Kejadian kemarin membuat Aaron berpikir untuk bertemu dengan Flora, Bundanya. Sudah lama rasanya ia tidak menemui Flora. Karena ketika bertemu dengan Flora, hanya akan ada rasa sakit yang ia terima. Setelah kejadian beberapa tahun silam, semuanya berubah. Flora mengalami depresi akibat kematian anak kesayangannya, Aarik.
Kakinya mulai menapaki lantai rumah sakit. Langkahnya tampak ragu melalui koridor yang akan membawanya ke ruangan tempat bundanya terkukung.
Tak lama Aaron sampai di depan pintu berwarna putih gading. Ada ragu dalam hatinya, namun kearaguan itu terhalang oleh kerinduan yang membuncah. Sebulan lamanya, Aaron tidak menemui sang Bunda. Akibat egonya yang ingin di anggap Aaron, bukan Aarik oleh Flora. Aaron menghela napas panjang, lalu membuka kenop pintu.
Tatapannya langsung tertuju pada Flora yang duduk mengarah ke jendela yang terbuka. Di sana Flora terlihat lebih kurus dari sebelumnya. Sontak Aaron berpikir, apakah Bundanya makan dengan benar? Apakah Bundanya tidur dengan nyaman? Rasanya sangat kasihan melihat Flora harus hidup terasingkan seperti ini.
"Bunda," panggil Aaron pelan.
Yang dipanggil pun hanya diam, detik berikutnya Flora menolehkan kepalanya ke arah Aaron.
Netranya tampak berbinar, seolah baru saja menemukan sesuatu yang telah lama hilang.
"Aarik, kamu datang sayang," ucap Flora, lalu bangkit dari duduknya untuk menghampiri Aaron yang justru terpaku. Dipeluknya Aaron dengan erat oleh sang Bunda. Pelukan yang sangat ia rindukan, pelukan Bundanya masih sama seperti dulu, hangat.
"Bunda kangen sama kamu. Kamu ke mana aja sih, kok baru ngunjungin Bunda?" Aaron tersenyum kecut, ingin bertemu Bundanya saja ia harus menjadi Aarik di depan Flora. Aaron yang sedikit nakal harus merubah sikap menjadi baik layaknya Aarik.
"Maaf, Bunda. Akhir-akhir ini aku lagi sibuk latihan buat olimpiade matematika. InsyaAllah bulan depan aku ikut olimpiade, Bun," alibi Aaron di depan Flora. Flora tampak bahagia mendengarnya.
"Kamu memang kebanggaan Bunda. Bunda doakan supaya kamu menang ya, Sayang," ucap Flora sambil membelai rambut tebal Aaron.
"Kamu harus rajin belajar, jadi juara di mata Ayah, Bunda dan semua orang. Buktikan ke semua orang bahwa kamu itu anak Bunda yang hebat. Jangan seperti anak sialan itu, hanya jadi benalu di keluarga kita. Apa yang bisa dibanggakan dari seorang Aaron?!" Flora terlihat marah ketika membicarakan dirinya. Sebegitu bencikah Flora kepadanya? Aaron hanya mampu diam mendengar perkataan Flora yang mengukir luka baru di hatinya.
"Bun, Aaron juga anak Bunda sama Ayah. Kenapa kalian membenci Aaron?" Pertanyaan Aaron membuat Flora menggebrak meja, ia terlihat marah besar.
"Karena dia anak nakal! Dia anak yang ceroboh, selalu membuat kamu terluka! Bunda gak suka Aarik!!" teriak Flora marah.
Sedangkan Aaron terlihat menundukan kepalanya takut."Apa hanya itu alasan Bunda membenci Aaron?" tanya Aaron yang sedari tadi menunduk tidak berani menatap wajah Flora.
"Cukup! Apa kamu ke sini hanya untuk menyinggung anak sialan itu? Bunda gak suka anak itu disebut-sebut. Bunda benci, sangat membenci Aaron!"
Suasana tiba-tiba tidak kondusif, Flora melempar semua barang yang ada di hadapannya ke sembarang arah, dan Flora juga meracau tidak jelas membuat Aaron semakin takut. Suster yang bertugas menjaga Flora pun sampai kewalahan menghadapinya. Para penjaga pun sampai berlari ke ruangan Flora untuk membantu.
Salah satu suster menyuntikan obat bius di lengan Flora, hati Aaron meringis sakit melihat Flora seperti ini. Ini salahnya membuat Bundanya sakit. Kalau saja kejadian itu tidak terjadi, mungkin semuanya akan baik-baik saja.
***
Seperti biasa, setelah menjenguk Flora, Aaron selalu duduk di taman rumah sakit. Tidak ada yang ia lakukan, yang Aaron lakukan hanya merenung dan menangis. Aaron merasa sakit, bukan sakit fisik melainkan batinnya yang sakit. Tidak dianggap ada oleh Ibu yang melahirkannya menjadi pukulan terberat di hidupnya.
Ia ingin menjadi apa yang dirinya inginkan, bukan apa yang orang lain tentukan. Ia ingin dianggap sebagai Aaron bukan sebagai Aarik.
Tepat di belakang Aaron, seorang perawat cantik selalu memperhatikan Aaron setiap ia menjenguk Flora. Perawat cantik itu bernama Naya, ia seorang perawat yang sudah bekerja sekitar setengah tahun di rumah sakit itu. Naya menatap Aaron heran, karena setiap kali Aaron duduk di kursi taman selalu menangis sendirian.
Naya memberanikan diri mendekati Aaron. Naya menjulurkan sapu tangan miliknya di depan wajah Aaron yang tertunduk.
"Nih, hapus air mata kamu. Malu dong, masa cowok nangis," ucap Naya terkekeh.
Aaron mendongakan kepalanya, matanya memerah karena menangis.
"Makasih." Aaron menerima sapu tangan itu.
"Tapi, gak papa juga sih kamu nangis kalau itu bisa bikin kamu lega," ucap Naya sambil tersenyum manis.
Setelah itu Naya melenggang pergi meninggalkan Aaron yang masih tertunduk dengan sapu tangan milik Naya yang berada di tangannya. Ia menatap punggung Naya hingga hilang dari pandangan dengan senyum yang mengembang indah di bibirnya.
"Kamu seperti malaikat penolong untukku."
Bersambung....
KAMU SEDANG MEMBACA
Vulnere ✔
Teen FictionTerlahir serupa, tidak membuat Aaric dan Aaroon memiliki kemampuan dan sifat yang sama. Aaric dengan segala kesempurnaanya, dan Aaroon dengan segala keterbatasannya. Sang kakak yang penuh pujian, dan Aaroon yang penuh dengan cibiran dan hinanaan, ba...