Hazel tak menyangka jika Yoongi dan Jimin sudah sangat akrab padahal baru bertemu beberapa menit yang lalu. Senang rasanya melihat Yoongi bisa akrab dengan temannya.
"sepertinya sudah senja. Aku pulang dulu Hazel, Hyung." pamit Jimin yang kini sudah masuk ke dalam mobilnya.
Kemudian hujan deras datang tanpa di duga dengan petir yang menggelegar di luar sana hingga membuat seisi rumah mati lampu. Yoongi menggeram kesal dan mencoba mencari lilin atau senter yang dapat digunakan untuk menerangi sebagian ruangan. Setidaknya tidak membuat seisi ruangan menjadi gelap gulita. Sumpah, Yoongi kesal dengan yang namanya mati lampu. Hujan deras sepetinya tak akan berhenti dengan cepat mengingat sejak tadi siang, awan di langit berwarna sangat gelap dan jelas bahwa hari ini akan turun hujan deras.
Setelah menyalakan senter, Yoongi dan Hazel duduk di sofa ruang tamu dengan suasana hening. Keduanya sama-sama terdiam selama beberapa saat.
"Tubuhmu dingin sekali, Yoon."
"Peluk aku, Hazel."
Gadis itu terdiam sejenak lalu pada akhirnya pun ia memeluk Yoongi dan mengelus kepala pemuda itu dengan lembut.
"Kau masih ingat 'kan kalau aku ini takut gelap?" tanya Hazel kemudian melepaskan pelukannya pada Yoongi. Pemuda itu mengangguk, "Iya. Bukan hanya kau tetapi aku juga. Kita sama-sama penakut, Hazel."
"Tetapi setidaknya aku tidak sendirian karena kau bersamaku. Kau tidak akan meninggalkanku 'kan, Yoon?"
Yoongi mengangguk kemudian berujar lirih, "Iya. Peluk aku sekali lagi, Hazel."
Hazel kemudian memeluk Yoongi dalam cahaya temaram yang menerangi ruang tengah.
"Feel better?" tanya Hazel lalu Yoongi mengangguk dengan gumaman kecil.
"Tidurlah, Hazel. Sepertinya hujan tak akan berhenti dengan cepat."
"Lalu kau?"
"Aku juga akan tidur. Ayo."
Keduanya tertidur di sofa dalam cahaya temaram yang menerangi ruang tengah. Tepat pada pukul tengah malam Yoongi terbangun. Hujan masih belum reda namun lampunya sudah kembali menyala. Pemuda itu menguap sejenak lalu mengangkat tubuh Hazel dan membaringkan gadis itu di atas ranjang kemudian menyelimutinya agar tidak kedinginan.
Yoongi mengusap matanya lalu berjalan keluar dari kamar Hazel. Sial, rasa kantuknya malah mendadak hilang. Yoongi sudah memaksakan untuk tidur namun hasilnya tetap saja tidak bisa. Lantas pemuda itu berjalan ke dapur dan membuka pintu kulkas lalu mengambil sebotol minuman berperisa stroberi, tak lupa juga ia membawa setoples camilan yang dibelinya kemarin.
Yoongi duduk di tengah sofa dan menyalakan TV—menonton film yang masih sempat tayang pada pukul tengah malam. Sial. Yoongi meneguk salivanya susah payah ketika ada adegan dewasa di dalam film yang tengah ditontonnya. Pemuda itu masih fokus menonton sambil menikmati camilannya.
"Sesekali menonton boleh, 'kan?" Batin Yoongi.
"Kau belum tidur, Yoon?" pemuda itu lantas tersedak camilan dan segera memindah siaran tv ketika mendapati Hazel yang kini tengah berdiri di belakangnya dengan mata setengah terpejam.
"I-iya. Tadi aku terbangun. Karena sudah tidak bisa tidur jadi aku menonton tv."
Hazel mengangguk pelan dengan kantuk luar biasa, "Matikan tv nya jika sudah selesai menonton, ya."
"Em, Hazel."
"Ada apa?"
"Kembalilah tidur dan kunci pintu kamarmu."
Hazel mengernyit dengan kesadaran yang masih tersisa, "Kenapa?"
"Lakukan saja apa yang ku katakan." Hazel mengangguk lalu kembali ke kamarnya sedangkan Yoongi segera berlari dan masuk ke kamar mandi.
***
Hujan masih tak kunjung reda. Sekarang sudah pukul enam pagi. Yoongi dan Hazel sama-sama duduk terdiam di meja makan tanpa melakukan apa-apa. Keduanya sibuk dengan pikiran masing-masing.
"V, kau dimana? Maafkan aku." batin Hazel dengan tatapan sendunya. Gadis itu menidurkan kepalanya di lengan yang ia jadikan sebagai tumpuan. Cemas, takut, sedih, marah, kecewa. Berbagai perasaan yang menyatu menjadi satu. Hatinya sesak seolah diremat kuat ketika V pergi meninggalkannya. Menyesal pun rasanya percuma karena ia tidak bisa menemukan V.
Kemudian ponsel Hazel berdering—menandakan ada seseorang yang tengah meneleponnya.
Dari Jungkook.
Entahlah tetapi rasanya gadis itu malas berurusan dengan Jungkook saat ini. Setengah hatinya menolak untuk mengangkat telepon itu namun setengah hatinya lagi merasa tidak enak jika mengabaikan telepon dari pemuda itu apalagi pemuda itu adalah sang pujaan hati.
Menghela nafas, Hazel kemudian beranjak dan mencari tempat yang nyaman sebelum ia mengangkat telepon dari si Jeon itu.
"Ada apa, Oppa?"
Yoongi lantas melirik Hazel dengan sedikit terkejut lalu menuding gadis yang kini tengah berdiri dengan ponsel yang terletak di dekat telinganya lalu Hazel mengisyaratkan agar Yoongi tetap diam selama gadis itu menerima telepon dari sang pujaan hati.
"Aku ingin bertemu denganmu."
Hazel menggigit bibir bawahnya—tampak tak ragu lalu menjawab, "B-bertemu? Dimana?"
Pria dari seberang telepon itu bersiul sejemang dengan senyum kelewat lebar, "Seagull Cafè."
"T... Tapi—"
"Aku akan menjemputmu sekarang." tukasnya cepat lalu memutus sambungan telepon secara sepihak.
Hazel menghela nafas. Padahal tadinya gadis itu ingin menolak tetapi sudah terlanjur jadi ikuti saja alur yang dibuat oleh Jungkook untuk dirinya.
Hazel berbalik dan kini ia menatap Yoongi yang tengah bersidekap dada dengan tatapan super datar daripada biasanya. "Apa?"
"Wah, sialan. Kau memanggil Jungkook dengan sebutan'Oppa', sedangkan aku. Kau hanya memanggil namaku padahal aku juga lebih tua darimu."
Hazel berjalan mendekat sebelum ia mendudukkan dirinya di hadapan Yoongi, "Itu berbeda, Yoon. Aku 'kan sudah biasa memanggilmu Yoongi. Kalau si Jeon itu berbeda."
Yoongi mengernyit, "Apa bedanya? Kami berdua sama-sama manusia. Berjenis kelamin laki-laki, punya dua mata, telinga, tangan, kaki, satu kepala, hidung, dan mulut. Kami juga sama-sama punya alat kelamin yang besar. Apanya yang berbeda?"
Hazel menggelengkan kepala tak habis pikir, "Jungkook itu istimewa, Yoon." ujarnya—hendak beranjak namun Yoongi segera menyahut lagi, "Kau mau kemana?"
Hazel tersenyum manis, "Ke Cafè. Bersama Jungkook Oppa." []
KAMU SEDANG MEMBACA
Whisper
FantasyAwal dari kehidupan Hazel yang begitu menyakitkan. Bersama dengan sebuah bisikan menenangkan yang tiba-tiba datang setelah kepergian Ibunya. Bisikan itu membuat hidup Hazel sedikit lebih berwarna walau hidupnya selalu dipenuhi akan sayatan luka. Dan...