part 12# Saat ku Dekati

7 2 0
                                    

"Jangan sekali menutup dirimu kepada orang lain. Karena kamu gak akan tahu, kapan kamu  akan membutuhkan bantuan orang lain."

Aku membetulkan topi beaniku yang memiring karena tidak  sengaja aku menyentuhnya asal, saat aku sibuk memindahkan bunga Matahari yang sudah ku petik ke keranjang.

Kali ini, aku sengaja memilih bunga Matahari yang telah masak dan siap untuk di produksi menjadi kuaci. Karena aku ingin tahu setaip detail mengurusan bunga Matahari ini.

Tak main-main kakek tidak hanya menanam puluhan bunga Matahari, melainkan ratusan sampai ribuan tanaman bunga Matahari yang terhampar luas di kebun kakek ini.

Hal itu yang membuat kakek menjual hasil kebunnya ke pabrik-pabrik produksi makanan khusus untuk bunga Matahari.

Terkadang aku selalu membawa banyak bungkus kuaci untuk ku makan saat istirahat bersama teman-temanku di sekolah. Hanya sebuah makanan ringan yang ku bawa, tapi hal  itu, membuatku semua temanku mendekat ke meja kelasku hanya untuk meminta kuaci.

Udara pagi yang mulai tergantikan siang mulai membuat tubuhku kepanasan akan sinar matahari hari ini, Rasanya aku sudah tidak kuat mengerjakan pekerjaan ini sendirian.

Rasa pusing akibat terlalu lama  terpapas sinar matahari, membuatku ingin segera menyelesaikan pekerjaan ini dan langsung pulang ke rumah kakek. 

Aku mendudukkan tubuhku ke tanah dan bersembunyi diantara tanaman bunga Matahari untuk menghindar dari pancaran sinar mataharari.

Sayup-sayup aku mendengar suara langkah kaki mendekat ke  arahku, aku sengaja tidak segera memunculkan diriku padanya. Karena rasa lelah dan pusing yang   ku alami sekarang, membuatku tak sanggup untuk sekedar berdiri saja.

Langkah kaki itu tiba-tiba terhenti begitu saja tepat samping kakiku. Aku mendongkakkan kepalaku untuk melihat orang yang menghampiriku barusan.

Loh, ini kan ?? Kenapa dia kesini??. Aku menatap heran seseorang perempuan  yang berdiri tepat di depanku ini. Wajahnya begitu familiar dalam ingatanku, dan rambut yang di untuinya seakan aku tak asing lagi melihatnya.

"Non Aurel, kenapa aya  didieu??" tanyanya.

Aku membetulkan dudukku dan segera berdiri menghadap ke arahnya, sambil membersihkan noda tanah di  rok yoke waist ku berwarna kuning, "Ng....ngak pa....pa" ucapku terbata mencoba mengingat siapa perempuan ini.

"Loh, naha aya didieu sendirian??"

Aku melengkungan bibirku lurus," Ya..... inikan gue lagi metik bunga Matahari " ucapku sambil mengarah ke keranjang yang penuh berisi bunga Matahari.

Ku lihat dia memangukkan kepalanya pelan, dan sesekali dahinya berkerut nampak seperti orang berpikir.

"Wahhhhh, hebat atuh non Aurel teh"

Reflek aku menatap perempuan ini heran, kenapa dia mengatakan kalo aku hebat???.  Belum saja aku  menjawab pernyataan anehnya itu, perempuan ini berbicara lagi padaku.

"Nya, non Aurel teh ni hebat pisan. Bisa metik bunga Matahari sebanyak kitu" ucapnya seolah-olah menjawab semua keherananku.

Tanpa sadar aku  tersenyum ramah pada perempuan di depanku ini, karena tersanjung dengan pujiannya tadi.

"Lo Ayu, ya??" tanyaku setelah mengingat perempuan ini.

"Uhun Non. Tapi kenapa non Aurel teh terang nami abi???" ucapnya tak percaya aku mengetahui namanya.

"Ohhhh itu, ya tahulah!!! Kan gue suka lihat lo disitu!!!" ucapku sambil mengarah ke tanaman tomat.

"Hehe... ternyata non Aurel teh lain cuma lihat-lihat bunga Matahari wae , tapi lihat-lihat oge para pegawaina kakek"

Aku tersipu malu mendengar ucapannya itu, bukan maksud curiga pada para pegawai kakek, melainkan aku sangat terpana melihat ke seriusan mereka dalam bekerja.


"Hmmm panggilnya Aurel aja, gak usah pake non!" ucapku keberatan di panggil olehnya.

"Iya, Aurel"

........

Sekarang aku sudah tidak sendirian lagi di kebun bunga Matahari ini,  tepatnya karena sekarang  sudah ada Ayu  yang membantu pekerjaanku. Aku sudah katakan pada kakek bahwa hari ini Ayu bekerja mengurus tanaman bunga Matahari bukan tanaman tomat lagi.

Meskipun aku licik, tapi itu sah-sah saja bukan??? Karena aku cucu dari pemilik kebun ini.

Tak terasa, kini sudah ada tiga keranjang besar bunga Matahari yang aku petik bersama Ayu,  Tanpa sadar Ayu memberikanku sebuah pelajaran yang berarti untukku. Dia rela ikut bekerja bersama kedua orang tuanya hanya karena ingin tidak mau merepotkan kedua orang tuanya.

Sedangkan aku, tiap hari aku selalu minta uang pada ayah hanya karena aku tidak mau ketinggalan dengan teman-temanku di sekolah.

Aku mengatur nafasku asal, mencoba menghirup oksigen sebanyak-banyaknya. Sesekali aku memejamkan mataku pelan, mencoba menghilangkan ke lelahan yang sedang menyerang tubuhku saat ini.

Sudah beberapa kali aku katakan pada Ayu untuk berhenti dari pekerjaaannnya karena aku mengkhawatirkan dirinya, tapi dia masih tetap  saja semangat mengerjakan pekerjaaannya.

Untunglah saat ini aku berada paling sisi tanaman bunga Matahari, sehingga membuatku dekat dengan saung kecil yang berada tepat di sampingku.

Dengan tenaga yang masih tersisa, aku memaksakan diriku berjalan untuk  berteduh  sementara di saung.  Aku meneguk air mineral yang aku bawa saat mau kesini.

Tubuhku rasanya gerah sekali karena saking panasnya hari ini. Aku membuka topi beanieku dan membiarkan rambut hitam panjangku tertiup angin.

Sesekali aku mengelap keringatku dengan selendang kuning yang melilit di leherku, sambil melihat Ayu dari kejauhan.

Ku lihat Ayu orangnya cantik, namun karena terlama lama dan sering terpapar sinar matahari membuat kulitnya kering dan menghitam.

Aku mengarahkan mataku ke segala arah dan mendapati laki-laki yang bernama Auvan itu  sedang menggali lubang-lubang kecil  untuk mengubur bibit bunga Matahari yang baru.

Andaikan saja aku di sini masih kuat untuk bekerja lagi, mungkin aku akan menghampiri laki-laki itu untuk meminta padanya mengajarkan aku menanam bunga Matahari yang baik.

Saat tengah asyik melihat laki-laki itu,  tiba-tiba saja  terlintas dalam otakku untuk mengerjai laki-laki itu,  diam-diam aku mengambil sebuah batu kecil untuk di lemparakan ke arah laki-laki itu dan mengenai tepat di punggungnya.

Plukkkk

Segera aku sembunyi di kolong saung dan menutupi sebagian tubuhku yang terlihat dengan selendang kuningku.

Susah payah aku menahan tawa untuk tidak terdengar olehnya, aku mencoba melihat reaksi laki-laki itu di antara bunga-bunga Matahari yang telah mati yang berada tepat di samping saung yang ku tempati saung.

"Alah siah!!!! Wani ka urang!!!! Ucapnya yang langsung menengok ke belakang dengan gaya silatnya.

" Sok siah, kaluar!!!! Gelut jeng abi kadieu!!!!!" ucapnya keras.

Susah payah aku menahan tawaku, terhibur dengan aksi konyol laki-laki itu.  Baru saja di lempar batu tapi gayanya seperti  orang yang ngajak silat.

Dia mengangkat sebelah kakinya dan memasang kuda-kuda di tangan seperti akan menghadapi musuh.  Sungguh lucu aksi konyol laki-laki itu.

Kulihat laki-laki itu menghembuskan nafasnya kasar dan matanya melirik-lirik ke segala arah.

"Aneh, bet aya nu ngalungan batu ka abi. Emangna abi teh makan batu!!!!" ucapnya emosi yang langsung melempar asal bungkusan bibit Matahari yang sudah kosong.

Next part.....

Sun Flowers with YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang