Waktu terus beranjak, tanpa terasa satu tahun telah berlalu. Kondisi kejiwaan Flora telah membaik, ia bahkan sudah dinyatakan sembuh dan diizinkan untuk pulang ke rumah.
Semua bermula, ketika Flora melemparkan vas bunga ke arah Aaron setahun yang lalu. Ia terus dihantui oleh perasaan bersalah. Hingga malam itu untuk pertama kalinya, Aaric datang menemui Flora dalam mimpi.
Flora berada di sebuah padang ilalang yang luas, ia terus berjalan menyusuri tempat itu. Tak jauh dari tempatnya berdiri, Aaric tampak duduk membelakanginya. Flora menghampiri dan memeluk putranya dari belakang.
"Bunda sangat merindukanmu, Sayang. Kenapa kamu pergi meninggalkan Bunda? " Flora menangis tergugu.
Aaric berbalik dan tersenyum, senyum yang selama ini wanita itu rindukan.
"Gara-gara Aaron, Bunda harus kehilangan kamu. Bunda benci anak itu," ucap Flora berapi-api.
"Bun, Aaron tidak bersalah. Dia juga putra Bunda, sayangi dia seperti Bunda menyayangiku. Aaron sudah cukup menderita, jika kalian tidak bisa menyayanginya biarlah Aaric mengajaknya ke tempat ini," ucap Aaric.
Flora tersentak kaget, ketika lengannya disentuh oleh Aaron. Ia tersenyum lembut pada putranya. Ia harus berterimakasih pada almarhum Aaric yang telah menyadarkannya lewat mimpi.
"Bunda kenapa? Kelihatannya ada yang sedang dipikirkan," tanya Aaron.
Flora menggeleng dan tersenyum, ia membelai surai hitam putranya.
"Maafkan Bunda, karena telah menyakitimu sedemikian rupa. Bunda terlalu kehilangan kakakmu. Hingga membuat Bunda lupa, jika masih memiliki kamu," ucap Flora menyesal.
Hati Aaron menghangat, mendengar penuturan Flora. Ia bahkan tak pernah berani membayangkan bisa mendapatkan kembali kasih sayang dari wanita yang telah melahirkannya itu.
"Bunda, boleh aku peluk Bunda?" tanya Aaron takut jika Bunda-nya akan melarang.
"Tentu," jawab Flora dengan senyum merekahnya.
Karena sudah mendapatkan izin, Aaron pun memeluk Flora dengan erat, seolah takut kehilangannya. Dibalas oleh Flora, dengan tangannya yang mengelus punggung kokoh Aaron. Sudah sangat lama rasanya
wanita itu melupakan si bungsu, Aaron kecil yang selalu ia gendong kemana-mana kini sudah beranjak dewasa. Kalau saja Aaric masih ada, pasti kebahagiannya lebih lengkap, karena bisa melihat kedua putranya tumbuh dewasa."Bunda, terima kasih telah kembali." ucap Aaron, tak terasa air mata pun jatuh ke pipinya. Ia terharu, baru kali ini ia dapat merasakan pelukan Flora sebagai Aaron bukan sebagai Aaric seperti yang biasa ia lakukan.
"Maaf, karena Bunda batin kamu tersiksa. Hatimu pasti terluka karena Bunda." Flora mengecup pucuk kepala Aaron.
Kini sudah seharusnya ia melupakan Aaric dan fokus kepada Aaron yang lebih membutuhkan dirinya.
Aaron melepaskan pelukannya, "Bunda, aku ingin tidur bersama Bunda, boleh?" tanya Aaron.
Flora terkekeh, saking canggungnya Aaron terhadap Flora sampai apapun ia harus selalu bertanya terlebih dahulu. Apakah semenakutkan itu dirinya di mata Aaron?
"Tentu, sayang." Aaron merebahkan tubuhnya di sebelah Flora. Malam ini Irsyad tak pulang, entah kemana pria itu pergi. Semenjak Flora kembali, Irsyad memang menjadi orang yang jarang sekali pulang.
Flora menatap wajah Aaron yang telah terlelap, wajah yang akan selalu mengingatkannya pada Aaric. Menatap wajah Aaron, membuat rindunya pada si sulung bisa sedikit terobati. Wajah mereka bak pinang dibelah dua, andai ia bukan ibunya bisa dipastikan tidak akan bisa membedakan keduanya.
Jemari Flora menyusuri setiap jengkal wajah Aaron, ia tersenyum sendu mengingat semua perlakuan buruknya selama ini. Andai waktu dapat diputar kembali, ia pasti tak akan menyakiti putranya.
"Aaric, Bunda sudah memenuhi keinginanmu untuk menyayangi Aaron. Semoga kamu bisa tenang dan bahagia di sana, menyaksikan kedekatan Bunda dan adikmu," lirih Flora.
Dikecupnya kening Aaron berulang kali, hingga membuat pemuda itu kembali terjaga dari tidurnya. Namun, ia
berpura-pura tetap tidur, dan memilih mendengarkan setiap ucapan yang terucap dari bibir sang Bunda."Ya Allah, lindungi putraku dengan penjagaan-Mu. Jangan kau ambil ia dari sisiku, aku tak sanggup jika harus kehilangannya juga. Kehilangan satu putraku saja mampu membuatku terpuruk begitu dalam. Apalagi jika harus kehilangan keduanya, mungkin aku tak akan bisa bertahan hidup," ucap Flora.
Aaron membuka netranya yang terpejam, jemarinya mengusap lembut jejak air mata di wajah Flora.
"Aaron bahagia, Bun. Terimakasih sudah menjadi Ibu terbaik untukku. Terimakasih sudah melahirkan dan membesarkanku hingga sekarang, dan maaf karena aku belum bisa membalas semua jasa dan pengorbanan Bunda," ucap Aaron.
Flora menggeleng, air matanya semakin deras mengalir, mendengar ucapan putranya. Bagaimana tidak, selama ini ia sudah menyakiti Aaron. Tetapi, putranya itu justru berterima-kasih dan meminta maaf lebih dulu. Bukankah seharusnya ia yang mengucap maaf?
"Kamu adalah anugerah terbesar dalam hidup Bunda. Seharusnya, Bunda yang meminta maaf, karena gagal sebagai seorang Ibu yang baik untukmu, Bunda justru menjerumuskanmu ke dalam lautan luka dan penderitaan. Maafkan Bunda, Sayang," jawab Flora.
"Tidak, Bun. Bunda adalah Ibu terbaik untukku, semua yang terjadi di masa lalu biarlah berlalu. Aaron sudah cukup bahagia dengan kebersamaan kita sekarang."
Suara pintu yang dibuka kasar membuat Aaron dan Flora menoleh ke arah pintu. Di sana tampak Irsyad dengan penampilan yang kacau.
Flora segera menghampiri, dan meminta tas kerja yang ditenteng oleh suaminya. Tetapi, tangannya justru ditepis dengan kasar. Aroma alkohol dan rokok tercium dari napasnya.
"Yah, kamu kenapa? Sejak kapan kamu suka mabuk dan merokok?" tanya Flora.
"Sejak kamu dirawat di rumah sakit jiwa, dan aku kehilangan putra emasku," jawab Irsyad.
Flora terhenyak tak percaya, ada banyak hal yang terjadi selama ia tak ada di rumah besar itu. Sedangkan, Aaron menghela napas lelah sekarang ia tahu alasan kenapa Ayahnya berubah menjadi kasar.
"Minggir! Aku mau istirahat. Kamu, keluar dan kembali ke kamarmu!" Irsyad menunjuk wajah Aaron.
Aaron menuruti perintah Ayahnya untuk segera ke kamar. Sesampainya di kamar ia langsung meluruhkan tubuhnya yang lelah di pinggir ranjang. Ia menelungkupkan wajahnya di antara kedua lututnya. Sambil memejamkan mata, ia menangis. Begitu banyak beban yang ia pikul sampai tak mampu lagi menjalaninya. Begitu senangnya Tuhan mempermainkan hidupnya.
Untuk apa ia hidup jika tak di hargai sedikit pun. Namun, ia harus bersyukur karen Bunda-nya kini telah kembali. Tak apa Irsyad masih membencinya, yang penting Flora akan selalu ada di sampingnya. Bahkan mungkin akan selalu di belakangnya untuk membantu dirinya ketika terjatuh, memeluknya ketika dunia sangat dingin kepadanya, dan merangkulnya ketika dunia tak berpihak kepadanya lagi.
"Kenapa selalu Aaric, kenapa? Aku benci Aaric, " ucap Aaron yang sedang marah. Marah pada dirinya sendiri yang tak bisa menjadi apa yang orang tuanya inginkan.
"Kenapa dunia begitu kejam? Bawa aku bersamamu, aku tak mau di sini. Aku takut," ucap Aaron lirih. Saking lelahnya ia berbaring di lantai yang dingin sambil terus menangis.
Bersambung...
KAMU SEDANG MEMBACA
Vulnere ✔
JugendliteraturTerlahir serupa, tidak membuat Aaric dan Aaroon memiliki kemampuan dan sifat yang sama. Aaric dengan segala kesempurnaanya, dan Aaroon dengan segala keterbatasannya. Sang kakak yang penuh pujian, dan Aaroon yang penuh dengan cibiran dan hinanaan, ba...