Aran, zero dan Zaky kembali ke markas.
"Kapten..." Dewa menyambut mereka. "Kapten dipanggil Jendral Ali."
Aran mengangguk. Menyerahkan Zaky ke gendongan Dewa.
---
"Jendral..."
"Kau sudah kembali. Duduklah, ada yang ingin aku katakan."
Aran duduk.
"Ada surat dari Presiden. Beliau meminta pasukan kita untuk mengawal selama acara perjamuan antar negara sahabat."
"Bukankah Presiden punya Kopassus sendiri?"
"Yah... Kau benar. Tapi Presiden sendiri yang meminta. Lebih khususnya beliau menyebut namamu. Presiden ingin kau bertanggung jawab dengan keselamatan putri Presiden."
"Baiklah."
---
"Oh, aku tidak sabar bertemu dengan putri presiden yang cantik itu. Huh... Kenapa misi kita tak semenyenangkan ini ya." Zero terus mengoceh ketika mereka sedang bersiap.
"Kalau kau terus mengoceh tak jelas. Kita tinggal." Jaka berkata kesal.
"Iya..."
"Diamlah, kalian membuat kepalaku makin pusing." Dewa, lelaki kutu buku. Bosan melihat dua orang yang terus saja membual.
"Dewa...." panggil Aran.
"Ya, kapten?"
"Kau sudah mengurus keperluan Zaky?" yang Aran maksudkan adalah orang-orang yang akan mengurus anaknya. Serta membujuk Zaky agar mengerti. Kadang Aran iri pada Dewa, karena Zaky lebih mau mendengarkan Dewa daripada dirinya.
Dewa mengangguk. "Untuk masalah pengasuh, jendral Ali mengatakan kalau beliau menemukan satu untuk Zaky."
Aran tidak peduli. Selama Zaky mau dan menyukai pengasuhnya. Bukan masalah.
"Kita berangkat. Jangan permalukan Denjaka."
---
Mereka berdiri tegak. Mengangkat dagunya bangga. Sorot mata selalu waspada. Meski suasana saat ini terbilang santai dengan orang-orang yang saling berbincang dan melempar senyum.
Berdiri tak jauh dari putri presiden. Mengawal sang putri nan anggun.
Beberapa tamu asing melirik sang putri. Mengagumi betapa cantiknya sang putri. Wajahnya teduh, tutur katanya halus, dan tingkahnya sopan.
Sang putri tak mengindahkan tatapan itu. Dia hanya akan tersenyum sopan. Atau bicara seperlunya. Jika orang melihatnya lebih teliti. Maka akan tahu, bahwa sang putri terus melirik ke arah kapten Denjaka.
---
"Kapten Aran...."
"Ada apa Mba?"
"Panggil Kelana, atau Lana saja, mas.... Tugasmu sudah selesai, dan aku tidak mau mendengar panggilan formalmu itu."
Aran terkekeh. Kali ini bahu tegangnya sedikit rileks.
"Maafin Lana, mas.... Karena ngerepotin mas Aran lagi."
"Itu tugas kami, Lana..."
"Iya, Lana tahu. Apa Bapak yang minta mas Aran datang?"
"Ya. Seperti biasa. Bapak Presiden tidak lelah menjodohkan kita?"
"Hehee... Maaf soal itu. Aku memang mencintaimu, mas. Tapi aku tahu kamu tidak."
"Maaf."
Lana menggeleng. "Tidak perlu merasa bersalah. Walaupun kamu tidak pernah menjadi milikku. Aku tidak pernah menyesal mencintaimu."
---
"Heran, cewek secantik mba Lana masih tidak bisa meluluhkan kapten. Ck... Ck..."
"Dilarang nge gosip!" Dewa mengingatkan.
"Heran aku... Heran..." Zero berlalu dengan menggelengkan kepala.
Mereka kembali ke markas.
---
Shin mengusap sayang kepala Lily.
Beberapa waktu lalu. Betapa khawatirnya ia ketika menemukan Lily tergeletak di lantai.
Dua hari mengurung diri di lab. Shin tidak tahu apa yang sedang dilakukan oleh adiknya ini.
Menemukah hasil tes DNA, yang entah milik siapa? Sampai membuat adiknya pingsan.
Haruskah ia menebak?
"Tidak mungkin. Mustahil." Shin mengenyahkan apapun yang sempat terlintas di otaknya.
"Nghh..." Lily akhirnya membuka matanya.
"Syukurlah kau cepat sadar."
Shin membantunya duduk.
Lily membuka mulutnya. Mencoba bicara. Tapi yang keluar hanya suara menyedihkan.
Shin terharu. "Kamu bisa mencobanya perlahan." Shin menyerahkan sebuah buku dan pulpen.
Lily mengambil buku. Kecewa dengan diri sendiri. Ketika ia menemukan keinginan bicara. Tapi tak satupun bisa terucap.
Lily mulai menulis.
"Kak, bantu aku."
Shin ingin menangis. Entah karena akhirnya Lily memanggilnya kakak. Atau karena gadis kecilnya akhirnya kembali?
"Tuhan... Akhirnya kau kembali, adikku" Shin merengkuhnya dalam pelukan. Melihat tulisan itu, Shin menangis, "Tentu saja kakak akan membantumu. Apapun akan kakak berikan."
Lily tersenyum tipis. Pipinya seolah masih kaku.