Berakhir
Kondisi Aaron telah membaik, setelah mendapatkan transfusi darah. Flora bahkan tak beranjak dari sisi putranya setelah mengetahui kondisi kesehatan si bungsu. Ia membelai surai hitam Aaron dan mengecup wajahnya berkali-kali."Maafkan, Bunda. Seharusnya dari awal tidak menyakitimu sedemikian rupa. Bunda gagal menjadi ibu yang baik untukmu," isak Flora.
Perlahan Aaron membuka matanya, ia mengejap menyesuaikan dengan cahaya yang ada. Didapatinya sang bunda tengah menangis. Ia tersenyum sambil mengusap pelan air mata yang membasahi wajah Flora.
"Bunda, jangan sedih! Air mata, Bunda, terlalu berharga," ucap Aaron.
Flora takjub melihat sikap Aaron yang menurutnya dewasa. Ia mampu memaafkan dirinya, padahal Flora sudah menorehkan luka paling dalam di hati Aaron.
"Bunda, beruntung punya kamu. Jangan pergi tinggalin Bunda, ya?" Flora menggenggam erat tangan Aaron, seakan-akan ia takut kehilangan sosok itu, apabila ia melepasnya sosok itu akan hilang.
Aaron tersenyum menanggapi perkataan Flora, bukannya tak mau menjawab. Kondisinya sangat lemah, untuk sekadar berbicara pun membutuhkan tenaga ekstra.
"Oh, iya. Kamu harus banyak istirahat, supaya cepat pulih dan bisa secepatnya pulang. Nanti, Bunda buatin cup cake kesukaan kamu." Aaron menganggukan kepala sembari tersenyum. Flora tak beranjak dari tempat duduknya, ia masih setia membelai rambut Aaron yang sedikit lepek.
Tak lama Aaron tertidur pulas, terbukti dengan terdengarnya dengkuran halus milik Aaron.
"Sampai kapan pun, Bunda akan selalu di sampingmu." gumam Flora.
Penyesalan selalu datang di akhir, seperti halnya Flora yang menyesal telah membenci Aaron dan menganggapnya sudah mati. Kini, Flora ingin menebus semua kesalahan itu. Dia tidak akan meninggalkan Aaron sendirian di kegelapan malam, dia tidak akan membiarkan putra satu-satunya kedinginan, dan dia tidak akan membiarkan Aaron terluka, apalagi terluka oleh suaminya sendiri.
Tepat pukul tiga sore, Aaron terbangun dari tidurnya. Ia meminta Flora untuk mengantarkan ke taman rumah sakit. Karna dua hari terakhir ia hanya terbaring di ranjang pesakitan tanpa bisa melakukan apa pun. Membuatnya bosan terkurung dalam ruangan serba putih dengan bau khas obat yang menyengat itu.
Sebelum menyetujui permintaan putranya, Flora meminta izin terlebih dahulu pada dokter yang bertanggung jawab atas putranya. Setelah mendapatkan izin, ia mengantar Aaron ke taman dengan pemuda itu yang duduk di kursi roda.
"Bun, kapan Aaron bisa pulang? Aku sudah bosan berada di sini," tanya Aaron.
"Setelah kondisi kamu membaik. Bunda, tidak mau mengambil risiko." Flora membelai surai hitam putranya.
Aaron mengerucutkan bibirnya lucu, membuat Flora tertawa kecil. Wanita itu kembali merasa bersalah atas sikapnya yang keterlaluan.
Percakapan keduanya terhenti, ketika
seorang gadis cantik menghampiri.
Gadis itu adalah Naya. Gadis yang selama dua tahun terakhir sering menghibur Aaron. Terutama, ketika Flora masih dirawat di rumah sakit jiwa. Aaron tampak begitu bahagia dengan kehadirannya, membuat pemuda itu tak henti tersenyum sejak kedatangan Naya.
"Bagaimana keadaanmu? Maaf, karena aku baru datang menjenguk," ucapnya.
"Alhamdulillah. Sudah jauh lebih baik, Nay," jawab Aaron.
"Aku turut bahagia, penantianmu berakhir dengan indah. Kesabaranmu pun berbuah manis." Naya kembali tersenyum.
Flora memilih meninggalkan keduanya untuk bercengkerama. Tapi, ia tetap mengawasi putranya dari kejauhan. Dari tempatnya, ia bisa melihat kebahagiaan yang terpancar di wajah Aaron. Suara tawa yang bahkan ia sendiri lupa, kapan terakhir kali mendengarnya.
"Maafkan, Bunda. Begitu banyak luka yang telah ditorehkan dalam hidupmu. Seharusnya, Bunda, sadar sejak awal." Liquid bening kembali mencipta jejak di wajah Flora.
Wanita itu menoleh, dan mendapati Aaric tengah tersenyum menyaksikan kebersamaan Aaron dan Naya.
"Terima kasih, Bunda. Aaric titip Aaron, jaga dia selayaknya, Bunda, menjagaku. Mulai saat ini biarkan dia memilih jalan hidupnya, dia sudah terlalu menderita karena keegoisan, Bunda."
***
Jika Flora sibuk di rumah sakit, berbeda dengan Irsyad. Pria itu tengah asik makan malam di sebuah restoran mewah dengan seorang gadis cantik. Gadis itu nampak anggun dalam balutan dress selutut berwarna merah jambu. Sedangkan, Irsyad memakai setelan jas hitam tanpa dasi ia terlihat begitu rapi.
"Sayang, maafkan aku atas kejadian kemarin malam. Maaf telah membuat kamu tidak nyaman," ucap Irsyad sambil menggenggam lembut tangan gadis itu.
Gadis itu tersenyum, "Tak apa, mungkin mereka hanya terkejut dengan kehadiranku."
"Ya, aku rasa begitu," ucap Irsyad, ia kecup tangan wanita itu.
"Ehm ... Bagaimana dengan surat perceraianmu? Apakah sudah kamu urus? Aku tidak mau menikah denganmu, jika surat perceraian itu belum keluar dari pengadilan." Gadia itu mengerucutkan bibirnya.
"Tenang, sayang. Aku sudah mendapatkan surat perceraian untuk istriku. Ralat! Mantan istriku," ucap Irsyad sambil memperlihatkan selembar kertas berupa surat perceraian.
"Akhirnya, kita akan segera menikah," ujar gadis itu kegirangan.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Vulnere ✔
Roman pour AdolescentsTerlahir serupa, tidak membuat Aaric dan Aaroon memiliki kemampuan dan sifat yang sama. Aaric dengan segala kesempurnaanya, dan Aaroon dengan segala keterbatasannya. Sang kakak yang penuh pujian, dan Aaroon yang penuh dengan cibiran dan hinanaan, ba...