part 10# Menari di atas awan

13 2 0
                                    

"Tidak selamanya hidup itu penuh kesenangan, tapi akan ada saatnya hidup itu penuh kesedihan."

"Lo mau ngajak gue kemana??" tanyaku disela-sela boncengannya.

Ya, sekarang aku dan laki-laki itu sedang mengendarai motor klasik milik kakek, aku sengaja meminjam motor itu pada kakek karena aku tidak ingin kulitku yang putih ini menjadi hitam gara-gara terlalu lama terpapar sinar matahari.

Eittssss, bukan maksud aku sombong akan keputihan kulitku, melainkan aku sekarang harus menjaga kulitku ekstra karena setelah pulang ke Jakarta aku akan mengikuti kontes kecantikan di sekolahku.

Tahun lalu aku pernah mengikuti kontes kecantikan di sekolahku, tapi sayang aku malah mendapat predikat finalis paling buruk di situ. Itu semua gara-gara kulitku kering dan kurang terjaga kelembabannya.

"Aya weh, Neng!"

Hampir saja aku menggetok kepala besar dihadapanku itu, tapi itu semua aku urungkan karena aku tidak ingin gara-gara aku menggetok kepalanya kami jadi jatuh seketika.

"Lo, gak bakal culik gue, kan??"

"Aduhh, Neng. Maenya abi culik, Neng. Kan ieu motor milik kakek" jawabnya.

Aku memanggut-manggut kepalaku mengiyakan jawabannya itu, iya juga ya, mana mungkin laki-laki itu culik aku???.

"Iya iya, gue ngalah dah sama lo."

Meskipun aku di belakang tubuhnya, tapi aku bisa melihat senyuman kecil menghiasi bibir laki-laki itu.

"Neng!"

"Iya."

"Ntos nyampe" ucapnya santai.

Aku mengelilingkan mataku ke segala arah, tidak ada tempat yang special yang ku lihat. Hanya ada sebuah bangunan kecil yang penuh di tumbuhi tanaman.

"Ini dimana?" tanyaku penuh penasaran.

"Ieu bumi abi, Neng" jawabnya santai.

Butuh sepuluh  detik aku mengerti perkataannya itu, otakku  sulit sekali mencerna setiap katanya Kenapa aku di ajak kesini??.

Tanpa mengatakan sepatah kata apapun, aku mengikutinya dari belakang dan berjalan masuk ke rumah laki-laki itu.

Hanya sebuah rumah biasa, bahkan sangat  jauh berbeda jika di bandingkan dengan rumah kakek. Di halaman rumah terdapat banyak sekali vas-vas bunga Matahari. Pantas saja dia merawat bunga Matahari kakek, ternyata dia juga menanam bunga Matahari itu di rumahnya.

Aku melepas sandalku tatkala akan memasuki rumah itu, bukan aku bermaksud jorok masuk ke rumah itu tanpa alas kaki. Melainkan aku melihat laki-laki itu juga melepas sandal untuk masuk ke rumah.

"Lo, hidup sendiri???? Kenapa di rumah ini sepi?" tanyaku menyadari tidak ada orang sama sekali.

"Ya, Neng. Abimah didieu hirup nyalira" ujarnya sambil mengarah kepadaku.

Sempat ada rasa kasihan pada laki-laki itu, aku tidak menyangka jika dia hidup berkelana seorang diri. Bagaimanapun  kita hidup makhluk sosial bukan????.

Sun Flowers with YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang