"Hanya dengan matahari terbitlah aku kembali percaya. Bahwa di setiap kehidupan pasti tidak ada yang sia-sia."
Lelah, rasanya jika aku harus percaya bahwa di setiap kehidupan pasti tidak ada yang sia-sia. Seperti aku yang diciptakan dari sari pati tanah, yang kemudian membentuk menjadi segumpal darah di dalam rahim ibuku, yang kemudian dikandungnya selama sembilan bulan lamanya, dan melahirkanku pada dunia dengan penuh kekuatan dan keikhlasannya mengorbankan kehidupannya padaku. Membuatku merasa sia-sia jika aku di lahirkan ke dunia fana ini, karena membuat mamah kesakitan.
Semburat cahaya kekuningan di kamarku ini yang membawa hawa kehangatan di dalamnya . Membuatku percaya jika hidupku ini tidaklah sia-sia. Ayah dan kakakku sangat menyanyangiku, terlebih Mamah yang menunjukkan kasih sayangnya lewat pengorbanannya melahirkanku.
Tepat hari ini, genap enam belas tahun lamanya mamah meninggalkanku untuk selama-lamanya di dunia fana ini. Foto manis mamah yang kini ku pegang jatuh seketika ketika air mataku ini tak dapat di bendung lagi.
"Ma'afkan Aurel, Mah!... Aurel minta ma'af .... telah membuat mamah tidak bisa hidup lebih lama lagi di dunia ini...." tangisku semakin pecah tatkala ingatanku kembali menerawang empat belas tahun yang lalu.
Saat itu, ayah bercerita padaku bahwa Mamah meninggal karena penyakit parahnya yang tidak memungkinkannya lagi untuk disembuhkan. Mamah sakit kanker yang merupakan penyakit keturunan dari Nenek yang mengidap penyakit yang sama dengannya.
Namun, lambat laun aku mulai tahu. Jika mamah meninggal bukan karena penyakitnya, melainkan karena aku yang akan lahir ke dunia. Mamah mengalami pendarahan yang cukup hebat menjelang proses persalinannya dan harus memilih antara aku atau mamah yang diselamatkan.
Pantas saja ketika aku mendengarkan ayah bercerita, setiap yang diceritakannya selalu saja tidak masuk dalam hati dan pikiranku yang membuatku ingin diam-diam mencari tahu penyebab kematian mamahku lebih dalam lagi di dalam kamar ayah. Aku tidak menemukan selembar kertaspun berisi keterangan bahwa ibu sakit parah saat itu. Melainkan, selembar kertas yang menyatakan tanggal kelahiranku sama dengan tanggal kematian mamah.
Pantas saja, ayah sangat menyayangiku dari pada kakak kandungku. Karena mataku yang hitam pekat sama dengan warna mata mamahkuku, yang akan membuat ayah mengingat mamah tiap kali ayah melihatku.
Ku ambil foto mamah yang sempat jatuh tadi dan menyimpannya kembali ke dalam buku harian kuningku. Buru-buru aku memoleskan make up kewajahku dan melilitkan selendang kuning di leherku dan bergegas keluar dari kamarku. Karena ternyata ayah telah memanggilku dari tadi ketika aku kembali mengingat mamah.
"Aurel, kita ke Bandung yu, Nak! Ayah sudah lama tidak bertemu dengan kakek, Mu" aku yang baru saja keluar dari kamar langsung saja merasa heran atas ajakan tiba- tiba ayahku, pasalnya ayah sangat sibuk kerja dan kerumah kakek setahun dua kali. Melihat wajahku yang penuh keheranan, ayah kembali berbicara sebelum aku menjawab ajakannya tadi.
"Kenapa? Kamu gak senengnya? Ayah ngajak kamu ke Bandung untuk ketemu kakek, Mu?" tanyanya terlalu spontan.
"Nggak, Yah! Masa aku gak mau ketemu kakek. Tapi ka Bima juga ikut kan, Yah?" tanyaku penuh harap.
Ayah tampak berpikir sebentar antara mengiyakan atau malah sebaliknya. Aku hanya melihat gerak gerik ayah ketika melangkahkan kakinya ke meja dekat jendela rumah dan menekan tombol di telephone untuk menghubungi seseorang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sun Flowers with You
Teen FictionAurellia Sakha Queenara. Gadis penikmat pancaran cahaya ke bahagiaan bagi hidupnya yang sebentar lagi akan ditinggalkannya untuk selama-lamanya. Hanya dengan sebuah bunga Mataharilah dia menyempurnakan hidupnya di tengah melawan rasa sakit yang tia...