"Andai saja aku adalah pemilik waktu, akan aku buat waktu ini tetap diam, tanpa bergerak."
Aku mengelap keringatku dengan selendang kuningku yang biasa aku lilitkan di leher jenjangku, rasa panas akibat sinar Matahari langsung secara tidak langsung membakar kulitku menjadi hitam.
Jika aku tidak memaksakan diriku melakukan ini, maka aku akan pulang ke Jakarta dengan sia-sia tanpa sebuah ilmu yang aku dapatkan. Tapi, jika aku memaksakan melakukan ini, aku terpaksa harus menunggu waktu lebih lama lagi untuk memutihkan kulitku kembali. Karena setelah pulang ke Jakarta aku di suruh oleh temanku mengikuti kontes kecantikan di sekolah.
Sudah berpuluh-puluh lubang yang aku buatkan untuk menanam bunga Matahari, tapi tak kunjung selesai memenuhi lahan kecil yang di depanku ini. Padahal aku sengaja membuat batasan antara tanaman bunga Matahari aku sekarang dengan tanaman kakek, supaya kelihatan jika lahanku lebih kecil dari pada kakek.
"Ya Allah cape banget" keluhku tak sanggup mengerjakan pekerjaan ini sendirian.
Jika aku jadi pegawai kakek, mungkin sekarang aku sudah mati, gara-gara kecapean.
"Aurel"
Aku memalingkan tubuhku ke belakang melihat seseorang yang memanggil namaku tadi, "Ya, Yu. Kenapa?"
Ayu menghampiriku dan langsung mensejajarkan tubuhnya sepertiku yang sedang menggali lubang, "Tadi teh abi teh di panggil ku kakek. Katanya Aurel teh jangan cape-cape takut kenapa-napa nantinya" ucapnya khawatir.
Aku tersenyum tipis mendengar ucapan Ayu tadi, ternyata kakek memasang mata-mata-matanya lewat Ayu untuk memperhatikanku dari jauh.
"Ya, gak apa-apalah, Yu. Kakek mah emang gitu! Jangan di dengerin!"
"Hussss, kamu mah kitu ka kakek, teh"
"Ya, abisnya dikit-dikit jangan ini, jangan itu. Cape gue ngedengarnya"
Ayu tidak menjawab ucapanku tadi, dia memilih bungkam seakan-akan membenarkan semua ucapanku tadi.
"Ihhhh, Neng. Lain kitu, salah etamah!" Ayu mengambil alih sekop di genggamanku.
Aku tidak banyak bicara akan tindakannya itu, dan langsung memperhatikan tindakan Ayu yang mengajarku langsung.
"Kudu nateh, nya. Gali lubang nateh 2,5 cm, Aurel!" ucapnya sambil menggali lubang. "Terus di kasih jarak 45 cm antara tanaman bunga Matahari yang lain."
Aku mengpoutkan bibirku memperhatikan Ayu, ternyata gali lubang buatanku tadi sia-sia. Karena aku menggalinya asal tanpa di ukur dulu.
Sudah cape, gagal lagi.
Samar-samar aku mendengar seseorang yang tertawa mendekati kami, semakin lama semakin nyaring seakan-akan membuktikan jika diriku adalah orang yang paling bodoh diantara orang yang berada di kebun kakek sekarang.
"Jhahahhaha matakna atuh, Neng. Taroskeun heula ka abi ka MANDORNA. Lain maen ngagalian tanah" ucapnya ngeledek.
Lantas aku berdiri dan memasang muka sebalku padanya, "Ehhhh, lo gak usah sok tahu deh!" elakku. "Lo itu dari tadi di situ gak bantuin gue. Jadi lo gak usah nuduh gue sembarangan!!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Sun Flowers with You
Teen FictionAurellia Sakha Queenara. Gadis penikmat pancaran cahaya ke bahagiaan bagi hidupnya yang sebentar lagi akan ditinggalkannya untuk selama-lamanya. Hanya dengan sebuah bunga Mataharilah dia menyempurnakan hidupnya di tengah melawan rasa sakit yang tia...