"Jika aku bahagia, tolong jangan rebut kebahagiaanku!!!!"
Tadi siang setelah pulang dari kebun kakek, aku sempat melihat sebuah keluarga kecil yang harmonis. Dimana ada ayah, ibu dan juga anaknya. Mereka hidup serba kekurangan, karena itulah mereka semuanya bekerja di kebun kakek. Jujur, aku sangat iri melihat keluarga kecil itu. Bukan iri karena serba kekurangan, melainkan iri karena kasih sayang yang selalu kentara di wajah mereka.
"Ayu, ulah cape-capenya! Ieumah tos ku Bapa wae" ucap seorang ayah yang menemukan anaknya mencakul tanah."Teu kunanaon, Bapa. Ayu mah kerja didieu senang-senang wae" tolak si anak.
"Hutssss, kamu teh masih budak. Kerjaan ieumah biar ku Bapa waenya!!!!.
Ayu yang merupakan anak dari bapa Muhdi itu pun, tak bisa menolak larangan ayahnya. Ia hanya bisa menatap pilu sang ayah yang harus bekerja keras demi memenuhi kebutuhan hidupnya.
Sesekali hatinya menjerit tatkala melihat peluh kesah ayahnya yang membanjiri dahinya.
"Ayu!!" refleks Ayu memalingkan wajahnya menengok ke arah sumber suara. Disana sudah ada wanita paruh baya yang memakai penutup kepala sedang menanam tomat.
"Muhun, Mak?"
"Kadieu, Nak!!! Bantuan, Emak!!!" ujar ibunya.
Tanpa berpikir panjang Ayu mendatangi ibunya dan langsung mengambil alih pekerjaan wanita yang telah melahirkannya itu, " Emak, biar Ayu bantuinnya supaya tereh beres" ucapnya penuh keikhalasan.
Sang ibu menatap anaknya dengan penuh kebahagiaan. Hati ibu mana yang mempunyai anak yang berbakti kepadanya dan juga ridho ikhlas menerima semua kekurangan hidup dikeluarga yang serba kekurangan itu.
Sudah beberapa hari ayah tinggal di Jakarta dan meninggalkanku yang tinggal bersama kakek di Bandung. Jika aku boleh jujur pada dunia, aku pasti akan memilih keluarga yang sederhana, dari pada hidup serba kecukupan tapi tidak ayah dan ibu di sampingku.
Hampir tujuh belas tahun lamanya aku hidup tanpa sesosok ibu, kata orang ibu adalah sebaik-baiknya orang tua, tapi itu semua tak pernah aku rasakan sampai hidupku tak bernyawa lagi.
Aku menghapus air mataku yang tak sadar keluar dari tempatnya, rasa sakit ditinggal ibu masih terbayang jelas di lubuk hatiku.
Drrrrttt drtttttt
Aku mengambil handphoneku yang berdering di atas nakas dan langsung mengangkatnya tanpa melihat id caller yang tertera.
"Hallo???"
"Hallo ini siapa???"
"Hallo ada apa, ya??"
Aneh, padahal dia yang menelphone duluan, tapi kenapa tidak juga menjawab pertanyaanku???
Biasanya kalau ayah menelphone pasti akan langsung menanyakan aku, kalau kak Bima menelphone pasti akan ngerjain aku duluan pake suara-suara aneh, kalau temanku menelphone pasti akan langsung heboh duluan sebelum aku angkat telephone. Lahh terus, ini siapa yang menelphoneku malam-malam????
Tidak mau di ambil pusing, aku memilih menyimpan kembali handphoneku di atas nakas kembali.
Aku mengambil sisir rambutku yang tersimpan rapi di meja riasku, rambutku yang hitam panjang membuatku sayang jika harus memotong rambut ini. Dulu, aku pernah berpikir jika rambut panjangku ini akan aku sumbangkan sebagian ke anak di panti asuhan yang menderita kanker. Kasihan sekali mereka, sudah sakit parah di tinggal pula oleh orang tuanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sun Flowers with You
Teen FictionAurellia Sakha Queenara. Gadis penikmat pancaran cahaya ke bahagiaan bagi hidupnya yang sebentar lagi akan ditinggalkannya untuk selama-lamanya. Hanya dengan sebuah bunga Mataharilah dia menyempurnakan hidupnya di tengah melawan rasa sakit yang tia...