Rindu

2.4K 230 6
                                    

"Aaric, maafkan, Bunda. Bunda tidak  melukaimu," ucap Flora gemetar.

Aaron tersenyum sekilas, sebelum ia tak sadarkan diri. Sementara Flora, kembali disuntik dengan obat penenang karena ia kembali melemparkan barang-barang yang ada di dekatnya dan berteriak histeris.

Naya yang dibantu oleh beberapa temannya membawa pemuda itu ke salah satu ruang perawatan. Dengan telaten, Naya membersihkan luka Aaron dan membalutnya dengan perban.  Ia mengamati wajah Aaron yang terlelap, ada banyak hal yang ingin diketahuinya dari sosok pemuda di hadapannya itu.

Sejak melihat Aaron,  Naya tahu ada banyak beban yang disembunyikan oleh pemuda itu. Tatapannya selalu kosong, ada duka mendalam dari sorot netranya. 

"Sebenarnya apa yang terjadi sama kamu selama ini?  Dan, kenapa aku merasa ingin selalu berada di dekatmu?" lirih Naya.

Naya tak beranjak dari sisi Aaron, ia dengan setia menemani dan menunggu pemuda itu sadarkan diri. Perhatiannya teralih, ketika melihat jemari pemuda itu bergerak. 

Aaron mengerjapkan matanya, menyesuaikan dengan cahaya yang ada. Ia memijat pelan kepalanya menahan nyeri yang masih kentara.

"Alhamdulillah kamu sudah sadar, saya khawatir sama kamu. Kamu masih pusing, atau perlu Saya antar ke rumah sakit?" ucap Naya. 

Aaron menggeleng, ia justru memaksakan diri untuk bangkit.

"Gue baik-baik saja. Gimana keadaan Bunda? Gue harus ketemu dia sekarang," ucap Aaron.

"Beliau baik-baik saja, sekarang sedang beristirahat. Lebih baik kamu juga istirahat dulu."

Aaron tersenyum lega, paling tidak ia tahu Bundanya baik-baik saja. Ia melirik jam yang melingkar di tangan kanannya, jarum jam menunjukkan pukul dua siang. 

"Terima kasih sudah membantu. Tapi, Gue harus segera balik ke rumah. Gue titip Bunda, kalau ada apa-apa kabarin secepatnya," ucap Aaron.

Naya mengangguk, ia membantu memapah Aaron hingga parkiran. Di sana, Revan sudah menunggu.

"Ron, kepala lo kenapa? Kok sampai diperban gitu," tanya Revan cemas.

"Gue baik-baik saja. Lo gak perlu khawatir,  kita pulang sekarang," putus Aaron.

Revan menghela napas, ia membantu Aaron untuk masuk ke mobil. Sebelum pergi, ia mengucapkan terima kasih pada Naya.

"Terima kasih sudah membantu Aaron,  kami pamit," ucap  Revan.

Naya hanya menganggguk dan tersenyum tipis. Ia menatap mobil Revan, hingga hilang di ujung jalan. Baru kemudian kembali masuk.

Sementara Revan, terus saja bertanya tentang apa yang terjadi pada Aaron.  Namun,  pemuda itu hanya diam tak memberi jawaban.

"Ron, sebenarnya apa yang terjadi? Gue tahu ada yang lo sembunyikan," tanya Revan.

Aaron tetap diam, tak memberi  jawaban.  Bukan tak mau menjawab, hanya saja ia  mulai kewalahan dengan rasa sakit yang menghantam kepalanya.  Ia tak mau membuat Revan khawatir, terlebih lagi jika sahabatnya itu mengadu pada dokter Alvan.

"Oke, kalau lo belum bisa cerita. Gue akan siap mendengarkan, saat lo butuh teman untuk bicara. Lebih baik sekarang Gue antar  lo ke rumah sakit. Kali ini gue gak menerima penolakan dengan alasan apa pun," tegas Revan.

"Gak! Langsung pulang aja," ucap Aaron dengan tegas menolak ajakan Revan. Dalam seminggu saja Aaron sudah beberapa kali masuk rumah sakit. Cukup dengan menyuntikan obat, lukanya pasti akan segera kering.

"Tapi, itu luka lo harus cepet di obatin." Dengan gerakan yang lemah, Aaron membuka bungkus suntikan yang masih steril dan juga cairan obat di dalam botol. Setelah suntikan itu di isi cairan tersebut, Aaron langsung menyuntikannya ke pembuluh darah.

Revan ikut-ikutan meringis ketika Aaron sedang meringis menahan sakit.

"Udah, tenang aja. Gue oke kok," ucap Aaron menenangkan Revan yang terlihat khawatir.

Sedangkan Revan memutar bola matanya jengah. "Bosen gue denger lo ngomong gitu mulu. Apa susahnya sih tinggal ngomong iya gue sakit, iya gue pusing, iya gue sedih. Gak susah loh ngomong gitu, tapi kayaknya lo susah banget ngomong kayak gitu." Omel Revan seperti wanita sedang PMS.

Bukannya mendengarkan, Aaron justru telah menutup matanya. Bukan pingsan, tetapi dia tidur. Mungkin pengaruh obat yang langsung bekerja dengan cepat.

"Hih, kampret. Di ajak ngomong malah tidur," ujar Revan.

Tak lama mobil Revan sudah sampai di depan rumah Aaron.

"Ron, bangun. Udah nyampe nih," ucap Revan membangunkan Aaron.

Aaron melenguh lalu merenggangkan otot-ototnya yang kaku akibat tidur dengan posisi yang tak nyaman.

"Udah nyampe," ulang Revan.

"Hah?" Tanya Aaron yang masih setengah sadar.

"Udah nyampe rumah lo," jawab Revan sabar.

"Oh, udah nyampe." Revan menatap Aaron jengah, sedangkan Aaron langsung keluar dari mobil Revan.

"Thank's ya," ucap Aaron ketika hendak menutup pintu mobil.

"Iya, santai aja. Kalo ada apa-apa hubungin gue.l," ujar Revan, Aaron hanya menganggukan kepala dan langsung menutup pintu mobil.

Setelah Aaron dibukakan gerbang oleh satpam barulah Revan pergi.

"Den, tumben baru pulang?" Tanya Pak Deni, satpam di rumah Aaron.

"Iya nih, Pak. Abis jenguk Bunda," jawab Aaron. Ia melanjutkan langkahnya ke dalam rumah.

Sesampainya di kamar, Aaron langsung merebahkan tubuh lemasnya di atas kasur empuknya. Tidak peduli dengan badan yang sudah lengket dan juga bau keringat. Aaron sedang ingin bermalas-malasan. Rasa kantuk kembali menyerang.

Aaron menutup matanya, karena pusing yang kembali menghantam kepalanya. Tanpa ada niat untuk membuka sepatunya. Aaron terlelap, terbukti dengan suara dengkuran halus yang kini terdengar.

Di luar kamar Aaron, ada seseorang yang mengetuk pintu kamarnya. Karena tak kunjung dibuka, akhirnya ia masuk. Dia adalah Arsyad. Ketika masuk, pandangannya langsung mengarah pada Aaron yang terkapar dengan tidak elitnya.

Sepatu masih melelat di kakinya, jaket yang masih dipakai, dan tas yang di simpan sembarangan membuktikan bahwa Aaron baru saja pulang.

Kali ini Arsyad menatap Aaron dengan tatapan yang tak biasa, ia tampak biasa saja. Tidak ada tatapan bengis ataupun marah. Arsyad memperhatikan Aaron yang tertidur pulas, tanpa berniat membangunkan, ia hanya berdecak lalu beranjak keluar.

Setelahnya, ia menyuruh Bi Marni untuk melepaskan jaket dan juga sepatu yang masih Aaron kenakan. Agar putranya itu tidur dengan nyaman.

***

Vulnere ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang