Prolog

7.9K 469 7
                                    

Mentari senja mulai kembali ke peraduan, menyisakan gurat-gurat jingga dibatas cakrawala. Suara deburan ombak, mencipta irama menenangkan bagi jiwa yang hampa. Namun, itu tak berlaku bagi seorang Aaroon. Diantara keramaian manusia yang menantikan malam dengan suka cita, pemuda itu justru memandang kosong ke arah lautan lepas. Ia melangkah perlahan di atas pasir pantai, meninggalkan jejak yang begitu kentara. Seluruh jejak langkahnya sirna, kala ombak menerjang pasir yang tadi ia pijak. Ingin ia berlari dalam gulungan ombak, kemudian menghilang seperti jejak langkahnya.

Suara sumbang orang-orang disekitarnya, membuat pemuda itu membuat benteng kokoh yang tak bisa diruntuhkan. Terutama kedua orang tuanya, cercaan demi cercaan yang ia dengar membuatnya tenggelam dalam lautan luka. Apalagi sejak kematian saudara kembarnya, ia bahkan tak lagi memiliki wewenang untuk memilih jalan hidupnya. Semua telah diatur sempurna oleh Ayahnya. Sang Ibu mengalami depresi, setelah kematian Aaric. Satu kata yang tak bisa ia lupa, kata yang terucap dari bibir sang Bunda setelah pemakaman Aaric.

"Seharusnya kamu yang mati, bukan Aaric. Kamu hanya anak tak berguna, yang tak bisa sempurna seperti Aaric, apalagi untuk dibanggakan," ucap Flora histeris.

Aaroon hanya diam, bibirnya seolah  terkunci. Tak ada air mata yang ia tunjukkan, ia justru tersenyum, senyum yang sangat tulus. Sebelum akhirnya memilih pergi dan berlalu. Walaupun saat pemuda itu berada dalam kamarnya, ia menangis tergugu.

Sebegitu tak berartikah hadirnya, bagi sang Bunda?

Mampukah ia terus bertahan dengan semua beban yang harus ditanggung seorang diri?

Vulnere ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang