Semalam setelah selesai salat tahajud, Aaron tidak bisa tidur karena rasa sakitnya. Sampai langit yang tadinya berwarna gelap kini sudah terang. Aaron yang sedang duduk di meja belajar kini bangkit untuk membuka gorden berwarna coklat, kamar yang tadinya gelap kini terang oleh cahaya matahari yang menghangatkan.
Aaron menatap jauh ke luar jendela, menatap burung yang sedang berkicau di atas pohon. Aaron berandai-andai, ia ingin menjadi burung itu. Hidup bebas tanpa ada yang mengatur, terbang ke sana-kemari tanpa ada rasa takut.
Ia tak ingin terus terkurung, walau dalam sangkar emas sekalipun. Ia cukup lelah hidup dibawah tekanan Ayahnya, bahkan semua kegiatan dan masa depannya telah diatur sempurna.
Setelah memastikan Ayahnya tak ada di rumah, ia memutuskan untuk pergi. Ini kesempatan bagus untuknya. Kesempatan agar ia bebas dari sangkar yang memenjarakannya.
Dengan tertatih, ia melangkah pergi meninggalkan kediamanannya. Aaron bernapas lega saat langkahnya kian menjauh. Ia berharap, kali ini kebebasan bisa benar-benar dinikmati.
Tanpa arah tujuan, Aaron terus berjalan setengah berlari menelusuri jalanan kecil, jalan yang tak mungkin dilewati oleh Ayahnya.
Tanpa Aaron sadari ia sudah berjalan sampai ke TPU tempat kakaknya dimakamkan, entah mengapa tempat ini yang menjadi tempat tujuannya.
Aaron melangkahkan kakinya untuk masuk lebih dalam lagi ke tempat itu, tempat di mana Kakaknya bersemayam dalam keabadian.
Aaron langsung bersimpuh di depan pusara kakaknya, Aaric. Tanpa bisa dibendung air mata yang mungkin sudah mulai mengering kini berjatuhan kembali.
"Kak, aku datang. Maafin aku ya, setiap aku lagi sedih pasti larinya kesini," ucap Aaron sambil tertawa layaknya orang kurang waras.
"Aku pengen ikut kakak aja. Percuma, Ayah gak sayang sama aku. Atau kalau tidak begini aja, bagaimana kalau kita bertukar tempat? Kakak yang di sini terus aku yang di sana. Ah, mana bisa sih. Kalau saja waktu itu bukan kakak yang kecelakaan, mungkin Ayah gak akan marah-marah terus, Bunda juga gak bakal kayak gini. Apa emang aku terlahir hanya membuat sial semua orang?" tanya Aaron sambil membaringkan diri di rerumputan sebelah pusara kakaknya.
Aaron menangis dan tertawa dalam waktu yang bersamaan. Ia merasa miris dengan hidupnya, saat ini. Ia ingin menyerah saja, agar tak ada lagi rasa sakit yang ia rasakan.
"Aku lelah, Kak, menjadi tumpuan kebencian dua orang yang sangat aku sayangi. Aku hidup, tetapi mereka justru mengharapkan kematianku. Sakit, Kak. Kenapa bukan aku saja yang kecelakaan dan mati saat itu?" bisik Aaron.
Selama ini, ia masih berusaha kuat. Tetapi, semakin hari sikap Ayahnya membuat benteng pertahanan Aaron runtuh. Ia rapuh, sekarang. Mirisnya lagi tak ada satu pun orang yang menguatkannya, satu-satu alasannya bertahan bahkan telah direnggut oleh takdir.
Aaron hancur, ia tak tahu bagimana cara untuk bangkit dari rasa sakitnya. Lukanya terlalu parah, hingga membuatnya benar-benar tak berdaya.
Aaron mengernyit dalam, ketika rasa nyeri menghantam kepalanya. Ia ingin bangkit tapi tubuhnya sangat lemah, walau sekadar untuk bangkit.
Di tengah rasa sakit yang mendera, ia dikejutkan dengan kedatangan orang-orang yang menariknya paksa. Kedua lengannya digamit dan ditarik kasar oleh dua orang berbadan kekar. Setahunya, mereka adalah orang suruhan Irsyad.
Aaron mencoba melepaskan diri, namun tenaganya kalah kuat. Mereka menarik pemuda itu dengan kasar, tak peduli dengan keadaannya yang lemah.
Dengan langkah terseok, ia mencoba mengimbangi langkah lebar dua orang pengawal setia Ayahnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Vulnere ✔
Teen FictionTerlahir serupa, tidak membuat Aaric dan Aaroon memiliki kemampuan dan sifat yang sama. Aaric dengan segala kesempurnaanya, dan Aaroon dengan segala keterbatasannya. Sang kakak yang penuh pujian, dan Aaroon yang penuh dengan cibiran dan hinanaan, ba...