One

114 8 2
                                    

Malam ini terasa sangat sunyi semenjak Ibu meninggal dunia. Tepatnya kemarin. Aku bahkan belum sempat mengucapkan banyak kata maaf tetapi Ibu sudah meninggal lebih dulu. Dan aku hanya tersenyum getir menutupi semua rasa sakit ini di dalam hati. Rasanya seperti baru tadi pagi aku bercanda dan tertawa bersama dengan Ibu tetapi beliau tiba-tiba sudah pergi begitu saja. Sekarang tinggal aku dan kakakku saja karena Ayah sudah lebih dulu meninggal dunia sejak delapan tahun yang lalu.

"Hazel. Apa kau baik-baik saja?" suara Kakakku membuatku menoleh ke arahnya yang kini tengah berjalan mendekat ke arahku.

Aku mengangguk dan tersenyum tipis padanya agar ia percaya bahwa aku baik-baik saja, "Iya. Aku baik-baik saja, Yoon."

Lalu Yoongi duduk di lantai dan membawaku ke dalam dekapan hangatnya. Nyaman. Tetapi hatiku tetap merasa tak tenang. Ada sekelebat perasaan yang membuat hatiku seolah tercekik secara paksa dengan sebuah sesak yang menghantam dada.

Perlahan aku menangis. Tak peduli lagi bagaimana reaksi Yoongi. Tetapi beginilah caraku menunjukkan sisi lemahku dan mengeluarkan semua emosi yang terpendam di dalam dada dengan sebuah luka yang lebih dari sekedar menyakitkan.

Sekalipun aku mengatakan 'aku baik-baik saja' sampai ribuan kali pada Yoongi, aku yakin pemuda itu takkan percaya. Iya, dia tahu aku tidak baik-baik saja dan Yoongi hanya diam sembari memelukku semakin erat. Mengapa rasanya se-menyakitkan ini, Tuhan?

Yoongi mengelus kepalaku lalu ia menangkup pipiku agar aku menatapnya. Ya, sekarang aku menatap kepada kedua matanya yang sehitam jelaga itu. Yoongi menatapku dengan tatapan sayu pun lelah yang berusaha ia sembunyikan dariku lewat senyum tipisnya yang menenangkan hatiku. Aku tahu Yoongi juga terluka. Kami berdua sama-sama merasakannya. Perasaan menyakitkan yang seolah tengah menghantui hati dan jiwa. Namun aku tahu. Tuhan sedang memberikan kami ujian.

Yoongi memberikan kecupan sekilas di kepalaku kemudian ia berujar, "Tidurlah. Ini sudah malam. Besok kau harus sekolah, Min Hazel."

Yoongi pergi dari kamarku setelah aku sudah berbaring di atas ranjang dan lampu kamarku yang sudah kumatikan.

Entahlah tetapi rasanya aku tidak bisa tidur. Apakah aku insomnia? Kurasa iya. Ini sudah tepat tengah malam dan aku belum tidur juga.

Rasanya bulu roma ku meremang ketika jendela kamarku terbuka dengan angin yang masuk ke dalam kamar. Anginnya terasa menenangkan untuk cuaca angin malam kendati suasana ini benar-benar membuatku merinding.

"Hazel..."

Aku merasa seperti ada seseorang yang memanggilku. Namun suaranya seperti angin. Datang sekejap lalu pergi. Suara siapa itu? Itu bukan suara Yoongi. Aku yakin sekali.

"Siapa kau dan kau ada dimana?" tanyaku mencoba melawan rasa takutku. Semoga saja itu bukan seorang gangster yang tiba-tiba menyelinap ke kamarku.

"Namaku Kim Taehyung. Panggil saja V." suara itu muncul lagi. Aarghhhh, aku pasti sudah gila. Ini hanya halusinasi. Iya, aku pasti sedang berhalusinasi.

"V? Nama yang aneh." komentarku kemudian.

"Sebenarnya namaku Victory tetapi kau cukup memanggilku V saja, Hazel."

"Kau dimana? Tunjukkan dirimu padaku!" tantangku. Oke anggap saja aku ini gila. Tetapi suara itu benar-benar membuatku frustasi sekali. Suaranya seperti suara bariton namun juga terdengar seperti angin yang berbisik halus. Sedikit serak dan juga terdengar menggema di telingaku.

"Aku disini, Hazel. Aku berada disampingmu dan aku akan selalu melindungimu. Ini adalah janjiku padamu."

"Benar. Aku pasti sudah gila. Aku sedang berimajinasi dan berbicara sendiri seolah seseorang tengah mengajakku berbicara. Kau gila, Min Hazel." ujarku sembari mengacak rambutku frustasi.

"Tidak. Kau tidak gila, Hazel. Kau juga tidak sedang berhalusinasi. Semua yang kau dengar ini memang benar adanya. Aku ada, namun tak nyata. Aku disini, namun tak terlihat." []

Whisper Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang