Pagi ini, Aaron sudah rapi dengan setelan celana bahan warna hitam serta kemeja biru. Ia menuruni satu per satu anak tangga dengan pelan.
Nampak Aaric dan kedua orang tuanya tengah menikmati sarapan. Ia tersenyum, langkahnya dipercepat agar segera sampai di meja makan dan bisa sarapan bersama. Saat kakinya telah menginjak lantai ruang makan, ia tersadar bahwa semua yang dilihat tadi hanya bayangan.
Tak ada seorang pun di sana, ia duduk dan menikmati sarapan seorang diri. Ia merasa segalanya hilang, sirna, tak tersisa.
Ia rindu Aaric, yang selalu memarahinya ketika ia melakukan aktifitas berlebihan dan melewatkan waktu makannya.
Ia rindu Flora, walaupun hanya ada caci dan maki yang terucap dari bibirnya. Ia juga rindu sosok ayah yang dulu selalu membela, dan melindunginya dari kemarahan Flora. Kini Aaron merasa jiwanya hampa, semua yang ia miliki direnggut paksa oleh takdir. Bahagianya jauh menepi, berganti dengan jutaan luka yang mengurungnya dalam sunyi.
Sejak kematian Aaric, ia kehilangan sosok yang selama ini melengkapi hidupnya. Apalagi sekarang, Flora harus dirawat di rumah sakit jiwa karena depresi berat. Sedangkan ayahnya jarang terlihat di rumah, ia juga tidak tahu keberadaannya.
"Kenapa bukan aku saja yang mati dalam kecelakaan itu? Kenapa harus Aaric?" bisiknya."Seharusnya memang kamu yang mati, bukan putra kesayanganku." Suara Arsyad terdengar dingin di telinga Aaron.
Aaron menoleh, di sana Arsyad berdiri dengan pongah menatap tak suka ke arahnya. Pemuda dua puluh tahun itu hanya menunduk dan terdiam, tak berani menatap apalagi bersuara.
Ia lebih memilih berlalu pergi, tetap berada di sana hanya akan menambah luka baru di hatinya. Ini kali pertama Aaron bersikap tak peduli terhadap ayahnya. Ia terlalu lelah dengan semua yang terjadi. Sebenarnya ia tak ingin membenci, tapi sikap Arsyad yang diluar batas membuatnya malas menanggapi.
Aaron pergi dengan mengendarai motor besarnya, melaju kencang di jalanan yang mulai padat. Karena jam di pergelangan tangannya sudah menunjukkan angka 07.15, jika dalam lima belas menit ia belum sampai dapat dipastikan akan terlambat.
Ucapan Arsyad terus terngiang di otaknya, membuat pemuda itu tak fokus dalam berkendara. Ia gelagapan ketika dari arah berlawanan muncul sedan yang juga melaju kencang. Aaron membelokkan motornya ke arah kiri, membuatnya menabrak trotoar dan terjatuh.
Darah segar mengalir dari pelipis, serta tangan pemuda itu. Lukanya tak terlalu parah, tapi darah itu seolah tak mau berhenti mengalir. Orang-orang di sekitar sana segera menghampiri dan membantu Aaron, bahkan ada yang mengantarnya ke rumah sakit.
Aaron meringis kala kepalanya terasa semakin pening, perih di tangannya juga kian kentara. Darah segar masih terus mengalir dari lukanya, padahal kepala dan tangannya sudah diperban menggunakan kain. Ia tersenyum lebar kala darah itu terus merembes keluar, ia justru berharap mati kehabisan darah. Agar hidupnya tenang tanpa beban. Senyum itu kian pudar seiring tubuhnya yang terkulai tak sadarkan diri.
Sopir taksi yang membawanya melajukan mobil lebih cepat, khawatir penumpangnya itu mati di mobilnya. Sesampainya di rumah sakit, pemuda itu segera ditangani oleh tim medis. Menurut keterangan dokter, pemuda itu mengalami perdarahan cukup serius di kepala akibat benturan keras yang dialami. Tim medis segera memeberikan faktor pembeku darah untuk menghentikan perdarahan yang terjadi, karena Aaron merupakan penyandang hemofilia.
Pemuda itu kehilangan darah cukup banyak, membuatnya harus segera mendapat transfusi darah. Namun tak ada pihak keluarga yang bisa dihubungi, sementara persediaan darah di rumah sakit untuk golongan darah AB sedang kosong.
Pihak rumah sakit sudah mencoba menghubungi pihak PMI serta beberapa rumah sakit terdekat
tapi sedang tidak ada persediaan. Beruntung, Aaron mendapat transfusi darah dari salah satu dokter di sana. Jika tidak, nyawanya mungkin tidak bisa terselamatkan.Saat Aaron terbangun, tak ada siapa pun yang menemaninya. Ia memaksakan dirinya untuk bangkit, meski tahu kondisi fisiknya masih lemah. Belum sampai tiga langkah berjalan, tubuhnya limbung. Dokter Febi yang baru masuk, segera menghampiri dan menahan tubuh Aaron agar tidak terjatuh.
"Kamu sebaiknya istirahat saja. Kondisimu masih lemah, jangan terlalu dipaksakan." Dr. Febi menasihati.
"Saya harus ke kampus, Dok. Karena hari ini ada ujian," jawab Aaron.
Dokter Febi menggelengkan kepalanya, kondisinya lemah seperti itu pun masih sempat memikirkan ujian.
"Saya sudah menghubungi dokter Alvan, memberitahukan bahwa kamu mengalami kecelakaan dan tidak bisa mengikuti ujian," tegas dr. Febi.
"Bagimana Anda bisa tahu?" tanya Aaron penasaran.
Dokter Febi hanya tertawa kecil menanggapi pertanyaan Aaron.
"Kamu masih harus banyak istirahat, agar kondisimu cepat pulih. Jadi, lebih baik kamu ikuti peraturan Saya. Jika tidak ingin nilaimu anjlok semester ini".
KAMU SEDANG MEMBACA
Vulnere ✔
Teen FictionTerlahir serupa, tidak membuat Aaric dan Aaroon memiliki kemampuan dan sifat yang sama. Aaric dengan segala kesempurnaanya, dan Aaroon dengan segala keterbatasannya. Sang kakak yang penuh pujian, dan Aaroon yang penuh dengan cibiran dan hinanaan, ba...