya Allah.

Gusar tanganku menarik kenop pintu dan menutup benda tinggi itu rapat, lalu kembali berjalan cepat dengan perasaan tak karuan. Sampai akhirnya aku mendengar suara tawa juga sendok yang berdenting, aku menjeda langkah bahkan memundurkannya beberapa sentimeter, menatap sebuah pintu terbuka dari balik guci besar yang berdiri begitu saja di sudut ruangan.

Perlahan aku memutar tubuh, berjalan sesenyap mungkin seraya terus mendengarkan riangnya sebuah tawa di ruangan sana.

"Sudah ya, bercandanya. Sarapan dulu," ujar pria dengan suaranya yang serak basah, tangan kekarnya bahkan mengelus pucuk kepala adikku, Mentari.

"Heh, kamu! Ngapain bengong di sana?" Duh, aku sampai gelagapan karena tertangkap basah mematung memandangi mereka.

"Ka Re!" Kedua adikku memanggil dengan kompaknya, membuat bibir ini tersenyum dengan ragu.

"Ngapain bengong? Hah?"

"Ini, Juragan ... Kamar mandi di mana, ya?" Aku bertanya sambil menggaruk rambut yang masih acak-acakan.

"Di kamarmu juga ada. Kenapa harus cari di luar?" Rasanya ingin sekali menepuk jidat saat mendengar jawaban Juragan Jingga. Pertanyaanku terlalu bodoh untuk dilontarkan.

"Sudah, sarapan dulu!"

"Ayo, Kak Re!" Mentari tampak bahagia dan antusias, aku tersenyum menyadari keceriaannya sudah kembali.

Walau ragu dan merasa malu aku berjalan mendekat, saat itu pula aku melihat ketiga wanita tengah sibuk menyiapkan sarapan. Pasti lah mereka ketiga istri Juragan Jingga.

Juragan JinggaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang