Ketakutan Aaron

2.9K 308 8
                                    

Sedari tadi Aaron memaksakan matanya untuk terpejam, namun tidak bisa. Dipikirannya hanya kuliah dan Ayahnya, bagaimana kalau Ayahnya tau dia tidak kuliah. Mungkin dia sudah babak belur di tangan Ayahnya. Tidak! Jangan lagi, dia tidak mau terluka di tangan Ayahnya lagi, sudah cukup tubuh dan batin ini rusak oleh ulah Ayahnya sendiri.

Persetan dengan perkataan Dokter Febi tadi, yang harus ia lakukan sekarang hanyalah pergi dari tempat ini lalu ke kampus menyusul keterlambatan ujian yang sudah selesai tiga jam yang lalu.

Semoga Dokter Alvan sedang berbaik hati lalu memberinya waktu untuk mengikuti ujian.

Tanpa menunggu lama lagi, Aaron segera mencabut selang infus yang masih tertancap di lengannya.  Pastinya ia mencabutnya dengan sangat hati-hati, karena tidak ingin memperparah lukanya.

Aaron meringis kala kakinya menapak  permukaan lantai. Mungkin kakinya sedikit terkilir, tapi  semampu mungkin Aaron berjalan dengan tertatih.

Sebelum keluar dari rumah sakit, Aaron mengganti baju pasien dengan baju yang tadi ia pakai lebih dulu.

"Kira-kira gue bakal ketahuan gak ya. Semoga aja enggak," gumam Aaron yang sedikit takut.

Setelah mengganti baju, dan  mengecek tidak ada lagi yang tertinggal, Aaron langsung  mengendap keluar. Dirasa aman, Aaron mempercepat jalannya, meski dengan sedikit pincang.

Aaron menghela napas panjang setelah berhasil keluar dari rumah sakit.  Kebetulan di depan koridor ada Taxi yang baru saja menurunkan penumpangnya.

"Pak, tunggu!" teriak Aaron melambaikan tangan ke arah Taxi.

"Aaron!" teriak seseorang dari belakang, dengan terpincang-pincang Aaron berlari untuk segera menaiki Taxi.

"Arghh!"

Dokter Febi baru saja ingin mengecek keadaan Aaron, namun yang ia dapati hanyalah kamar kosong dengan selang infus yang tergeletak begitu saja dan sebuah amplop berisi uang.  Mungkin sengaja di simpan oleh Aaron. Aaron itu nakal, padahal kondisinya belum membaik.

Benar saja,  Aaron  merasakan tubuhnya tidak enak. Lemas, dan juga sakit  di sekujur tubuh.  Rasanya, mati rasa. Namun, Aaron mencoba untuk kuat. Satu hari ini saja, biarkan ia bertahan sampai  menyelesaikan ujiannya.

"Maaf, apakah kamu tidak apa? Sepertinya kamu sedang menahan sakit? Apa kamu kabur dari rumah sakit?" tanya supir Taxi karena penumpangnya sudah pucat bahkan sangat pucat dengan keringat mengucur deras di dahinya.

"Bapak tidak usah banyak bertanya!" tegas Aaron dengan tatapan tajam.   Membuat supir itu bungkam seketika.
***

Sesampainya di kampus, ia langsung mencari Dokter Alvan.

"Aaron!" Aaron menoleh kebelakang ketika sebuah suara  memanggilnya.

"Lo kemana aja? Ujian udah selesai dari tadi dan lo baru dateng. Lho, ini kenapa tangan lo?" tanya Revan, sahabat Aaron.

"Jadi, gue harus jawab yang mana dulu? Eh. Tapi mending nanti aja gue jawabnya. Gue harus ketemu sama Dokter Alvan dulu,"  ucap Aaron yang membuat Revan jengkel.

"Ngapain? Mau minta belas kasihan biar bisa ikut ujian?" pertanyaan Revan dijawab anggukan oleh Aaron.

Revan berdecih. "Gila lo. Segitu takutnya lo sama bokap sampe minta belas kasihan dari Dokter Alvan. Percuma Ron, hati bokap lo udah beku. Dia gak bakal peduli sama apa yang lo lakuin." Aaron menghela napas panjang.

Revan benar, seharusnya ia tidak perlu repot-repot kabur dari rumah sakit untuk menjemput rasa sakit lagi. Percuma.  Apa yang sudah ia lakukan,  baik ataupun buruk,  tetap  dianggap salah oleh Ayahnya.

"Segitu bencinya Ayah sama gue ya, Van?" gumam Aaron, Revan yang mendengarnya pun iba.

Revan memang sudah tau apa yang terjadi dengan Aaron dan Ayahnya karena Revan sudah bersahabat sedari mereka masih duduk di bangku SMA, Revan mampu menaklukan Aaron yang sangat tertutup.

"Lo harus kuat. Suatu saat nanti lo yang bakal buat Om Arsyad menatap lo sebagai Aaron, bukan Aaric." Revan menepuk bahu Aaron sebagai penguat.

"Nah, tuh Doker Alvan." tunjuk Revan.

"Dokter, tunggu!" teriak Aaron sambil berjalan cepat.

"Lho, Ron. Kok kamu baru keliatan sih?" tanya Dokter Alvan kepada Aaron yang sudah ada di hadapannya.

" Maaf Dok, tadi pas mau ke kampus ada insiden kecil."

"Kamu sakit, Ron? Itu kakimu juga kenapa?" tanya dr. Alvan, setelah mengamati penampilan pemuda itu.

"Saya baik-baik saja, Dok. Saya  ke sini mau minta waktu buat ujian susulan, ujian ini sangat berarti buat hidup saya."  Aaron memohon.

"Baik, tapi biarkan saya memeriksa dan memastikan kondisimu dulu."  Putus dr. Alvan

"Dokter bisa melakukan itu setelah saya selesai mengerjakan ujian.  Sebelum ujian, saya tidak mau," jawab Aaron.

Dokter Alvan mengajak Aaron ke perpustakaan kampus, agar ia bisa mengerjakan ujian dengan tenang. Setelah memberikan soal ujian, ia duduk tak jauh dari meja Aaron. Memastikan pemuda itu mengerjakan lembar ujiannya dengan jujur, juga memantau kondisinya.

Waktu yang diberikan selama satu jam untuk mengerjakan soal itu.

"Waktunya tinggal lima belas menit lagi."  Dokter Alvan mengingatkan.

Aaron masih tampak tenang, walaupun sebenarnya ia mulai kehilangan fokus karena kepalanya yang mulai terasa berat, dan  pandangannya kian mengabur. Padahal masih ada tiga soal yang belum mampu ia selesaikan.

Suara dering ponsel, membuat Dokter Alvan mengalihkan perhatian dan berlalu keluar untuk menjawab panggilan itu. Agar suaranya tidak mengganggu konsentrasi Aaron dalam mengerjakan lembar ujiannya. Di layar ponselnya tertera nama 'Istriku', ia segera menjawab panggilan itu.

"Halo, Assalamu'alaikum."

"Wa'alakumsalam, Mas. Aaron udah sampai kampus, Mas? Dia itu kabur dari rumah sakit, padahal kondisinya masih belum cukup baik." Dokter Febi  cemas.

"Dia sedang mengerjakan ujian, kamu tidak perlu khawatir aku akan mengurusnya. Aku cek dia dulu, assalamu'alaikum."

"Wa'alaikumsalam."

Dokter Alvan segera kembali ke dalam, ia cukup terkejut karena mendapati  Aaron yang terlihat tertidur. Ia menghampiri pemuda itu, lembar ujiannya telah selesai dikerjakan. Namun, ternyata pemuda itu sudah tidak sadarkan diri.

***

Vulnere ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang